16 Meluapkan Amarah

Kini, tampilan Ceril sudah terlihat sangat berantakan. Rambutnya sudah acak-acakan, lengkap dengan cetakan telapak tangan Soraya di pipi kanannya. Panas dan nyeri akibat gamparan Soraya masih terasa di sana, sesekali Ceril menggerakkan mulutnya agar pipinya ikut bergerak. Mencoba meregangkan otot wajahnya yang terasa kaku.

Pakaiannya juga tidak lagi rapi seperti sedia kala. Beberapa bagian terlihat sobek, mungkin karena Soraya yang menariknya tadi. Namun masih dapat dikatakan baik-baik saja.

Jauh lebih baik dibandingkan keadaan Soraya saat ini, yang sudah terduduk lemas di kursi kerjanya. Menyandarkan tubuhnya sambil memejamkan mata menghadap ke langit-langit ruangan. Sisa napas tersengal masih terlihat dengan jelas. Ditandai dengan naik-turun ritme bahunya.

Mia, sang rekan kerja sudah berlari sejak beberapa detik yang lalu, mengambil kotak P3K yang berada di pantry kantor ini. Cemas dan tidak mengerti dengan apa yang telah dialami oleh Soraya beberapa saat lalu. Langkahnya begitu cepat dan gesit hingga sekejab sudah kembali berada di depan Soraya lagi.

"Sini, aku bersihin dulu! Kok bisa begini sih, Ya? Perasaan tadi turun buat ambil makan deh!" Mia sedikit panik.

Soraya merasakan kepalanya mulai sedikit pening. Ditambah lagi dengan beberapa bekas cakaran kuku Ceril yang menggores kulit tubuhnya, di balik lengan kemeja kerjanya. Beberapa kali Soraya mengaduh kesakitan saat Mia mengoleskan alkohol untuk membersihkan goresan itu.

Tiba-tiba saja ada suara seorang lelaki yang berkata, "Call your daddy, Aya! Call your daddy!" Kemudian tertawa dan muncullah sosok seorang lelaki dari balik kubikel meja kerja itu.

Soraya langsung menoleh dan mendapati wajah Farrel tersenyum tipis, ia sudah menopang dagunya dengan kedua tangan yang dilipat di atas dinding sekat meja itu. Soraya langsung mencebik. "Sialan kamu, Rel!"

Farrel juga salah satu rekan kerja Soraya dan Mia. Lelaki itu sering sekali mendapati Soraya saat dijemput oleh Liam dulu. Bahkan tidak jarang Farrel menggoda Liam. Ya, maklumlah, jiwa Farrel memang setengah-setengah, lengkap dengan kemayu dan lentik jemarinya.

"Idih, jangan gitu. Udah pulang sana, call your daddy sweet buat minta jemput. Istirahat, nanti biar aku yang bilangin sama pak Haris, dia 'kan selalu oke kalau sama kamu," godanya, membuat hati Soraya kembali panas.

"Nggak perlu! Aku bisa pulang sendiri! Lagian ngapain telepon dia?" Soraya memprotes. Dia bisa langsung paham dengan siapa yang disebut sebagai 'call your daddy' oleh rekan kerjanya itu. Farrel dan Mia sontak terkekeh geli.

***

Tepat pukul lima sore hari, Soraya sudah berhasil memarkirkan sepeda motornya di dalam garasi basemen apartemen. Kali ini dia memang sengaja tidak mengambil lemburan karena kondisinya yang juga tidak terlalu fit.

Dalam balutan jaket gober milik Farrel yang dipinjamkan itu, Soraya masih merasakan beberapa nyeri perih akibat cakaran wanita gila yang menyerang ke kantornya. Soraya masih merasa tidak habis pikir, bisa-bisanya wanita itu mencari tahu tentang dirinya.

Apakah posisi Soraya selama ini yang hanya sebagai teman untuk Liam itu salah? Ataukah Ceril sudah mengetahui tentang hubungan terlarang yang sering dia lakukan dengan Liam? Soraya masih tidak mengerti. Tapi baginya, hubungan itu hanya sebatas kebutuhan biologis yang memang harus dia lampiaskan, bukan ditahan.

Pikirannya benar-benar kacau, begitu pula perasaannya.

Dengan langkah gontai, Soraya memasuki lift dan segera menuju kamarnya. Tanpa dia sadari jika sesaat yang lalu, dia baru saja melewati sebuah mobil yang selalu dia tumpangi.

Sambil mengembuskan napasnya dengan kasar, Soraya mendorong pintu depan apartemennya itu. Kemudian meletakkan kunci pintunya di sebuah wadah yang memang ada di sana untuk meletakkan segala kunci. Perlahan Soraya melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal yang memang digunakan untuk di dalam apartemen.

