webnovel

Bab 1 Rafka Memaksa

"Beneran lho, aku bisa ngasih kamu segalanya. Asal kamu mau jadi pacar aku,"

Lagi-lagi Rafka memaksaku, untuk menjadi pacarnya. Dia bukan tidak tau, kalau aku sudah lama menjalin hubungan dengan Shaka. Aku dan Shaka berpacaran sejak kelas X SMA, hingga saat ini kami sudah menginjak kelas XII SMA. Sedangkan Rafka, aku mengenalnya saat mulai ikut pertukaran pelajar ke SMA. Nusa Bangsa, sejak hari pertama mengikuti pertukaran pelajar, Rafka memang sering kali mendekatiku. Namun, selalu berusaha ku tolak karena tak mau mengecewakan Shaka. Meski demikian, Rafka selalu menfasilitasi semua kemauanku. Kadang aku merasa tak enak, tapi Rafka selalu berkata. Akan terus menungguku hingga aku putus dengan Shaka.

"Kamu ngeyel banget sih, aku kan udah berulang kali bilang. Aku udah punya Shaka, sampai kapan kamu akan berhenti ngejar-ngejar aku. Masih banyak kok, gadis-gadis cantik di sekolah ini. Gak mungkin kan! Kalau gak ada satu pun dari mereka yang menarik dihati kamu."

Dari segi tampang, Shaka memang lebih tampan dari Rafka. Namun, Rafka juga tak kalah keren dari Shaka, anehnya aku tak tertarik sama sekali dengan Rafka. Mungkin karena hubungaku dengan Shaka sudah terbilang lama, jadi sulit untukku berpaling darinya.

Pertukaran pelajar akan usai satu bulan lagi, aku merasa nyaman di sekolah ini. Meskipun harus terpisah jarak dari Shaka, karena disekolah ini ada Rafka yang senantiasa memanjakanku. Sekolahku mengirim 3 siswa dari sekolah begitupun sebaliknya, dan sialnya aku adalah salah satu siswa tersebut. David, Adit dan aku, mereka berdua tau kalau aku berpacaran dengan Shaka sejak lama. Namun, mereka tak pernah mengadukanku pada Shaka jika disini aku dekat dengan Rafka. Tak jarang para siswa disini menganggap aku dan Rafka menjalin hubungan yang spesial karena memang kami sangat dekat sejak pertukaran pelajar itu berlangsung.

"Emang banyak, tapi yang cocok dihati ya cuma kamu! Lagian putusin aja si Shaka itu, emang dia ngasih apa yang aku gak bisa kasih ke kamu, hah? Tinggal bilang, bakalan ku kasih apapun yang kamu mau."

"Heleh, buaya darat bilang gak ada yang cocok dihati. Nyatanya sering gonta ganti, hubunganku sama Shaka itu hampir 3 tahun. Gak mungkinlah, aku nuker Shaka sama kamu yang baru ku kenal sebulan."

Dari raut wajahnya, Rafka tampak kesal. Tak salah bukan, jika aku berkata seperti itu. Aku tau Rafka bukanlah pria yang tak bisa mendapatkan hati wanita, bahkan yang ku dengar dia baru putus dengan mantan pacarnya sebulan yang lalu. Alasannya sih karena aku, dia menjadi tertarik dan berambisi mendapatkanku. Jelas aku tak mau, jika hanya dijadikan target selanjutnya. Aku lebih suka pria setia dari pada buaya darat.

"Sumpah deh, kalau kamu mau jadi pacarku. Aku insyaf dan gak bakalan main cewek lagi, kalau perlu kita langsung tunangan aja"

"Udah ah, apaan sih. Masih bocil juga, aku masih mau kuliah. Gak mau tunangan,"

"Kita lihat saja nanti." Ku tatap Rafka begitu aneh, kata-katanya seperti sebuah ancaman. Apa yang akan dia lakukan sebenarnya.

***

Tring...tring...tring...

Bel pulang sekolah berdenting dengan nyaring, semua siswa berhamburan untuk pulang. Seperti biasa, Shaka menjemputku tepat didepan pintu gerbang sekolah. Dia benar-benar posesif padaku, meski sampai detik ini dia tidak tau kalau aku dekat dengan Rafka. Entah bagaimana jadinya kalau dia sampai tau, ku rasa dia akan mengamuk dan menghajar Rafka habis-habisan.

"Hai Cantik, pulang bareng aku aja yuk! Naik mobil, dari pada naik motor kepanasan." Aku menoleh pada arah suara yang berhasil mengagetkanku dan Shaka, aku tersentak ketika melihat kesamping kiri. Ternyata, Rafka yang menyapaku dari dalam mobilnya.

"Jangan didengerin, ayo pulang. Capek nih," ku peluk Shaka dari belakang, agar ia merasa senang karena aku menghiraukan sapaan Rafka. Shaka tersenyum sinis pada Rafka sebagai tanda mengejek.

"Sorry, Bro. Enakan naik motor, bisa dipeluk dari belakang. Gue cabut dulu." Shaka melajukan motornya dengan cepat setelah membalas ucapan Rafka. Ku lihat Rafka yang tampak kesal karena perlakuanku pada Shaka.

