12 Mencintai Berarti Satu Rasa

Musim dingin, 9 tahun lalu.

"Chunghee ...."

Aku menoleh padanya. Lee Donghae berbaring telentang dengan kedua tangan menopang kepala. Aku pun sedikit menggeser tubuhku dan meletakkan kepalaku di lengannya, lalu bertanya, "Ada apa?"

Ia menghela napas pelan, lalu menoleh melihatku, yang saat ini sedang menunggunya untuk mengatakan sesuatu.

Namun, ia tidak segera menjawab, tapi menciumku di bibir sehingga aku bisa merasakan bibirnya yang hangat dan lembut, seperti kasih sayang yang tulus.

Itu tidak berlangsung lama. Begitu bibir kami berpisah, aku bisa melihat bahwa wajahnya tidak seceria biasanya. Tanpa senyum lebar di wajahnya, aku tahu ia tidak baik-baik saja.

Aku pun bertanya padanya sekali lagi, "Donghae, ada apa?"

Lee Donghae menatapku dalam waktu yang lama. Ada kekhawatiran dan ketidakpastian di matanya. Kemudian, ia menjawab dengan nada kecewa, "Aku dipecat dari pekerjaanku karena tidak menyelesaikan desain produk tepat waktu."

Mendengar kata-kata tersebut, aku seketika terbangun dari posisi berbaring. Aku menatapnya dengan cemberut, menunjukkan ekspresi galak yang membuatnya terkejut. Namun, karena aku berpikir bahwa aku perlu melakukannya, aku pun segera memarahinya seperti seorang wanita.

Aku kesal. Bukan karena ia dipecat dari pekerjaannya, tetapi ia tidak pernah ingin meminta bantuanku dalam menyelesaikan masalahnya dan memilih untuk tetap diam sambil memikirkan banyak hal sendirian.

Aku tidak dapat menerima semua itu meskipun aku tahu bahwa ia tidak ingin membebaniku dengan masalahnya sendiri.

Namun, menjalin hubungan tidak hanya untuk saling mencintai, seks, dan sekedar memberi kabar, tapi juga untuk berbagi perasaan sedih dan bahagia.

Cinta berarti satu rasa. Aku tidak akan melupakan apa yang pernah ia katakan dua tahun lalu. Ia mengatakannya dengan sangat jelas. Tidak mudah bagiku untuk melupakannya bahkan jika seseorang memaksaku untuk berpura-pura. Tapi, aku tidak ingin terjebak dalam kekesalan ini.

Aku menghela napas, mengeluarkannya perlahan, lalu berkata dengan nada rendah, "Lain kali, kau harus meminta bantuanku. Jangan pikirkan masalahmu sendiri. Jangan lupa bahwa aku di sini untukmu."

Lee Donghae menurunkan pandangannya sedikit, "Aku tidak ingin menyusahkanmu."

Mendengar ini, aku menghela napas sekali lagi. Aku memahami kata-katanya dengan cukup jelas. Namun, saat ini kami adalah sepasang kekasih. Kami telah menjalin hubungan ini selama dua tahun, tetapi ia belum ingin terbuka untuk apa pun.

Ia tertawa hampa, lalu berkata, "Huh, hari yang buruk bagiku. Aku harus mencari pekerjaan baru secepatnya. Kalau tidak, aku akan diusir dari tempat ini." Ia tersenyum saat mengucapkan kata-katanya dan membuatku takjub.

Meskipun ia dalam masalah serius, ia masih bisa merespon dengan senyuman. Hal itu membuat kesedihanku sedikit terselubung dan memeluknya erat sambil berkata, "Aku punya tabungan. Jangan khawatir. Kau bisa tinggal di tempatku juga jika kau mau."

Dia menghela napas. "Hmm, aku akan segera mencari pekerjaan. Aku akan berusaha keras untukmu."

Kata-kata itu adalah kemurahan hatinya, dan itu tidak akan pernah membuatku menjauh darinya.