Tidak ada lagi tujuan langkah kakinya selain menuju ke kamarnya, dia ingin sesegera mungkin untuk beristirahat. Merbahkan tubuhnya yang terasa letih. Tetapi tiba-tiba saja sepasang tangan melingkar pada perut Soraya dari belakang lalu sebuah kecupan mendarat sempurna pada pipi kanannya. Soraya sontak menoleh setelahnya.

"Liam?! Ngapain kamu di sini?" Soraya langsung melepaskan dekapan lelaki itu lalu berbalik berdiri menghadapnya.

Reaksi terkejut yang Soraya perlihatkan tidak kalah hebohnya dengan reaksi Liam yang melihat kondisi teman wanitanya itu.

"Loh, kamu kenapa? Kok—" Liam tidak mampu lagi berkata-kata. Kedua matanya terus memandangi wajah wanita di depannya, khususnya pipi liri Soraya. Ia panik.

"Lebih baik kamu pulang dan jangan pernah lagi ke sini," pinta Soraya mencoba menahan emosinya.

Tatapan mata Liam menjadi semakin tajam, lalu tiba-tiba Liam bergerak, menarik keras jaket yang Soraya kenakan dan membukanya secara paksa. Betapa terkejutnya lelaki itu saat melihat pakaian yang Soraya kenakan sudah tidak rapi dan kotor. Bahkan ada beberapa bekas sobekan dan goresan darah yang mengering pada kain baju itu.

Untuk beberapa saat, Soraya terdiam. Berdiri membeku sambil menatap mata elang lelaki di depannya. Sebenarnya dalam hati wanita itu penuh akan rasa amarah, sebab semuanya terjadi karena ulah kekasih lelaki itu.

"Kamu pulang aja." Soraya mencoba lebih tenang.

"Ceril yang bikin kamu begini?"

Soraya mengembuskan napas, lalu menggeleng pelan. Tetapi tidak dengan Liam, ia percaya jika semua itu perbuatan kekasihnya. Hanya saja Liam tidak mengerti mengapa Ceril melakukan semua itu. Apa alasannya?

"Aku mau istirahat," usir Soraya halus. Kedua matanya terus memandangi bola mata Liam, hingga akhirnya Liam melangkah mundur.

"Nggak mau cerita? Siapa yang bikin kamu begini?" Liam masih terus mencari tahu. Lagi-lagi Soraya menggelengkan kepalanya.

"Kamu selalu begini! Kalau ada masalah, selalu disimpan sendiri trus gunanya aku apa?" hardik Liam seketika, membuat Soraya tersentak kaget.

"Dari dulu kamu selalu gitu. Ada masalah sama Reyhan juga diam mulu. Ditanyain nggak mau cerita. Aku berasa jadi nggak ada manfaatnya! Cuman tempat pelampiasan nafsu kamu aja!" tambah Liam lagi.

Seketika Soraya yang mendengar ucapan Liam merasa tersudutkan hingga akhirnya naik pitam, begitu Liam mengatakan jika dirinya hanyalah sebagai pelampiasan. Bukankah semua itu terbalik?

"Kamu nggak berhak ya ngomong gitu. Urusan aku sama Reyhan itu privasi aku. Kalaupun aku cerita, aku cuman butuh didengerin bukan di-judge sembarangan!" balas Soraya tidak kalah kerasnya.

"Aku khawatir sama keadaan kamu sekarang!"

"Enggak usah berlagak peduli kalau kamu cuman ngerasa diri kamu sebagai pelampiasan aku!!" Soraya semakin meninggikan nada suaranya. Membentak Liam terus-terusan.

"Sekali lagi aku tanya, Ceril yang bikin kamu begini?"

"Iya, mending kamu tanya dia. Dan ingat satu hal, kamu gak punya hak atas hidup aku! Sekarang keluar!" bentak Soraya lagi. Sepertinya dia sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya.

"Kamu enggak bisa ngelarang aku buat enggak ke sini lagi." Liam berkata lirih.

"Bisa!" hardik Soraya tegas.

Kemudian Soraya langsung mendorong kuat tubuh Liam, membuka pintu apartemen dan mendorongnya keluar. Liam tidak melawan. Kini posisi lelaki itu sudah berada di luar pintu sedangkan kaki Soraya berada di ambang pintu.

Tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulut mereka berdua. Dan secepatnya Soraya melangkah masuk lalu menutup pintu apartemen itu. Menguncinya dengan slot kunci kecil, yang mana artinya Liam tidak bisa untuk kembali masuk, walaupun ia memiliki anak kunci pintu tersebut.

Soraya meluapkan amarahnya, sedang Liam menyesali perkataannya.

avataravatar
Next chapter