2 Nasihat Seorang Pendeta 13 Tahun Lalu

Pagi ini, Lee Donghae tampil rapi dengan setelan jas yang dikenakannya. Kemeja hitam yang dipadukan dengan setelan merah tua sangat cocok dengannya. Sepertinya, ia sudah siap kembali bekerja di kantor.

Sementara itu, aku sibuk di dapur. Begitu aku melihatnya berjalan keluar dari kamar, aku segera menyapanya dengan senyuman, "Selamat pagi, aku baru saja membuat roti panggang, kau tidak ingin sarapan dulu?"

Menyelesaikan kata-kataku, aku meletakkan dua piring di atas meja dengan beberapa roti panggang dan selai cokelat, berharap ia akan sarapan denganku pagi ini.

Donghae tersenyum dan melangkah ke arahku.

Di depan meja makan, telepon Donghae tiba-tiba berdering sebelum ia memberikan jawaban. Ia segera mengeluarkan ponselnya dari saku dan melihat panggilan masuk sesaat, tetapi ia tidak menjawab panggilan itu. Ia hanya berkata, "Ah, aku tidak bisa sarapan denganmu pagi ini. Aku harus segera pergi."

Mendengar ini, aku hanya bisa terdiam tanpa kata-kata, tersenyum palsu untuk menutupi rasa sakit karena penolakan.

Aku benar-benar berharap kita bisa sarapan bersama. Karena kesibukannya akhir-akhir ini, ia jarang meluangkan waktu untuk sarapan bersamaku.

Lee Donghae biasanya pergi lebih awal, bahkan sebelum aku bangun di pagi hari. Jadi, setelah aktivitas seksual kami tadi malam dan merasa sedikit lelah, aku memaksakan diri untuk bangun pagi-pagi sekali agar kami bisa sarapan bersama karena kupikir ia juga dalam suasana hati yang baik hari ini. Tapi, ia hanya membuatku kecewa dengan jawabannya.

Ia berbalik dan berjalan menuju pintu, diikuti olehku di belakangnya. Ia tampak begitu terburu-buru, teleponnya terus berdering di sakunya. Aku bisa mendengarnya, tetapi aku memilih untuk tidak mengatakan apa-apa dan mengabaikannya.

Saat berada di depan pintu, ia berhenti sejenak sebelum membukanya. Kemudian, ia berbalik ke arahku, dan kemudian menyentuh wajahku dengan lembut. Ia menatapku sambil berkata, "Jaga dirimu. Aku akan segera kembali begitu proyek itu selesai ...."

"..."

"Um, mungkin sekitar dua minggu ... Aku akan meneleponmu ketika aku sudah tiba, dan kau harus memberiku kabar juga. Jangan membuatku khawatir, oke?"

Aku tidak segera menanggapinya. Namun, ada sesuatu yang menggangguku. Melihat ada yang tidak beres dengan jarinya, aku mencoba menahan diri untuk tidak bertanya, namun sia-sia.

"Donghae, apa kau lupa memakai cincinmu?" Ketika aku bertanya, aku mencoba mengucapkan kata-kataku selembut mungkin karena aku takut ia akan marah ketika aku bertanya apa yang seharusnya aku tanyakan sebagai seorang kekasih.

Untungnya, suasana hati Lee Donghae sedang baik hari ini, jadi ia menjawab dengan nada santai, "Um, ya, aku lupa memakainya." Saat ia mengucapkan kata-katanya, ia meraba-raba sakunya, tetapi dengan tatapan bingung, ia melanjutkan, "Sepertinya akulupa membawanya pulang. Jangan khawatir, aku tidak akan kehilangan cincinnya. Aku ingat memasukkannya ke dalam laci saat aku pergi ke toilet kemarin."

Akutahu itu adalah sebuah kebohongan. Tapi, mendengar jawaban itu, aku mencoba menerimanya dan tersenyum.

"Chunghee, kau kurus. Jangan sakit saat aku tidak di rumah. Jika kau butuh sesuatu, telepon aku, atau kau bisa menelepon Hoonsik," Lee Donghae melanjutkan.

Menyelesaikan kata-katanya, aku hendak mengatakan sesuatu. Ujung bibirku sedikit terangkat, dan kata-kata itu sudah ada di ujung lidahku. Namun, entah mengapa semuanya tertelan begitu saja dan berakhir dengan senyuman palsu.

Setelah mengatakan itu, ia mencium keningku. Perlakuan sederhana itu membuatku luluh seolah itu membuatku lupa bagaimana ia di luar sana. Liar dan pelupa.

Baru kali ini, aku mendengar sesuatu yang terdengar mengkhawatirkanku dari bibir manisnya sejak beberapa bulan terakhir ini. Akupikir ia telah berubah. Namun, mendengar kata-katanya baru saja, sepertinya tidak ada yang berubah, mungkin hanya aku yang berpikir buruk, mungkin.

