5 VAN DAN VIN

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Langit sudah menguning menandakan bahwa sebentar lagi akan gelap. Saat ini seseorang tengah melamun di balkon kamarnya memikirkan sesuatu.

Remaja berumur 15 tahun ini baru saja lulus. Dia hendak melanjutkan Sekolahnya ke Sekolah terbaik yang ada di Bandung. Untuk saat ini ia masih bimbang untuk memilih diantara dua Sekolah yang memiliki pencapaian terbaik.

Saat sedang menyendiri dalam kebimbangannya, datanglah Ibunda dari remaja itu yang kini sedang berdiri diambang pintu sembari tersenyum lalu mengetuknya.

Suara ketukan itu membuatnya menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat siapa yang mengetuknya dan langsung berdiri sembari tersenyum ketika melihat orang yang begitu berarti dalam hidupnya.

"Bunda, ada apa?" tanya nya yang masih berdiri di balkon kamarnya.

"Bunda, boleh masuk?"

Remaja yang berstatus sebagai anaknya itu terkekeh mendengarnya.

"Boleh dong, Bund. Masa gak boleh," jawabnya, kemudian Bunda nya pun masuk kedalam kamarnya berjalan menghampiri dirinya yang sedang menyendiri.

Setelah sudah berhadapan dengan anaknya, Bundanya pun langsung mengusap puncak kepala putranya itu dengan sayang.

"Anak Bunda udah besar sekarang," ujar sang Bunda sembari tersenyum. Anaknya pun menjadi ikut tersenyum mendengarnya. "Kamu kenapa, Sayang? Sini cerita sama Bunda."

Terlihat sekali putranya itu menghela nafas, setelah itu menyuruhnya untuk ikut duduk bersama disampingnya.

"Aku bingung, Bund," jawab putranya itu dengan wajah yang lesu. Bundanya itu yang melihat langsung mengangkat kedua alisnya.

"Bingung?" Beo nya yang langsung dibalas anggukan oleh putranya. "Bingung, kenapa?"

Bundanya itu menatap lekat-lekat putranya, melihatnya yang seperti itu saja sudah kasihan karena sepertinya ada hal lain yang sedang anaknya itu pikirkan.

"Menurut Bunda, aku lebih cocok masuk ke Sekolah yang mana?"

"Kamu pengennya kemana?"

"Ih, Bunda, serius!" kesalnya yang langsung mengerucutkan bibirnya. Bundanya yang melihat itu terkekeh gemas, langsung membujuknya dengan sedikit rayuan.

"Jangan marah dong, Bunda bilangin Ayah, lho,"

"Bilang aja kalau berani," tantang putranya. Bundanya pun mencebik lalu hendak berdiri tetapi langsung ditahan oleh putranya.

"Iya, deh. Gak marah lagi, nih!" Bundanya pun kembali duduk disampingnya.

"Jadi, gimana?"

Sekarang semua sedang berkumpul dimeja makan untuk melaksanakan makan malam.

"Van," panggil Ayah nya yang kini tengah menatapnya lekat-lekat. Memang, Ayah Van memiliki sikap yang tegas dan disiplin. Seperti saat ini Ayah nya itu mengatakan akan menunggunya di Ruangan kerjanya setelah makan malam.

"Iya, Yah?" Van menatap Ayah nya terlebih dahulu sebelum makan. Sementara itu Bunda sedang mengambilkan makan untuk mereka.

"Ayah tunggu nanti di Ruang kerja." Mendengar itu Van langsung menganggukkan kepalanya.

"Baik, Yah."

Datanglah anak kedua mereka yang berstatus sebagai adik dari Van, anak pertama mereka. Adiknya yang satu ini tak kalah tampan dari abangnya sendiri, panggil saja Vin.

"Maaf telat Bund, Yah, Bang," ujarnya kemudian duduk disamping Van, abangnya. Dibalas anggukan oleh Ayah dan Bundanya.

Van hanya diam tak merespon, sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara itu Vin sebagai adik yang melihat abangnya seperti ini merasa aneh. Tidak biasanya abangnya itu lebih banyak diam seperti ini.

Vin pun menatap kedua orang tuanya secara bergantian seolah bertanya apa yang telah terjadi pada kakaknya itu.

Ayah dan bunda mereka pun hanya membalasnya dengan gelengan. Vin yang melihatnya kembali menoleh pada abangnya dengan sendu. Sepertinya abangnya itu kembali bermimpi seperti satu tahun yang lalu.

Tentu saja Vin tahu, karena saat itu Van yang menceritakannya sendiri seperti apa mimpinya. Kedua orang tuanya belum mengetahui perihal ini, karena Van yang meminta Vin untuk tidak memberitahu apa-apa soal ini. Sebagai seorang adik, ia pun bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Van, abangnya.

