9 MASIH MENCINTAINYA

Pagi ini seorang pria baru saja bangun dari tidurnya. Ia menguap lalu mengucek kedua matanya sembari melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 09.00. Ia melototkan matanya, kemudian mencari-cari ponselnya yang ia simpan secara asal.

Mencari ke setiap sudut kamarnya, akhirnya ia bisa bernafas lega ketika melihat ponselnya yang tergeletak dibawah meja.

Ia pun langsung menyalakan ponselnya dan terdapat beberapa riwayat panggilan dan juga pesan chat dari Calvin dan juga Yuanita, Istrinya.

Ia lebih tertarik melihat pesan chat dari Sahabatnya. Ia langsung tersenyum sembari menggelengkan kepalanya ketika membaca pesan dari Calvin yang meluapkan kekesalan kepadanya karena mengkhawatirkan dirinya.

Tanpa membalas pesannya, ia pun beralih membaca pesan dari Istrinya, Yuanita. Alisnya mengerut ketika melihat sebuah foto dimana Istrinya tengah merajuk padanya untuk segera pulang ke Rumah.

"Yuanita... Yuanita... kamu kapan berubahnya, sih? Mas capek lama-lama sama kamu," gumam John sembari memijit pangkal hidungnya sebentar.

Meletakkan ponselnya secara asal, ia pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lengket. Ia harus bekerja untuk melupakan sedikit masalah yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya.

Saat ini John sedang dalam perjalanan menuju Perusahaannya. Tiba-tiba ponselnya berdering, ia pun langsung mengangkat panggilan itu yang ternyata dari Calvin.

"Halo, Vin. Ada apa?" tanya John sembari fokus menyetir. Namun, raut wajahnya mendadak berubah ketika mendengar pembicaraan Calvin ditelepon.

Tak butuh waktu lama, kini John akhirnya sampai di SMA terbaik di Bandung. Ia pun langsung masuk kedalam ruangan khusus untuknya untuk menghadap teman lamanya yang juga saat ini menjadi Kepala Sekolah di Sekolah miliknya ini.

Banyak sekali teman John yang menjadi pegawainya. John adalah tipikal orang yang senang membantu temannya yang sedang kesusahan, maka dari itu John membantu Rudy yang kini menjabat sebagai Kepala Sekolah di Sekolahan miliknya ini.

"Selamat siang, Bapak John Sheikh. Senang bertemu denganmu, sudah lama sekali ya tidak kemari?" Rudy tersenyum kaku menghormati John yang saat ini sedang berada diruangan khususnya ini.

John terkekeh, "Gak usah kaku gitu lah, Rud. Sini duduk, gak usah sungkan sama gue. Anggap aja kita lagi reuni teman lama," ujar John yang membuat Rudy tersenyum mendengarnya.

Akhirnya Rudy pun duduk disampingnya dengan John yang mulai bertanya serius padanya.

"Jadi bener, ada murid baru yang nama Ibunya mirip sama dia?" tanya John yang tak sabaran. Rudy pun mengangguk mengiyakan lalu memperlihatkan formulir pendaftaran penerimaan siswa baru yang ingin bersekolah disini.

"Ini, John. Tapi gue gak bisa mastiin kalau ini beneran dia, makanya gue kasih tahu lo, secara kan lo dulu pernah pacaran sama dia dari SMA, jadi pasti lo tahu banget dong tentang dia."

John diam tak berkutik ketika melihat nama dari orang tua murid baru ini yang begitu mirip dengan nama mantan pacarnya dulu. Entah kenapa hatinya benar-benar tenang sekarang, dan lihatlah disini tertara nama anak perempuan.

"Jika benar ini adalah kamu, berarti aku akhirnya bisa bertemu dengan anakku. Apa dia cantik seperti kamu?" ujar John dalam hati sembari matanya memandang kearah formulir yang sedang ada ditangannya.

Rudy yang melihatnya tentu saja ikut bersedih, seperti merasakan apa yang dirasakan oleh temannya itu. Ia pun menepuk pundak John dua kali, bermaksud untuk menguatkan pria itu.

"John, gue ikut senang kalau itu beneran dia," ujar Rudy yang kini tersenyum, John pun balas menatapnya dengan senyuman.

Masih dengan senyum yang mengembang, sepanjang perjalanan ia masih tak menyangka bahwa akhirnya ia mendapatkan sebuah petunjuk.

Setelah sampai di Perusahaannya, ia langsung kembali menjadi sosok dengan aura dingin dihadapan para karyawan.

Melewati semua pegawai yang sedang menatapnya saja, menyapa, bahkan ada pula yang bersembunyi ketika tahu dengan kedatangannya.

Setelah sampai ia pun masuk kedalam ruangannya yang terpampang jelas CEO disana. Melewati Calvin yang kini menatapnya masam karena tahu arti dari senyuman yang terpancar di wajah Sahabatnya itu.

Baru saja duduk, sudah ada karyawan yang mangetuk pintu dan memberikan beberapa berkas yang menumpuk.

"Ini yang harus ditanda tangani, Pak." John pun mengangguk.

"Baik, silahkan pergi," ujar John yang langsung sibuk dengan pekerjaannya. Karyawan itu pun pergi dari hadapannya, berjalan keluar dari ruangannya.

Tak lama Calvin masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan itu berhasil membuatnya terkejut.