Saat ini, hubungan kami berada di tahun kedua. Ada banyak masalah dan itu normal bagi pasangan kekasih.

Dalam suatu hubungan, baik sebagai pasangan, teman, atau pun kerabat, adalah bagian dari kehidupan, sehingga tidak menjamin keharmonisan yang konstan.

Suatu masalah tidak menjadi masalah jika kita sebagai orang yang dalam suatu hubungan dapat menyelesaikan masalah tersebut bersama-sama.

Memiliki hubungan tidak berarti kita sendirian, tetapi bersama-sama, dalam tiga, empat, atau lebih. Masalah dalam suatu hubungan membutuhkan kerja sama. Kepercayaan adalah kuncinya dan itu akan menjadi tolok ukur sebuah kolaborasi.

Namun, jika keegoisan menghasut salah satu dari kita, maka itu akan membuat masalah menjadi lebih bermasalah.

Donghae bukanlah orang yang keras. Ia mungkin orang yang temperamental, tapi ia tidak akan pernah meneriakiku atau bahkan memukulku. Itulah yang membuat hubungan kami bertahan meski banyak masalah dan kesulitan dalam yang telah kami lalui selama dua tahun ini.

Aku bersyukur. Tuhan tidak menunjukkan murka-Nya dengan memberikan masalah yang masih bisa menjaga hubungan kami.

Sekarang, aku bekerja di perusahaan yang cukup besar di tengah kota, sebagai karyawan selama satu tahun, dan Donghae bekerja di perusahaan swasta selama hampir dua tahun.

Setelah ia kehilangan pekerjaan, aku selalu membantunya mencari pekerjaan baru, dengan mencari di koran atau di mana saja yang sesuai dengan keahliannya. Cukup sulit untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi kami selalu menikmatinya.

Tampaknya tidak buruk saat Donghae kehilangan pekerjaannya. Aku bingung apakah harus bersedih atau malah bersyukur karena kebersamaan ini, membuat hubungan kami semakin dekat.

Seminggu kemudian, Donghae datang ke tempatku dalam keadaan kacau. Meski ia menutupinya dengan senyuman, rasa lelahnya masih terlihat.

Aku membawakannya minuman, sementara ia melihat ke bawah seolah-olah sedang meratapi sesuatu. Aku mengangkat dagunya untuk melihat wajahnya dan melihat kesedihan yang mendalam di matanya, tetapi ia segera memalingkan wajahnya seolah ia mencoba menyembunyikan sesuatu. Dengan susah payah, ia berbicara, "Aku ... belum menemukan pekerjaan ... Aku lelah."

Aku belum pernah melihatnya dengan ekspresi wajah yang tak berjiwa, dan aku tidak menyukainya. Itu benar-benar menghancurkan perasaanku, jadi aku segera memeluk tubuhnya sebagai bentuk perhatianku.

Namun, ketika ia dalam pelukan aku, hal yang paling mengejutkanku adalah ketika dia menangis dengan tangan gemetar. Aku membiarkannya menangis sambil mencoba menahan air mataku. Tetapi, itu tidak berguna.

Mendengar tangisan seseorang yang akupikir begitu tegar membuat air mataku mengalir secara naluriah. Menyadari kesedihanku, ia seketika menyeka mataku.

"Chunghee, aku butuh bantuanmu ... mungkin ..." Ia menurunkan pandangannya, tanpa melanjutkan kata-katanya.

Aku menyentuh wajahnya dan bertanya dengan lembut, "Donghae, katakan, apa yang kau butuhkan?"

Aku tidak akan keberatan jika ia meminta bantuanku. Itu bahkan membuatku senang ketika aku mendengar bahwa ia membutuhkan sesuatu dariku.

Ia mengangkat pandangannya, menatapku dengan kesedihan di matanya. "Minggu ini, aku harus membayar tempatku ... dan aku belum menemukan uang." Ia membuang muka dan mengoceh kepada dirinya sendiri, "Ugh! Ini benar-benar memalukan."

avataravatar
Next chapter