15 Sakit Kepala Yang Datang Tiba-Tiba

Hari ini adalah minggu ketigaku menjadi asisten, di mana kesibukanku meningkat dua kali lipat dari sebelumnya, dan hampir menyita sebagian waktu istirahatku. Jika bukan karena Daehyun yang terus memberiku semangat, mustahil bagiku untuk bertahan hingga sekarang dengan pekerjaanku.

Namun, dalam kesibukan ini, ada kekhawatiran di benakku. Bagaimana jika Donghae kembali, apakah aku masih bisa meluangkan banyak waktu untuknya? Atau yang terburuk dari semuanya ... apakah ia akan marah?

Dalam sepekan ini, perusahaan mendapatkan banyak permintaan untuk proyek yang baru diluncurkan. Di tengah kesibukan dan banyaknya pertemuan, Daehyun selalu mengingatkanku untuk membagi setiap pembelian per bulan agar tidak mengganggu pekerjaan staf di departemen tertentu yang sedang melakukan pengembangan merek lama untuk mengikuti persaingan pasar yang ketat.

Namun, itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap pelanggan tidaklah sama. Beberapa dari mereka sulit untuk diajak bernegosiasi.

Sekitar jam 11 malam, aku masih harus terjaga. Ada banyak laporan yang harus aku susun sebelum diberikan kepada masing-masing pimpinan yang bertanggung jawab di setiap departemen. Dalam keseriusanku memasukkan banyak angka, ponselku tiba-tiba berdering tanpa suara.

Setelah melihat ID nomor tersebut, aku pun segera menjawab, "Halo, ya, ada apa?"

"Jam berapa rapatku besok?" suara yang akrab datang dari saluran lain.

"Aku sudah memberimu semua jadwal untuk minggu ini."

Menyelesaikan kata-kataku, Kim Daehyun terdengar terkekeh kecil. "Sepertinya suasana hatimu sedang buruk hari ini."

Aku mengabaikan kata-kata itu, dan bertanya dengan nada acuh tak acuh, "Ada apa?"

Ia mendesah lesu sebelum menjawab, "Besok aku ada rapat penting di perusahaan lain, dan aku ingin kau menggantikanku pada rapat di TU. Ini mendadak dan mendesk. Aku juga baru mengetahuinya hari ini." Dengan jeda, ia melanjutkan, "Tenang saja. Aku sudah membuat gagasan. Kau hanya perlu mempresentasikannya besok siang. Aku akan meminta Tuan Hye agar aku bisa meminjam sekretarisnya untuk menemanimu ke pertemuan besok."

Aku menghela napas. Itu adalah keputusannya dan penolakan tidak ada dalam opsi itu. Aku harus mempersiapkan diri untuk rapat besok siang.

Rapat itu merupakan rapat antar kepala departemen mengenai brand baru yang akan segera diluncurkan. Meski masih mencakup ranah korporat Perusahaan TU, berbicara di depan para kepala departemen sudah membuatku gugup lebih dulu hingga tak bisa berdiri lurus.

Daehyun melanjutkan, "Besok aku akan datang ke tempatmu sebelum jam 6 pagi. Kau butuh data, bukan? Kalau begitu sekarang istirahat saja. Jangan terlalu memaksakan dirimu malam ini."

Setelah berbicara dengannya, aku pun melanjutkan pekerjaanku dan menyelesaikannya beberapa jam kemudian.

Aku meraih ponselku, melihat jam 02:00 pagi, kemudian membuka beberapa email, dan membalas beberapa di antaranya.

Namun, sembari menatap layar ponsel yang menyala, rasa sakit karena kecewa seakan semakin mengikis kepercayaanku. Donghae belum memberiku kabar apa pun sejak panggilan terakhirnya — sehari setelah ia pergi — dan berpikir bahwa kesenangannya di luar sana telah membuatnya benar-benar melupakan seseorang yang menunggunya di ruangan yang dingin ini, tanpa kegembiraan.

Aku tersenyum pada segala hal walaupun itu akan memperdalam kekecewaan, dan menahannya hingga aku tertidur.

Ketika aku bangun, hari masih gelap di pagi hari. Aku membuat sarapan, dan dalam kesunyian, bel pintu berbunyi yang membuatku sedikit terkejut. Aku segera keluar dan membuka pintu.

