10 Ungkapan Yang Tiba-Tiba

Musim semi, 11 tahun lalu.

Aku berjalan menuju universitas, melalui taman yang ditumbuhi pohon Sakura yang indah, mekar dengan warna merah muda yang lembut. Angin yang bertiup cukup kencang, membuat bunga-bunga beterbangan, menambah keindahan suasana ini. Udara segar bercampur dengan aroma manis membawa kesejukan tersendiri. Semua orang terlihat sangat menikmatinya dengan kebahagiaan.

Banyak pasangan yang berpacaran di tempat ini. Ada beberapa dari mereka bermesraan satu sama lain; tersenyum bersama; dan saling memandang dengan kasih sayang, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua, terlepas dari bagaimana orang sepertiku melihat keintiman mereka dengan rasa iri yang bisa membuatku menangis kapan saja.

Melihat mereka, terkadang aku bertanya-tanya betapa manisnya keintiman seperti itu. Jika ada pertanyaan, aku akan menjawab bahwa aku juga menginginkan seorang kekasih, tetapi aku tidak tahu bagaimana menemukan seseorang, apalagi jika itu seorang wanita. Aku tidak tertarik pada wanita mana pun, jadi bagaimana aku bisa mendapatkannya? Itu juga alasan mengapa aku memilih untuk sendiri.

Saat ini, aku berusia dua puluh satu tahun. Hampir setahun setelah meninggalnya seseorang yang selalu menyayangiku, yaitu nenekku. Satu-satunya yang selalu memberiku nasihat dan mengajariku mengenai arti hidup yang sebenarnya.

Sebelum kematiannya, aku memang telah mengkhawatirkan hal seperti itu akan terjadi di masa depan ketika aku melihat tubuh rentanya karena penuaan. Hingga apa yang aku khawatirkan pun terjadi, tepat di musim gugur tahun lalu sebelum aku mengunjunginya.

Sebulan setelah kematiannya, aku bermaksud mengakhiri hidupku untuk menyusulnya. Namun, ketika aku teringat perkataannya, nasihatnya, segala sesuatu yang sepertinya memukul kepalaku dan segera menyadarkanku.

Aku pun menyadari bahwa bunuh diri bukanlah sebuah cara untuk mengakhiri kesedihan. Mengingat nasihatnya, itu berhasil membuatku sadar bahwa aku masih punya waktu untuk mengenal orang baru di luar sana; mengetahui keunikan mereka; dan mengatur masa depan baru.

Aku belum cukup lama mengenal dunia ini. Banyak hal yang masih perlu diketahui dan banyak hal yang masih perlu dipelajari.

Di sisi lain, ada banyak kebusukan dan banyak kebaikan di dalamnya. Dunia masih terlalu besar untuk dijelajahi.

Namun sekuat apa pun aku, kesedihan akan selalu terasa setiap kali aku memikirkan wanita yang memberikan kasih sayangnya padaku.

Segera setelah aku mengetahui bahwa aku tidak akan dapat mengunjunginya pada musim dingin tahun ini, aku merasa seolah-olah hanya ada tiga musim di negara ini.

Sambil berjalan, aku teringat hari-hari itu, sehingga aku tiba di universitas tanpa menyadarinya.

Materi pertama dimulai. Aku memperhatikan setiap detail dari penjelasan yang diberikan di kelas yang tenang ini.

Di depan kelas, seorang profesor yang ahli dalam Desain Pengguna Antarmuka menjelaskan dengan elegan. Cara ia menyampaikan mata kuliah itu cukup santai dengan humor yang membuat suasana kelas menjadi lebih baik. Selain itu, penggunaan kalimat yang sederhana membuat kami mudah memahaminya.

"Hei!"

"Sst ... sst ..."

Seseorang dari belakang mencolek pinggangku. Aku berbalik dan seketika melihat seorang pria bermata coklat tersenyum padaku. Wajahnya tampan dan matanya memancarkan cahaya kecoklatan yang indah.

Orang ini tampak tidak asing. Kami pernah berada di kelas yang sama sebelumnya, tetapi aky tidak pernah memerhatikannya sedekat ini.

Ia mengambil studi yang sama denganku tetapi jarang mendapat kelas yang sama. Mungkin, hanya sekitar dua atau tiga kali tahun ini.