"Vin!" tegur John yang terkejut, sedangkan Calvin hanya menyengir saja. Sahabatnya itu pun langsung duduk di Sofa sesekali memainkan ponselnya.

"Kaya nya ada yang happy hari ini," sindir Calvin menggoda Sahabatnya, John.

John diam tak merespon, sibuk memberikan tanda tangannya pada kertas-kertas yang menumpuk itu.

"Sialan, dicuekkin lagi gue," umpat Calvin yang masih didengar oleh John. Sebenarnya John sedang berusaha mati-matian menahan tawanya karena membayangkan Calvin jika sedang kesal.

"Vin... Vin... emang enak gue cuekkin," ujar John dalam hati.

Pukul 12.00 Siang, John mengajak Calvin untuk makan siang restoran miliknya. Sebagai permintaan maaf karena sedari tadi Sahabatnya itu terus saja merajuk.

John saja terkadang tidak mengerti, kenapa tingkah laku Calvin seperti wanita yang sedang marah saja.

"Buruan duduk, hari ini sebagai permintaan maaf gue, lo boleh pesan makanan sepuas lo," ujar John yang membuat senyuman di wajah Calvin terbit begitu saja.

"Ini baru, Sahabat Calvin Pradana." John hanya mencebik menyikapinya. Calvin pun dengan semangat memanggil pelayan untuk memesan beberapa makanan mahal yang sengaja Calvin pesan untuk membalaskan kekesalannya itu pada Sahabatnya.

John menatap beberapa makanan yang telah memenuhi meja dengan pandangan tak percaya, "Lo... pesen sebanyak ini, ini gak salah?" tanya John yang kini menatap Calvin yang tengah tersenyum jahil.

Calvin tersenyum mengangguk, "Iya, kenapa?" tanya Calvin

John memicingkan matanya curiga, karena sudah hafal betul dengan sifat Calvin sahabatnya.

"Lo gak ada maksud lain, kan?"

Calvin terkekeh, "Tepat. Tentu aja gue gak semudah itu maafin lo, gue sengaja pesen sebanyak ini karena pengen nantang lo untuk mukbang, gimana?"

John langsung menggelengkan kepalanya, astaga benar kan dugaannya, Calvin sahabatnya itu benar-benar sudah tak waras ternyata.

"Lo mau bikin gue gemuk, heh?!" tanya John tak terima. Calvin menahan tawanya, "Terserah lo, dimaafin atau enggak sama sekali," ujar Calvin yang kini mengulum senyumnya.

"Hahaha, emang enak gue kerjain," ujar Calvin dalam hati. Melihat John yang seperti ini benar-benar adalah tontonan yang membahagiakan, bagaimana John dengan bodohnya menuruti permintaan konyolnya ini.

"Calvin, awas aja lo, tunggu pembalasan gue!" ujar John yang kini tengah mengunyah makanan kemulutnya dengan kesal.

Calvin pun mulai ikut makan, sesekali menatap Sahabatnya John yang sudah pasti sedang mengumpati dirinya dengan kasar, memikirkan itu Calvin menjadi senang.

Kapan lagi bisa mengerjai Sahabat yang dinginnya minta ampun ini. Bahkan sampai saat ini, Calvin sebagai Sahabatnya tidak mengerti, bagaimana seorang John sangat begitu dingin terhadap makhluk yang bernama perempuan.

"Vin, lo tahu darimana?" tanya John disela-sela mengunyah makanannya.

"Rudy awalnya nanya ke gue, terus gue curiga dan akhirnya maksa buat dia jujur. Jadilah gue kasih tahu lo, karena gue tahu banget, kalau lo masih cinta kan sama dia?"

John memandang kosong makanannya, Calvin melihatnya dengan jelas bagaimana John yang menyesali perbuatannya itu.

"John, gue kasih tahu, kalau memang kesempatan itu masih ada, lo perjuangin lagi dia."

John menatap Calvin dengan lesu, "Terus Istri gue, gimana?" tanya John.

Calvin menatap John datar, "Lo nikah sama dia dari awal juga karena sebuah kesalahan, lo sadar gak sih kalau dia itu gak beneran cinta sama lo? Yang ada nih ya, menurut gue kalau Istri lo itu cuma mau harta lo doang,"

Mendengar itu John juga merasakan hal yang sama, apa benar yang dikatakan Calvin?

"Terus gue harus gimana, Vin?"

"Semua terserah sama lo, gue sebagai sahabat cuma bisa kasih jalan terangnya aja. Terserah lo, masih mau pertahanin tuh cewek kerdus atau anak lo," ujar Calvin.

"Inget, pilih satu aja, jangan keduanya. Belajar jadi cowok sejati, cewek itu punya perasaan, John. Lo gak berhak menyakiti keduanya, disini ada yang harus rela lo korbanin, itu resiko dari perbuatan lo sendiri. Gue gak akan ikut-ikutan, itu masalah pribadi lo." Lanjutnya lagi memperingati.

Akhirnya John memiliki titik terangnya, tersenyum menatap Calvin.

"Thank's ya, Vin. Lo memang Sahabat gue yang paling the best!"

"Giliran gini aja, lo bilang gue sahabat terbaik lo!" ujar Calvin mencebik membuat John tertawa melihatnya.

avataravatar
Next chapter