14 Panas dan Perih

Sudah beberapa hari berlalu semenjak acara makan malam di rumah Liam dan sudah semenjak itu pula, Soraya merasa merindukan Liam. Ya benar, setelah mereka berdua saling menikmati satu sama lain, tidak ada lagi pertemuan di antara mereka setelah itu.

Tepat beberapa jam setelah saling menghangatkan, Liam bergegas mandi saat itu. Kemudian berpamitan untuk pulang, karena tidak mungkin baginya untuk menginap di apartemen Soraya. Bukannya tidak pernah, hanya saja saat itu orang tuanya tahu kemana tujuannya malam itu bersama Soraya. Bukankah tidak mungkin jika tiba-tiba saja dia tidak pulang?

Orang tuanya pasti akan curiga, mereka pasti akan mengira jika Liam menginap di apartemen Soraya yang hidup seorang diri.

"Aku pulang dulu. Mungkin lain kali, aku akan temani kamu tidur hingga pagi menjelang." Liam mengucapkan janjinya lalu mengecup kening Soraya yang masih terbalut di atas ranjang dengan selimut putih bersihnya.

"Istirahat aja, nggak perlu nganterin aku ke depan." Liam menatap Soraya dengan penuh kasih sembari membelai pipi wanita itu yang tersenyum.

"Kamu bawa aja satu kunci pintu cadangannya, trus kunciin dari luar," pinta Soraya.

Liam menyahut dengan anggukan kepalanya. Begitu sejuk hatinya melihat wanita itu bermanja dan tanpa Liam sadari ada satu tempat dalam hatinya untuk wanita itu menetap.

***

Seharian Soraya sibuk dengan pekerjaannya, larut memeriksa beberapa lembar kertas yang menumpuk di atas meja kerja. Sesekali dia menghela napasnya, meregangkan otot punggungnya sambil terus membaca kata demi kata yang ternoda di atas kertas di tangannya.

Pekerjaan menjadi seorang editor naskah novel di sebuah kantor penerbitan berkelas mayor, membuatnya harus bergelut dengan Sastra Indonesia. Itu bukan hal yang mudah baginya yang bukan seorang lulusan ahli Bahasa Indonesia. Namun Soraya bukan orang yang pantang menyerah, dia memperlajari Sastra Indonesia secara otodidak. Dan sampai saat ini pun, dia masih sering membuka kamus Bahasa Indonesia.

Mengapa?

Karena dia masih mau belajar dan masih haus akan dunia yang saat ini digelutinya. Bahkan Soraya pernah membuat beberapa novel yang sengaja tidak dia terbitkan secara cetak. Hanya dimuat dalam platform online seperti Wetpet misalnya.

"Aya, lihat deh!" seru Mia yang tiba-tiba muncul dari balik dinding meja kubikelnya.

Soraya langsung menolehkan pandangan ke arah sumber suara tersebut, lalu meraih sebuah dokumen dari tangan Mia. Dia membacanya perlahan.

"Tulisan siapa ini?" tanya Soraya yang kedua matanya terus menyusuri kalimat demi kalimat di atas kertas tersebut.

"Nggak tahu, enggak ada nama penulisnya. Bagus 'kan tulisannya?" Mia balik bertanya.

Soraya mengangguk. "Di amplopnya nggak ada nama pengirimnya apa?" Soraya menoleh, menatap Mia dan mengembalikan dokumen itu.

Mia menggeleng mantap dan berkata, "Enggak ada. Gimana ini? Padahal bagus kalau buat cetak. Sesuai standar kita. Gaya bahasanya renyah."

"Coba kamu ajuin ke pak Haris. Minta solusi sama beliau."

"Nomer teleponnya ada sih!"

Soraya berdecak. "Ya kalau ada nomer teleponnya 'kan tinggal dihubungin aja, Bambang! Ngapain tanya aku lagi! Ih!" kesal Soraya yang langsung memalingkan wajah. "Udah sana-sana. Aku masih banyak pekerjaan."

Mia tak kalah sebalnya, dia juga berdecak kesal. Mia memang seperti itu, terkadang bodohnya terlalu alami. Bahkan terlalu jelas terlihat.

Berjam-jam Soraya kembali larut dalam kata demi kata yang ada pada sebuah naskah novel yang dibacanya. Cerita tentang sepasang remaja SMA yang merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Sesekali Soraya tersenyum, tersipu malu membaca kata metapora yang dirangkai oleh sang penulis. Hingga tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, memasuki jam istirahat.

Siang ini, Soraya memang lebih memilih untuk makan siang di kantor saja dengan memesan makanan online. Tak berapa lama ponselnya berbunyi, sebuah nomer tidak dikenal tertera dari layar ponselnya. Soraya menerima panggilan tersebut.

"Hallo ... oh iya, sebentar saya turun ke sana." Soraya segera meraih dompetnya lalu bergegas melangkah menuju lobby.

Sesampainya di lobby, Soraya langsung menghampiri driver ojol yang menghubunginya tadi, lalu memberikan sejumlah uang untuk beliau dan menerima makanan pesanannya.

Baru saja wanita muda itu berbalik, untuk melangkah kembali menuju ke ruangannya, tiba-tiba saja sebuah gamparan mendarat tepat pada pipi kanannya.

Plak!!

Soraya hampir kehilangan keseimbangannya. Rasa panas dan juga perih begitu terasa kentara pada pipi yang kini dia tutupi dengan telapak kirinya.

avataravatar
Next chapter