Di depanku, Daehyun terlihat sangat lelah dan tersenyum lembut dengan beberapa lembar berkas di tangannya. Seperti yang ia katakan tadi malam, bahwa ia tiba sebelum jam 6 pagi.

Masuk dan meletakkan berkas-berkas di atas meja, ia berbicara dengan lesu, "Ini adalah berkas yang akan kau tunjukkan. Aku menyimpulkannya sesederhana mungkin agar mudah dimengerti."

Tanpa berbicara, aku mengambil beberapa berkas dan mempelajarinya. Ia cukup pandai dalam hal ini. Setiap poinnya sistematis dan sederhana sehingga tidak butuh waktu lama untuk memahaminya.

Daehyun diam sejenak, lalu tiba-tiba berkata, "Chunghee, aku lapar. Aku mencium aroma lezat dari dapurmu."

Mendengar perkataan Daehyun yang seperti anak kecil yang sedang meminta makanan di ibunya, aku menoleh. "Ya, aku sedang membuat sarapan. Aku baru saja akan mengajakmu."

"Benarkah?" Matanya seketika berbinar-binar dan ada kepuasan di dalamnya.

Pagi ini, aku membuat Dakjuk. Daehyun duduk di meja makan, menunggu dengan rasa gembira, hingga aku menyiapkan sarapan di atas meja.

Daehyun sepertinya sangat menikmatinya. Ia bahkan menambah dan menghabiskan semua bubur. Melihat ia bersemangat seperti itu, aku tersenyum. Itu mengingatkanku pada Donghae yang juga bertingkah seperti dirinya saat makan bubur kesukaannya.

Setelah sarapan, Daehyun bersiap untuk pergi. Pagi ini, ia harus melakukan survei lapangan untuk sebuah proyek konstruksi di Busan, jadi ia memutuskan untuk kembali ke tempatnya lebih awal.

Saat Daehyun hendak melangkah keluar, tiba-tiba rasa sakit di kepalaku muncul, seperti tangan yang meremas bagian dalam kepalaku.

Dengan sangat terkejut, Daehyun segera berhenti dan ada kekhawatiran yang jelas saat ia berbicara, "Chunghee! Apa yang terjadi?!"

Saat menahan rasa sakit yang menyiksa ini, kakiku perlahan menjadi lemas dan akhirnya roboh tidak sampai pingsan. Aku masih bisa mendengar suara Daehyun, yang terdengar khawatir. Tetapi, begitu aku ingin mengatakan sesuatu, hanya ada erangang kesakitan dari bibirku.

"Chunghee! Hidungmu berdarah!"

Daehyun segera mengambil ponselnya dari saku jasnya untuk memanggil ambulans, tapi sebelum ia menekan tombol panggilan, aku segera menghentikannya dengan terbata-bata, "Tidak ... Tidak-tidak ... Jangan."

"Apa maksudmu 'tidak'? Kau sakit. Aku akan tetap—"

"Tidak! ... K-kumohon ...." Dengan mata berkabut dan rasa sakit, aku memaksakan diri untuk menatap lurus ke arahnya.

Daehyun mengertakkan gigi sebelum akhirnya menghela napas berat dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Ia membersihkan darah di sekitar wajahku menggunakan sapu tangan, dan setelah aku merasa lebih baik, aku perlahan berdiri lalu pergi ke kamar mandi diikuti Daehyun di belakangku.

"Berikan saputanganmu. Aku akan membersihkannya nanti."

Saat ia menyerahkan saputangannya padaku, ia berkata dengan prihatin dalam suaranya, "Chunghee, ayo pergi ke rumah sakit ...."

"Tidak, tidak ... aku hanya sedikit lelah."

Aku meraih saputangan di tangannya, yang kotor dengan noda darahku. Aku mencucinya di wastafel, lalu menaruhnya di keranjang pakaian kotor, berniat membersihkannya saat pulang kerja.

"Uh, kalau begitu, aku akan membatalkan pertemuan agar kau bisa istirahat hari ini."

"Daehyun! Sudah kubilang aku baik-baik saja!"

"…"

Daehyun tiba-tiba terkejut saat mendengar suaraku dengan mulut sedikit terbuka.

avataravatar
Next chapter