webnovel

Twenty-Nine. Ada Udang Dibalik Batu 2 (+18)

Kini mobil yang tadi kutumpangi sudah dipasangi sebuah garis polisi. Setelah Mas Agung datang, beberapa polisipun ikut menyusul datang kesini.

Aku dan pak supir dijadikan saksi untuk membuka suara, Sayangnya, Pak supir masih enggan untuk membuka suara, karena aku tahu dia pasti sangat syok akan kejadian yang menimpa rekannya itu.

"Nona Cassa, bisakah anda berbicara dengan saya sekarang?"

Aku menoleh kearah Inspektur A, sebenarnya aku ragu untuk menjawab 'ya', mengingat aku harus mengulas mata pelajaran untuk ujian esok. Tapi mau bagaimana lagi? Karena aku salah satu saksi, jadi mau tidak mau aku harus menyetujuinya.

"Emm Maaf Inspektur, tapi adik saya harus mengulas ulang pelajaran untuk ujian besok." Ucap Mas Agung yang sedari tadi menguping pembicaraan kami.

Yah, mengingat kegiatan tanya jawab itu sedikit memakan waktu, jadi mungkin sulit bagiku untuk memgambil celah untuk belajar malam ini.

"Hanya satu jam saja, tidak lebih." Ujarnya lagi.

Aku menoleh kearah Mas Agung sambil menghela nafas kecil. Kemudian aku mengangguk untuk menyetujui permintaan dari Inspektur A. Aku melihat kearah mayat tadi, sampai sekarang, tim forensik ataupun medis belum datang untuk membawanya kerumah sakit. Alhasil, mayat rekannya bapak supir itu menjadi tontonan warga sekitar.

Kuperhatikan lagi, dikedua pergelangan tangannya terdapat lingkar garis, seolah dia diikat sebelum dibunuh secara sadis seperti ini. Dari cara pelaku memotong lehernya sampai hampir terputus, sepertinya senjata yang dia gunakan bukanlah sebuah pisau, dari bekasnya saja seperti dilakukan sekali sabetan, atau sekali potong.

"Saya sebenernya gak intrograsi kamu, cuma mau ngajak kamu buat selesain lagi kasusnya." Ucap Inspektur A saat kami sudah berada jauh dari kerumunan.

"Aih, bapakkan tahu saya lagi ujian.." Balasku dengan wajah melas.

"Ayolah Nak, bapak mohon, lagian para polisi juga kadang kurang gencar.." Lirihnya seraya memasang wajah memohon padaku.

"Saya ijin dulu ke nenek, terus, kalo Mas Agung ngijinin, ya saya ikut." Ucapku setelah sebelumnya menghela mafas berat.

"Alhamdulillah...yasudah, kamu boleh kembali."

Aku menautkan kedua alisku, menyadari nadanya kembali formal, itu artinya ada seseorang yang datang. Aku berbalik kebelakang dan mendapati Mas Agung yang sedang berjalan kearah kami. Wajah khawatirnya terlalu tercetak jelas diwajah pria berumur 27 tahun ini.

"Mas, Sandra pulang duluan ya." Ucapku saat Mas Agung sudah berada dihadapanku.

"Kamu udah selesai diintrograsi?" Tanyanya dengan kedua alis yang mengkerut.

Aku mengangguk dengan seutas senyum diwajahku. Dia hanya menghela nafas seraya mengusap ujung kepalaku, dan dengan segera aku menyingkirkannya, alasannya karena..

"Mas apasi! Nanti muncung kerudungnya berantakan tau!" Omelku kesal.

Yah, mengingat hari ini aku menggunakan kerudung segi empat, bukan kerudung pashmina seperti biasanya.

"Haish, cuma kerudung doang, gampang nanti kamu benerin." Ucapnya seraya tertawa kecil.

Aku hanya berdecak malas, dan kemudian berjalan kearah pak supir tadi, meninggalkan Mas Agung dan Inspektur A yang mulai membuka topik pembicaraan.

Tatapan bapak ini sama sekali tidak lepas dari Mayat di dalam bagasi mobil itu. Aku tahu, dia kaget sekaligus bingung, sama sepertiku. Coba saja kalian pikirkan, bagaimana mayat yang sudah berlumuran darah bisa ada di dalam sana tanpa ada bercak darah yang berceceran keluar, atau menempel disekitarnya.