Sebagai pacar Shaka, aku tak merasa malu. Toh, motor yang digunakan Shaka bukanlah motor butut melainkan motor vixion keluaran terbaru. Motor itu didapat dari Bapaknya yang hanya bekerja sebagai guru honorer disalah satu sekolah dasar, Shaka memaksa bapaknya untuk membelikannya motor vixion untuk mengantar jemput aku. Meskipun keadaan ekonomi mereka bisa dibilang menengah kebawah, tapi bukan salahku kan. Aku tak pernah meminta ia untuk memiliki motor tersebut, itu murni atas kemauannya sendiri.

"Dia siapa sih, sering godain kamu ya! Kelas berapa dia?." Di perjalanan Shaka mencerca semua pertanyaan padaku.

"Kelas XII IPA A, namanya Rafka. Emang begitu orangnya, jadi gak perlu ditanggepin."

"Apa? Jadi dia sekelas sama kamu? Berarti dia sering godain kamu dong! Awas aja ya, jangan sampek aku denger kamu deket sama tu cowok."

"Ih apaan sih! Sensi banget, cemburuannya dikontrol, Pak. Jangan dipelihara terus,"

"Siapa coba yang gak cemburu, punya pacar cantik kayak kamu! Banyak yang ngerebutin. Aku gak mau aja, kalau dia sampek berhasil ngambil kamu dari aku."

Ucapan Shaka berhasil membuatku tersanjung, aku semakin mengeratkan pelukanku pada Shaka. Sesampainya didepan rumah, aku turun dan mengajak Shaka untuk berkunjung ke rumahku, namun ia menolak karena pada jam segini Bapak pasti sudah pulang bekerja.

Meskipun aku dan Shaka telah lama menjalin hubungan, akan tetapi kedua orang tuaku tak merestui hubungan kami. Status sosial Shaka menjadi penyebab mereka tidak setuju, karena Shaka hanyalah anak seorang guru honorer yang menurut mereka tak bisa menjamin masa depanku, aku memang terlahir dari keluarga yang tidak kaya namun tidak miskin juga. Ayahku seorang mandor, sedangkan Ibu menjaga toko kelontong didepan rumah. Namun, Ayah dan Ibuku selalu memanjakanku. Hingga gaya hidupku juga tergolong menengah keatas.

"Kapan-kapan saja ya! Aku takut, Ayahmu sekarang sudah pulang. Aku gak bawa apa-apa, gak kuat mentalku kalau harus mendengar ocehan Ayahmu." Selalu begitu jawaban Shaka saat ku ajak mampir ke rumah. Tapi, aku paham akan rasa takutnya itu, karena dulu pernah pas awal-awal pacaran Shaka sengaja ingin mengajakku jalan-jalan ke taman kota, bukannya diperbolehkan oleh Ayah. Malah Shaka ditanyakan berbagai hal tentang status sosialnya, sejak saat itu pula orang tuaku tak menyetujui hubungan kami. Meski begitu, aku tetap meneruskan hubunganku. Karena Ayah dan Ibu tak ingin aku bersedih jika mereka terus-menerus memaksaku untuk mengakhiri hubunganku dengan Shaka.

"Kamu mah, selalu begitu. Gitu-gitu calon mertuamu juga tau!" Ucapku dengan manja. Shaka hanya tersenyum dan membelai pipiku dengan lembut.

"Iya, Ayah memang calon mertuaku, tapi untuk saat ini aku masih takut berhadapan langsung dengan calon mertua. Nanti kalau aku udah kerja, pasti tiap hari ketemu sama calon mertua, sekalian ngambil hatinya."

"Ih, kapan kerjanya coba. Baru juga kelas XII, belum lulus SMA, belum tamat kuliah. Masih lama." Tatapan Shaka tampak teduh saat aku menyebut tentang kuliah, Shaka adalah murid yang berprestasi. Bahkan ia juga merupakan peringkat kedua utama disekolah setelah Chika.

"Aku kayaknya gak bakalan kuliah, Sayang. Aku mau cari kerja aja, biar bisa cepet-cepet lamar kamu."

"Hah, masak kamu gak mau kuliah sih. Kamu tuh pinter, berprestasi. Gak kayak aku yang otak kosong. Lagi pula, aku tuh gak mau tunangan dulu. Mau tamat kuliah dulu," tak ku sangka, Rafka memiliki pemikiran yang begitu sempit. Saking takutnya dia kehilangan aku, malah bersedia mengorbankan masa depannya demi segera bisa melamarku.

"Nanti ya! Aku pikir-pikir lagi. Sekarang kamu masuk dulu gih, aku gak mau ada cowok lewat pas godain kamu."

Bibirku mengerucut mendengar ucapan Shaka, sifat posesifnya terlalu berlebihan. Dia selalu merasa takut kalau ada pria yang menggodaku, sampai nyamuk pun rasanya tak boleh menyentuhku. Sebelum masuk, ku lambaikan tangan padanya sebagai tanda perpisahan. Setelah itu, Shaka mulai melajukan motornya meninggalkan rumahku.

Next chapter