6 Bertahan

Daniel menemukan Lilia dalam kondisi mengenaskan. Sepanjang rahang dan leher membiru.

"Astaga, Lilia." Memeluknya erat. "Apakah Jace yang melakukannya?"

Tangannya bergerak naik turun di sepanjang punggung ramping coba memberinya rasa damai.

"Menangislah jika kau ingin menangis."

Tangis Lilia pecah dalam pelukan Daniel.

Di suguhkan pada kehancuran Lilia. Daniel tidak tahan lagi. Amarahnya bergelora. Lilia tahu itu.

Rahang tegas mengeras, sorot mata menggelap, kedua tangan mengepal erat hingga buku-buku jari memutih. "Kau tunggu di sini."

"Daniel, tunggu."

"Ada apa?" Tanyanya dengan memberinya lirikan sekilas.

"Kau mau ke mana?"

Menghunjam Lilia dengan tatapan maut. "Membalaskan setiap tetes air matamu."

"Kumohon jangan lakukan itu. Ini masalahku dengan Jace. Kau tak perlu ikut campur."

"Kau masih saja membelanya." Menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tak percaya ini, Lilia."

"Aku tidak mau kau ikut campur, Daniel."

Daniel kembali ke sisi ranjang, meraih dagu Lilia. "Kau ingin aku diam saja melihat kekejam ini, hah?"

"Aku bisa menyelesaikannya sendiri."

Daniel marah. Kedua tangan mengepal erat, rahang mengeras hingga terdengar suara gemelatuk gigi. "Seharusnya kau tidak menghentikanku, Lilia."

Matanya berbicara. Jangan pernah menyentuh Jace, kumohon.

Ingin rasanya memukuli wajah tampan sahabat masa kecilnya itu, tapi kenapa Lilia menghentikannya? Kenapa dalam kondisi seperti ini Lilia masih saja peduli pada lelaki itu? Kenapa?

Daniel muak. Sangat muak, tapi rasa pedulinya pada Lilia tak bisa dia abaikan begitu saja. "Kenapa kau menghentikanku? Katakan."

"Tidak ada jawaban untuk pertanyaan mu ini, Daniel. Jika kau mengenal cinta maka kau akan mengerti alasan dari tindakanku."

"Cih, cinta. Apa ini yang di namakan cinta, hah? Dengarkan aku, Lilia. Kalau Jace benar - benar mencintaimu. Dia akan melindungimu bukan malah menyiksamu." Mencoba mengatur emosinya. "Untuk kali ini saja jangan menghentikanku."

"Kau tidak boleh melakukan apa pun tanpa seizinku. Aku, Liliana DC.Hitson, tidak mengijinkan siapa pun termasuk kau menyentuh kekasih ku, Jace Montana."

"Kau sudah dibutakan oleh cinta."

"Yang baru saja kau katakan terdengar-" garis bibir membentuk senyum miris. "Menyedihkan."

"Lilia, Lilia. Seharusnya kau tinggalkan saja Jace. Masih banyak lelaki di luaran sana yang lebih kaya dan bisa menghargai keberadaanmu."

Tersenyum sinis. "Di Dunia ini. Siapa yang lebih kaya dari, Jace Montana, hah? Tidak ada."

"Tapi lihatlah keadaanmu. Demi menyandang status sebagai teman kencan, Jace Montana. Kau merelakan dirimu-" Daniel tidak sanggup melanjutkan kalimat di suguhkan pada kondisi Lilia yang mengenaskan.

Di rangkumnya pipi Lilia. "Dengarkan aku."

Menghempas kasar. "Tidak, Daniel. Aku tidak mau mendengarkanmu." Tatapannya meremang pada kejadian malam itu. "Perlakuan buruk yang kuterima hari ini. Semua ini di akibatkan olehku. Aku yang salah. Aku yang sudah melanggar janjiku." Menajamkan tatapannya pada Daniel. "Sudah sepantasnya Jace marah dan menghukumku."

"Tapi tidak dengan melukaimu. Lelaki macam apa yang dengan sengaja melukai seorang wanita, hah? Jace, pantas mendapatkan balasan atas tindakannya."

"Sekali saja kau sentuh kulit Jace maka urusanmu dengan ku, Daniel." Geram Lilia.

Lilia tidak pernah suka adanya pertengkaran antara Jace, dan Daniel. Eits, bukan tidak suka tapi belum saatnya.

Dada Daniel naik turun menahan amarah. Lilia tahu itu. Ia mengibaskan tangannya ke depan wajah. "Sudahlah, lupakan soal Jace. Bantu aku ke kamar mandi."

"Kondisimu saja seperti ini. Sebaiknya, kau tetap di ranjangmu."

Lilia memerangi rahangnya. Rahangnya tersebut terasa sakit ketika di gerakkan.

"Jangan banyak bergerak dan bicara dulu." Saran Daniel.

"Di mana Jace?"

"Untuk apa kau menanyakan si Cruel itu, hah? Apa belum cukup dia menyakitimu?"