Dan anehnya, tidak ada satupun jejak dari pelaku yang tertinggal di dalam, entah itu senjata yang ia gunakan, atau sekedar jejak lain. Tkpnya benar benar bersih untuk sebuah kasus pembunuhan sesadis ini.

Dari sebelah bola matanya yang keluar, aku yakin itu dilakukan ketika korban sudah kehilangan nyawanya. Karena mata sebelah kirinya masih tertutup rapat, tapi, tertutup bukan berarti ada isinya.

Bicara tentang jejak, aku yakin pasti ada yang tertinggal didalam sana. Beberapa kemungkinan, antara korban dibunuh di dalam bagasi, atau setelah dibunuh baru ditaruh kedalam bagasi. Dan...mengingat mayatnya yang tiba tiba ada didalam sana, bisa saja korban bunuh diri, akan tetapi kembali lagi, tidak ada satupun jejak, entah itu senjata yang digunakan, atau hal sebagainya.

Dan juga melihat ada bekas guratan dipergelangan tangannya, aku yakin sekali jika korban disekap terlebih dahulu sebelum dibunuh secara tak manusiawi seperti ini.

"Kamu pulang Mas yang anterin."

Aku hanya mengangguk, dan mulai mengikuti langkah Mas Agung yang berjalan menuju mobil yang terparkir dibibir jalan yang lain.

Mas Agung tidak bekerja diJakarta, kantor tempatnya bekerja ada diBandung. Akan tetapi, jika ada kasus pembunuhan seperti ini dia pasti dipanggil untuk ikut serta dalam penyidikan. Dan kebetulan, dia sedang mengambil cuti kemari, jadi dia tidak perlu bulak balik Jakarta Bandung lagi sekarang.

"Kamu disuruh ikut penyidikan lagi ya?" Tanyanya dengan wajah datar.

"Huum, boleh ga Mas?" Jawabku balik bertanya.

Kenapa aku harus minta ijin padanya? Yah, karena selama tiga tahun ini, yang menjadi waliku adalah dia, mau tidak mau, apapun yang aku lakukan harus ada ijin darinya, dan itu penting.

Mas Agung menghela nafasnya, ia memelankan kecepatan mobilnya dan mulai membuka mulutnya untuk membalas ucapanku.

"Ganggu ujian kamu engga? Waktu kamukan minggu ini terbatas, dek." Ucapnya sambil sesekali menoleh kearahku.

"Yahhh insyaallah enggaklah mas." Jawabku yang kini memutar kepalaku 180 derajat kearahnya.

"Tapi gaboleh pergi pergi sendiri ya."

Aku mengangguk lega dengan senyum sedikit bahagia diwajahku. Sebenarnya aku juga disuruh masuk kepolisian, namun sayangnya niat itu harus dibuang jauh jauh. Kenapa? yahh mengingat mataku yang minus, dan juga gigiku yang tidak serapih para anggota TNI dan POLRI.

"Kamu udah tanya tanya pak supir tadi?"

"Udah mas." Jawabku beserta anggukkan kepala.

"Terus, info apa aja yang kamu dapet?"

Aku menarik nafas panjang sebelum menjawabnya, semua informasi yang aku dapat haruslah dikemukakan secara detail, karena bisa saja ini menjadi petunjuk bagi kami kedepannya.

"Yang pertama, mayat korban itu adalah rekan kerja pak supir yang udah gak masuk kerja selama satu minggu. Kedua, mobil yang dipake buat ngegrab itu mobil sewaan mas, jadi yang pakenya gantian gantian. Dan orang yang pake mobil itu sebelumnya adalah temannya juga, terus, si bapak ini baru narik lagi, dan Sandra penumpang pertamanya." Jelasku serinci mungkin.

"Kemungkinan, Mayatnya udah ada dari sebelum si bapak narik, yang artinya, mayat itu juga seharusnya udah ada ketika rekannya yang satunya lagi narik grab." Lanjutku.

"Artinya, kita harus nemuin bapak yang sebelumnya juga?" Ujar Mas Agung yang aku balas anggukan.

"Kita juga harus tahu kemana aja mobil itu pergi. Terus kita juga harus tahu, siapa aja yang patungan buat nyewa mobil itu. Mungkin besok pak supirnya udah mau buka suara mas." Jelasku lagi.

"Dari pengamatan Mas, kayaknya mayatnya juga baru banget ditaruh di situ. Liat aja, darahnya aja masih fresh, dan si korban–pun tidak mengeluarkan bau busuk. Kalau mayatnya udah lama, baunya pasti busuk, dan daging daging ditubuhnya juga pasti ada yang mulai menempel dengan tulang."