Aku menamatinya berjalan keluar dari apartemen hingga ia memasuki lift, lalu segera menutup pintu ketika ia menghilang dari pandanganku.

Aku duduk di meja makan sambil menikmati roti panggang yang semakin dingin di depanku. Dalam keheningan, aku memikirkan mengenai sesuatu yang terus berputar di kepalaku.

Sejujurnya, aku benar-benar ingin memberi tahu ia bahwa aku sering mengalami sakit kepala akhir-akhir ini. Aku ingin ia menemaniku untuk memeriksa kondisi di rumah sakit, tetapi sepertinya itu tidak akan terjadi, melihat betapa sibuknya ia dengan pekerjaannya atau bahkan dengan beberapa mainannya di luar sana.

Ia mengatakan bahwa ia sedang mengerjakan proyek baru, sehingga ia sering meninggalkan apartemen dan pulang terlambat, atau bahkan tidak pulang selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Aku tidak tahu proyek macam apa itu karena ia tidak pernah memberi tahuku dan aku juga tidak pernah bertanya kepadanya tentang itu.

Namun karena kesibukan yang ia katakan, aku merasa terpakan. Aku menyadari bahwa ia telah mengabaikanku cukup lama, sejak hampir tiga tahun ini, atau jauh sebelum tiga tahun ini.

Itu membuatku merasa seperti hubungan kami semakin terpisah. Itu tidak berarti bahwa aku tidak menyukai kesibukannya, tetapi lebih baik menghabiskan waktu sebanyak sebelumnya seperti yang biasa kami lakukan.

Terbangun dari pikiran ini, aku mencoba untuk tidak memikirkan hal ini terlalu jauh. Aku bangkit dari kursi, dan mulai membersihkan ruangan ini, lalu merapikan kamar tidur kami.

Di kamar tidur, aku melihat jel yang kami gunakan semalam dan meraihnya, melihatnya sebentar lalu memasukkannya ke dalam laci. Aku tersenyum saat memikirkan Donghae yang terlalu bersemangat selama 'aktivitas malam hari' kami. Namun, tiba-tiba aku merasa sedih saat mengira Donghae sepertinya datang hanya untuk bercinta denganku.

Aku menyadari bahwa aku mengalami penyimpangan seksual sejak lama. Sudah lebih dari sembilan belas tahun yang lalu sejak aku menginjak usia tiga belas tahun.

Saat itu, aku percaya bahwa aku menaksir seorang anak laki-laki. Aku merindukan teman bermainku, Kim Daehyun — teman masa kecilku. Aku. Bahkan pernah melakukan hal yang memalukan hanya karena aku begitu merindukannya dan ingin bertemu dengannya sekali lagi, di mana saat ini aku merasa malu jika harus mengingatnya kembali.

Pertemuan terakhir kami sudah sangat lama. Sejak aku masih berumur enam tahun. Meskipun Daehyun dua tahun lebih tua dariku, ia adalah sahabat terbaik yang pernah kukenal.

Selama dua tahun kami bersama, dan pada ulang tahunku yang kedelapan, ia dan keluarganya meninggalkan Sokcho dan aku tidak pernah melihatnya lagi hingga saat ini.

Namun, meski sudah lama, aku masih bisa mengingat bayangan wajahnya meski samar-samar di kepalaku.

Sejak aku menyadari bahwa aku adalah seorang gay, aku mulai takut dengan perasaan ini. Aku takut orang-orang akan menghindariku. Jadi sejak saat itu, aku mencoba melupakan Daehyun dan tidak tersesat dalam perasaanku.

Aku pernah datang ke gereja ketika aku berusia tujuh belas tahun, dan menceritakan hal ini kepada seorang pendeta. Pendeta itu menasihatiku bahwa setiap manusia diciptakan berpasangan — pria dan wanita — dan apa yang aku alami adalah kesalahan.

Kata-kata pendeta itu selalu berdengung di kepalaku dan membuat ketakutanku semakin besar, sehingga aku memutuskan untuk mengubah diriku. Namun, tidak butuh waktu lama hingga aku bertemu seseorang — Lee Donghae.

Donghae adalah orang pertama yang membuatku berani mengambil risiko menjadi seorang berdosa. Aku tidak tahu apa yang membuatku jatuh cinta dengan seseorang seperti dirinya, yang membuatku melupakan nasihat seorang pendeta 13 tahun yang lalu. Tampan? Aku mengakuinya, tapi itu bukanlah alasan mengapa aku sangat mencintainya.

Hubungan ini tabu dan aku mengetahuinya dengan cukup jelas. Aku hanya bisa menunggu keputusan Tuhan.

Akankah Tuhan memberkati atau bahkan murka? Entah bagaimana Tuhan akan mengakhirinya.

avataravatar
Next chapter