"Jangan panggil Jace dengan sebutan seperti itu. Aku tidak suka mendengarnya."

Daniel menyungging senyum sinis. "Cantik, seksi, tapi sayang kau ini bodoh sekali, Lilia. Sangat bodoh."

"Jangan mencemoohku."

"Buktinya, kau rela kehilangan gelar super model hanya demi mengencani, Jace Montana. Tapi lihat yang kau dapatkan! Hanya luka dan air mata."

"Jika kau pikir dengan mempertahankan orang yang kau cintai suatu kebodohan maka kau salah besar, Daniel. Cara pandangmu itulah yang harus kau rubah."

"Ya, menurutku itu suatu kebodohan. Cinta penuh dengan kasih sayang, bukan air mata pesakitan. Ini namanya penindasan perasaan. Sadarlah mengenai satu hal itu."

"Kau bicara soal cinta, memangnya kau pernah jatuh cinta, huh? Jangan kau pikir aku tidak tahu apa-apa, Daniel." Lilia mendekatkan wajahnya. "Kau tidak pernah mengencani satu wanita pun." Cibir Lilia.

Kalimat yang baru saja menggelitik pendengaran memaksa Daniel membuka mata, menghujani Lilia dengan tatapan mematikan. "Kau salah, Lilia. Aku memang tidak mengencani wanita, bukan berarti aku tidak jatuh cinta."

"Lalu siapa wanita tidak beruntung itu, huh?"

"Siapa pun dia itu bukan urusanmu."

"Bukankah kau sudah menganggapku lebih dari sahabat." Tatatapannya merajuk. "Kenapa kau harus menyembunyikan hal ini dariku? Beritahu aku. Siapa wanita itu?"

"Belum saatnya kau tahu."

Menyelidik wajah Daniel. "Apakah wanita itu Emily?"

"Jangan gila, Lilia."

"Selama ini kalian cukup dekat. Kurasa kalian berdua cocok. Kau terlalu naif dan dia terlalu cupu."

"Emily, seorang desainer yang sangat berbakat. Banyak lelaki yang menyukainya."

"Termasuk kau?"

"Tidak."

"Kalau bukan Emily, lalu siapa wanita kurang beruntung itu, hm?"

Suasana hening sesaat.

Daniel menatap lekat Lilia.

"Diammu ini menggambarkan bahwa wanita itu istimewa. Benar begitu, kan?" Menyelidik wajah tampan.

"Lebih dari istimewa."

"Wow, aku merasa kasihan dengan wanita tidak beruntung itu."

"Berhenti membicarakan wanita tidak beruntung itu." Beranjak dari ranjang.

"Kau mau ke mana?"

Mengabaikan pertanyaan Lilia. Daniel pergi.

Setelah beberapa saat dia kembali membawa kotak P3K yang ada di tangan sebelah kanan.

"Kemarilah! Luka mu harus segera kuobati."

"Hai, aku tidak sedang terluka parah. Untuk apa kau bawakan aku obat menjijikkan ini?"

"Diam dan jangan banyak protes." Mulai mengoleskan salep ke rahang dan leher yang membiru. "Kau tidak mau kan sekembalinya dari liburan. Teman-teman mu memergokimu dalam kondisi mengenaskan."

"Memangnya kapan kita akan kembali ke Italia?"

"Secepatnya." Daniel bersumpah akan menjauhkan Lilia dari Jace. Dia tidak mau hal seperti ini terulang kembali. Dia akan membawa Lilia pergi jauh bersamanya.

"Apa Jace yang memberitahu bahwa secepatnya kita akan kembali ke Italia?"

"Tidak."

Menyentak kasar jemari kekar. "Aku tidak akan meninggalkan Miami tanpa Jace. Tidak akan pernah." Penuh penekanan pada setiap kata.

"Mengertilah, Lilia. Kau harus kembali ke Italia bersamaku. Bersama Jace, kau tidak akan pernah bahagia. Si Cruel itu hanya akan memberimu luka dan air mata."

"Aku tidak peduli, Daniel. Yang jelas aku sangat mencintainya." Mencintai yang melekat kuat dalam dirinya. Lanjutnya sembari tersenyum miring.

"Cinta tidak memberi luka, tapi kebahagiaan. Pergilah bersamaku. Jika kau takut kehilangan kemewahan setelah meninggalkan Jace. Akulah yang akan memberikan itu untukmu."

Garis bibir membentuk senyum sinis. "Berapa banyak yang bisa kau berikan? Bersama Jace, aku bisa mendapatkan segalanya. Kalau kau bisa memberi lebih banyak-" menguncikan tatapannya pada Daniel. "Dengan senang hati kutinggalkan, Jace Montana."

Daniel terdiam. Satu hal yang tak pernah dia sangka Lilia mampu berbicara seperti itu.

Senyum sinis kembali terukir di bibir Lilia. Ia mendekatkan wajahnya membisikkan kata - kata yang memancing amarah Daniel. "Obati sendiri lukamu." Melempar kotak P3K ke pangkuan Lilia.

avataravatar
Next chapter