"Darahnya juga masih ngalir dari lehernya yang hampir terputus itu mas." Ucapku menambahkan.

"Dan sialnya, kamu tau ga? Di bagasi itu bener bener engga ada jejak dari pelaku, sama sekali tidak ada jejak."

Dugaanku benarkan? Mas Agung yang seorang penyidik kepolisian saja percaya bahwa di tkp benar benar tidak ada jejak dari pembunuhnya.

"Dan mas yakin, selama dia menghilang itu juga karena disekap pelaku. Dan pelaku sengaja mengoper bagian nariknya ke supir yang lain biar gak ninggalin jejak, atau untuk mengecoh kebenaran yang ada."

Jika saja tadi aku dan pak supir tidak menyadari akan bau darah itu, mungkin sampai sekarang mayat itu tidak akan diketahui keberadaannya.

Bisa saja ini jebakan untuk pak supir, karena mau tidak mau, dialah orang terakhir yang mengendarai mobil ini, otomatis, sidik jari dan pergerakannya akan terekam jelas disetiap inci mobil.

Terkecuali, memang bapak itu sendiri yang melakukannya. Namun, melihat ekspresinya yang benar benar terkejut bukan main, aku yakin 100 persen, bukan dialah yang melakukan hal sekeji ini.

Lagipula dari awal, kami sama sama tidak menyadari keberadaan mayat itu, dan Pak Supirpun malah menuduhku sedang halangan.

"Abis ini mas harus pergi lagi, kamu jangan kemana mana ya. Posisi kamu yang menjadi saksi juga bisa membahayakan keselamatan kamu."

Setelah mengucapkan itu, Mas Agung pergi lagi, mobil yang ia gunakan semakin melesat jauh. Yang dikatakannya benar, bagaimanapun, para pelaku pasti akan selalu membungkam saksi yang ada. Diposisi ini, bukan hanya aku, akan tetapi keluargaku juga akan ikut terancam.

Yang harus aku lakukan sekarang adalah mencari informasi tentang korban dan Bapak Supir grab tadi. Untungnya seharian ini aku mengaktifkan kamera yang ada dikacamataku, jadi aku bisa mengscreenshootnya dan memasukkannya kedalam Tab IOsku.

"Agung bilang, gue harus bantuin kalian, katanya mumpung gue lagi ada disini." Ucap Kak Sinta saat sudah duduk diujung kasurku.

Aku hanya mengangguk, kebetulan ada kak Sinta, aku yakin kasus ini akan lebih cepat selesai. Enaknya punya saudara polisi, dan mata mata itu ya seperti ini, jika ada sesuatu yang sulit pasti akan terasa mudah.

"Apa yang lo dapet?"

"Ini kak, data diri korban." Ujarku seraya menunjukkan datadiri yang tertera dilayar Tab IOsku.

"Agus Sanjaya, umur 34 tahun, statusnya menikah dan punya anak satu. Pekerjaan driver grabcar, riwayat sekolahnya d3 informatika. Dia juga pernah kerja di salah satu perusahan besar, namun memilih mengundurkan diri dengan alasan 'tidak mau bekerja dengan penipu'. " Ucap Kak Sinta yang membacakan isi data dirinya.

"D3 Informatika? Dia tau darimana bosnya penipu? Gelarnya lumayan loh, dia bisa kerja dibeberapa perusahan lain sebenernya." Balasku dengan ekspresi kebingungan.

"Gue belum selesai baca kupret, jangan dipotong dulu."

"Sakit tau!" Rengkekku saat mendapati Kak Sinta memukul kepalaku.

"Nih, liat."

Aku membelalakkan mataku, entah alat ini terlalu canggih atau bagaimana, aku yakin, kematian Pak Agus ini karena berhubungan dengan propesinya yang satu ini.

Satu gembok sudah terbuka, aku dan Kak Sinta sudah menemukan kemungkinan mengapa korban dibunuh dengan cara sesadis dan tidak manusiawi seperti ini. Namun, yang namanya membunuh, itu saja sudah sangat tidak manusiawi.

Cassandra POV Off.

~~~~~~

Enjoy your reading guys!!

Don't forget to add this story in your library❤

Kira kira, gimana kelanjutannya?

ada yang bisa nebak?

Iamreyncreators' thoughts
Next chapter