20 Hidup Normal

Soraya memutuskan untuk tidak melakukan jogging pagi ini. Dia lebih memilih untuk bangun tidur kesiangan. Kemudian meregangkan otot tubuhnya, menggeliat di atas kasur empuk sambil berpikir tentang apa yang harus dia lakukan setelah ini. Biasanya jika weekend, dia selalu bingung dengan apa yang harus dia lakukan selama seharian penuh. Karena Soraya termasuk wanita yang tidak senang menghabiskan waktu di mall atau bahkan di salon, seperti umumnya wanita kebanyakkan.

Lagi-lagi wanita itu menggeliatkan tubuhnya sambil menahan napas dan mengembuskannya perlahan. Mengusap wajahnya dengan kasar lalu berniat segera beranjak menuju ke kamar mandi, untuk membersihkan diri.

Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang mengetuk pintu apartemen, membuat Soraya mengurungkan niat untuk segera membersihkan tubuh. Langkah kakinya lebih memilih untuk menuju ke pintu depan, mengintip pada lubang pintu untuk melihat siapa yang mengunjunginya di jam delapan pagi ini. Sungguh masih terlalu pagi untuk bertamu.

Ternyata orang di balik pintu itu adalah Liam. Berdiri dengan membawa sebuket bunga di tangannya. Entah apa yang akan dilakukannya sepagi ini. Liam juga tidak pernah membawakan bunga untuknya, Liam bukan tipe lelaki yang romantis. Yang jelas seketika hati Soraya terasa kembali remuk begitu melihat lelaki itu di sana.

Tok tok tok!

"Ya ... Aya! Aku tahu kamu di dalam." Liam kembali menggedor pintu, sambil berseru memanggil Soraya.

"Aku minta maaf kalau kata-kataku kemarin sudah menyinggung kamu," tambah Liam lagi.

Soraya yang tadinya mengintip dari lubang pintu kini memilih untuk berbalik. Menyandarkan punggungnya pada pintu lalu merosot turun hingga terduduk di lantai. Dia memeluk kedua lututnya dan menyembunyikan wajahnya di sana. Dia berniat untuk mengakhiri hubungan ranjangnya dengan Liam. Dia ingin hidupnya kembali normal, tanpa kelembutan dari lelaki itu. Tanpa kenikmatan yang pernah mereka rasakan bersama.

Liam terus saja mengetuk pintu di depannya, berharap wanita pemilik kamar apartemen itu mau membukakan pintu. Jangan ditanya sudah berapa kali jarinya menekan bel yang juga tidak ada tanda-tanda jawaban dari dalam sana. Namun, Liam tidak mau menyerah, sesekali ia menyerukan nama wanita itu, memanggil penuh kelembutan.

Nihil. Benar-benar tidak ada hasil. Lelaki itu tetap tidak mau pulang dengan sia-sia. Ia memang masih memiliki kunci pintu apartemen Soraya, sengaja tidak ia tinggalkan tadi malam saat wanita itu meminta kunci itu kembali. Namun saat ini, ia enggan menggunakannya dalam situasi yang seperti ini.

Ia segera merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Soraya. Namun, saat jempolnya sudah siap menyentuh tombol hijau, tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk. Ceril, begitu nama yang tertera pada layarnya. Bukan nama panggilan sayang atau sejenisnya.

Sudah sebulan yang lalu lelaki itu mengganti nama kontak kekasihnya dengan nama asli. Liam memang sudah merasakan adanya perubahan, bukan pada Ceril, melainkan pada dirinya sendiri. Sepertinya perasaannya untuk Ceril sudah berubah, bukan sayang apalagi cinta. Entah apa itu.

"Hallo?" sahut Liam, menerima panggilan telepon dari kekasihnya. "Kenapa?"

Di seberang telepon sana, Ceril menanyakan keberadaan Liam. Namun Liam tidak menjawab pertanyaan itu, ia lebih memilih untuk bertanya balik.

"Oh, jadi tadi malam kamu nginap di rumah Erna? Kenapa nggak bisa dihubungi?" tanya Liam lagi.