Tanpa mempedulikan, aku berbalik untuk fokus pada penjelasan di depan. Aku mencatat bagian terpenting dari penjelasan profesor dengan telinga yang terus mendengarkan dengan cermat.

Setelah menjelaskan materi pelajaran, Profesor sering kali meminta kami untuk menanyakan hal-hal yang tidak kami pahami, dan beberapa orang melakukannya.

"Sssttt ... sssttt ... hei ...."

Suara pria itu lagi. Ia benar-benar mengganggu konsentrasiku. Aku menoleh ke belakang dan menatapnya dengan sinis.

Ia tersenyum, tapi aku berbalik dengan acuh tak acuh.

Menunjukkan keramahan seperti itu membuatnya seperti orang aneh bagiku.

Setelah mata kuliah pertama selesai, ada jeda sebelum masuk pada mata kuliah kedua di kelas yang berbeda. Kemudian, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan dan menyelesaikan beberapa tugas sambil menunggu.

Namun, ketika aku meninggalkan kelas, aku terkejut saat seseorang tiba-tiba meraih pergelangan tanganku. Aku segera menoleh untuk melihat orang itu dan menemukan orang yang sama yang menggangguku di kelas tadi.

"Hei, apa kau punya waktu?" ia bertanya dengan suara rendah.

Aku menepis tangannya, dan menjawab dengan tegas, "Tidak, aku tidak punya!"

Aku kembali berjalan, tapi dalam beberapa langkah, ia meraih lenganku dan mencengkeramnya erat-erat. "Aku ... aku ingin berbicara denganmu ... Kumohon ..."

Ada keheningan sesaat sebelum aku menghela napas berat dan setuju. Seketika, wajahnya memancarkan kegembiraan yang jelas dan semakin cerah.

Ia kemudian mulai berjalan sambil tersenyum. Aku mengikutinya dari belakang hingga kami tiba di ruangan yang sunyi. Ia masuk, dan dengan ragu-ragu aku juga melangkah masuk.

Setelah kami berada di dalam, ia berdiri di hadapanku, lalu berbicara dengan terbata-bata, "Hmm, itu ... itu ... aku ...."

Ia sesekali menunduk dan menggaruk-garuk kepalanya. Tapi, tindakan itu hanya membuatnya terlihat lebih aneh dalam situasi ini.

Namun, tiba-tiba kata-kata yang tidak ingin aku dengar selama ini masuk dengan jelas ke telingaku seperti kejutan meriah yang tidak membuatku terbiasa.

"Aku menyukaimu!"

Mendengar pengakuan yang tiba-tiba diucapkan dengan lantang, darahku seolah berhenti mengalir karena syok. Itu benar-benar di luar dugaanku.

"Kau siapa?!"

"Uh, maaf! Aku lupa memperkenalkan diriku." Ia masih bertingkah aneh seperti sebelumnya. "Aku Lee Donghae. Aku sudah lama memperhatikanmu. Saat pertama kali melihatmu, aku ... kupikir, aku menyukaimu ..."

Ini benar-benar diluar dugaanku. Kami tidak pernah menyebut nama satu sama lain sebelumnya, tapi dengan hanya menatapku seperti itu, ia cukup berani untuk mengungkapkan perasaannya di depan seseorang yang masih menganggapnya sebagai 'orang asing'.

Aku membeku dan meneriakkan 'Tuhan' dalam pikiranku. Aku tidak pernah menginginkan hal seperti ini terjadi di masa depan, tetapi itu baru saja terjadi saat ini.

Namun, mendengar seseorang menyatakan perasaannya padaku, itu tidak akan bisa membuatku menyembunyikan kebenaran mengenai diriku lebih lama lagi.

"Aku laki-laki. Jangan bercanda!"

Setalah kata-kata itu, aku bergegas meninggalkannya sendirian.

Namun, anehnya, ada perasaan yang seperti menyumbat paru-paruku saat aku mencoba untuk menarik diri. Aku berpikir bahwa aku baru saja menghancurkan perasaan seseorang, tetapi aku mencoba untuk membenarkan tindakanku.

Di perpustakaan, aku tidak bisa berpikir jernih. Faktanya, karena adanya pemikiran-pemikiran ini di kepalaku, itu membuatku terlambat untuk mengambil kelas, dan aku bahkan tidak fokus saat kelas berlangsung.

avataravatar
Next chapter