"Bang, lo baik-baik aja, kan?" bisiknya agar tak didengar oleh kedua orang tua mereka yang sedang sibuk dengan makan malamnya.

Van menoleh padanya dengan tatapan yang sulit diartikan, kemudian menggeleng. Bahwa abangnya itu sedang tak baik-baik saja.

"Makan dulu, Bang. Nanti Ayah sama Bunda jadi curiga kalau lihat lo kaya gini."

Benar, akhirnya Van pun makan dan adiknya Vin yang melihatnya pun tersenyum.

"Gua selalu berada tepat disamping lo, Bang. Kapan pun lo butuh gue, gue selalu ada untuk lo," ujar Vin dalam hati.

Van diam menatap punggung sang Ayah yang kini tengah berdiri membelakanginya. Sejujurnya ia sedikit takut pada Ayah nya jika sudah seperti ini. Entah ada apa Ayah nya itu menyuruhnya untuk datang ke Ruang kerjanya.

"Van, putra Ayah. Apa kamu sudah menentukan kemana kamu melanjutkan Sekolahmu?"

"Sudah, Yah," jawabnya sopan.

Ayah Van tersenyum kemudian berbalik menghadap putra pertamanya itu dengan sayang. Berjalan menghampiri Van yang sejak tadi hanya menunduk dan tak duduk sama sekali.

"Apa lantai itu lebih menarik perhatianmu daripada Ayah?" tanya Ayah Van yang kini sedang tersenyum. Ayah Van tahu bahwa Van adalah anaknya yang penurut pada kedua orang tuanya, berbeda dengan Vin yang terkadang sedikit lebih berani membangkang perintahnya.

Meskipun begitu, kedua putranya itu adalah anak yang baik dan pintar. Perbedaan kedua karakter dari putranya itu membuat mereka saling melengkapi satu sama lain.

Contohnya saat mereka masih kecil sedang bermain di Taman, mereka bertiga pernah kehilangan jejak Van diantara banyaknya orang-orang yang juga sedang berada di Taman itu. Vin yang berada dalam gendongan Bundanya pun menangis saat menyadari bahwa abangnya itu tak ada didekatnya.

"Van, apapun pilihan kamu, Ayah pasti akan selalu mendukungnya. Jadilah laki-laki yang tak pernah mengingkari janjinya."

Van pun akhirnya berani mendongak menatap sang Ayah yang berada dihadapannya, lalu tersenyum senang.

"Makasih, Yah." Ayah Van pun mengangguk dengan sebelah tangannya yang menepuk bahu kanan Van dua kali.

Setelah menutup pintu, Van terkejut dengan kehadiran adiknya yang ternyata sedang menunggunya didepan Ruang kerja Ayah mereka.

Vin terlihat seperti sedang khawatir padanya, "Bang, lo gapapa, kan? Terus, gimana kata Ayah?" Tanya nya penasaran.

Van tersenyum, "Gue gapapa, Dek. Lo bukannya tidur udah malem malah disini."

"Gue khawatir tahu, Bang. Takut lo dimarahin Ayah, tapi lo gak bikin kesalahan apapun, kan?"

Mulanya Vin mendengus kesal tetapi tak bertahan lama karena kekhawatirannya lebih besar daripada rasa kesalnya.

Van mengerutkan keningnya, kemudian menggeleng sebagai jawaban. Satu tangannya tergerak untuk menyentuh kening adiknya Vin dengan punggung tangannya.

"Gak panas, lo kenapa sih, Dek?" Vin kesal melihat tingkah abangnya ini yanng seolah baik-baik saja, padahal Vin sangat mengenali Van sebagaimana Van yang sangat mengenali Vin, adiknya.

"Bang, gak usah ngelak deh. Gue tahu lo banget, pasti terjadi sesuatu sama lo, kan?"

Van menghela nafasnya, "Gue udah bilang jujur, lho." Setelah itu ia melirik jam dindingnya, "Udah jam sepuluh, ayo ke kamar, tidur. Lo sekolah besok!" ujarnya tak terbantahkan.

Vin mendengus kesal, akhirnya mau tak mau ia pun menurutinya dan berjalan dibelakangnya mengikuti Van yang menaiki tangga. Kamar mereka berada dilantai atas, tepat bersebelahan.

Tanpa mereka sadari, Ayah Van menguping pembicaraan mereka berdua dari balik pintu. Ayah Van sangat bangga pada Vin yang begitu sangat peduli pada Van, abangnya sendiri.

"Semoga kedepannya tak ada pertengkaran yang membuat kalian saling menjauh. Ayah sangat bangga pada kalian," gumamnya.

avataravatar
Next chapter