Ceril hanya beralasan jika ponselnya kehabisan baterai, bukan alasan yang sebenarnya. Kemudian Ceril mengajak Liam untuk bertemu, dengan cepat Liam menyetujui ajakan itu. Bukan karena rindu dengan kekasihnya, melainkan karena Liam ingin bertanya tentang kondisi Soraya yang terlihat kacau kemarin malam.

"Oke, aku segera ke sana!" jawab lelaki itu tegas sambil meletakkan buket bunga yang ada di tangannya itu ke depan pintu kamar Soraya, lalu memutuskan sambungan teleponnya dan melangkah pergi.

Dalam perjalanan Liam sudah bertekat untuk memutuskan hubungannya dengan Ceril, jika benar dan Ceril mengaku telah memukul Soraya. Tetapi sepertinya tidak ada maling yang mau mengakui kesalahannya. Begitu pula dengan Ceril. Rasanya tidak mungkin jika dia mau mengakui telah memukul Soraya.

***

Isak tangis yang tadinya lirih kini terdengar semakin jelas dan meninggi, begitu beberapa saat di balik pintu terasa sepi. Ya, tadi Soraya mendengar suara Liam yang menerima telepon dari luar sana. Walaupun sayup-sayup, tetapi Soraya bisa menebak, jika telepon yang Liam terima itu dari kekasihnya. Oleh karena itu, Liam langsung bergegas pergi.

Dalam ingatan Soraya kembali terlintas saat-saat di mana dirinya sedang bersama Liam dulu. Entah itu saat di atas ranjang ataupun sekedar bercengkrama. Kekasih dari temannya itu selalu menghubungi dan temannya itu selalu bergegas pergi setelah menerima telepon.

Dan sikap Liam yang seperti itu pada kekasihnya membuat Soraya cemburu, tanpa dia sadari. Semakin hari semakin tidak dapat dia kontrol. Begitu pun saat ini, dia semakin menyadari jika dia sudah mulai terbiasa dengan segala kehadiran Liam untuk harinya.

Tiba-tiba dering ponsel Soraya terdengar dari dalam kamarnya. Sebuah nada panggilan telepon. Soraya langsung mengusap air mata di pipi lalu segera berdiri, melangkah masuk ke dalam kamar dan melihat siapa yang menghubunginya. Reyhan. Dengan sedikit malas dia menerima telepon itu. "Iya, Sayang?"

Seperti biasanya, Reyhan dengan manis menyapa pagi harinya pada Soraya. Menanyakan rencana kegiatan wanitanya untuk hari ini.

"Aku ada janji sama temen, mau hangout. Kenapa?" Soraya mencari alasan.

Sedangkan lelaki di seberang telepon sana sedikit berbasa-basi. Reyhan memang sengaja memberikan perhatian lebihnya, bukan tanpa alasan, tetapi karena dia ingin meminta sedikit uang pada kekasihnya itu.

"Sayang, kamu bisa transferin aku uang? Aku nggak ada pegangan ini." Reyhan memelas.

Jika sudah seperti itu, Soraya biasanya tidak tega dan akan langsung mengirimkan sejumlah uang untuk kekasihnya itu. Dan benar saja, Soraya langsung memenuhi permintaan tersebut. Tanpa banyak kata. Karena bagi Soraya, lelaki itu bisa membuatnya untuk menahan hasratnya selama ini. Hanya saja dia terjebak pada sahabatnya sendiri.

Setelah mengakhiri sambungan telepon dengan Reyhan itu, Soraya langsung mencari nomer telepon seseorang lalu menghubunginya. Cukup lama dia menunggu nada sambung tersebut, hingga seorang wanita menerima teleponnya.

"Hallo, Dokter Lyra?" sapa Soraya lebih dulu.

Dokter Lyra adalah seorang dokter terapi yang ahli dalam bidang psikologi. Dulu, saat Soraya berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya itu, Dokter Lyra-lah yang menolongnya. Melakukan perawatan konseling yang teratur hingga akhirnya dia bisa memiliki hubungan asmara yang sehat saat memulainya bersama Reyhan.

Kali ini, Soraya menghubungi beliau untuk kembali menjadwalkan pertemuan mereka. Soraya benar-benar ingin lepas dari Liam dan kembali hidup normal.

avataravatar
Next chapter