16 Seventeen. Sebuah perasaan?

Yohan POV.

"Guys! Come here right now!" Ucapku pada mic yang menyatu dengan earphone.

Aku, Sica dan Daniel berlari secepat mungkin ketempat dimana Cassandra dan Rekannya dilatih. Namun sialnya, pelatihan ini malah menjadi mala petaka bagi mereka.

Aku yakin, ini bukan tidak disengaja, namun mereka memang secara khusus diberi akses masuk kegedung milik James.

"Seharusnya kita cek ulang keadaan disini! Bahkan penjahat bayaran itu masih berada diruangan mereka!" Ucap Sica dengan nafas yang tersenggal karena sedang berlari.

Setelah berlari selama 10 menit, akhirnya kami sampai ditempat Cassa dan Rafael terjebak. Dari awal aku sudah tidak setuju jika Cassa dan Rafael pergi berdua saja.

Aku mencari keberadaanya, Cassa, dia ada diujung sana sedang mengumpati Pria yang bahkan besarnya dua kali lipat dariku. Aku segera berlari kearahnya, dan memukulnya tepat bagian punggung atas.

"Cassa! Berjalan dibelakangku sekarang!" Titahku yang langsung dilakukan olehnya.

Ternyata, anak yang Cassa lindungi sekarang adalah Anaknya James. Pantas saja, saat tengah malam James menelfon berkali kali, ternyata ini alasannya.

"I'am here little girls, i'am here for you, so don't afraid baby." Batinku.

Kini posisiku menghadap Cassa, melindunginya dengan punggungku. Aku tahu didepan sana, Daniel dan Sica sedang melindungi Cassa dan Erick.

Aku menatap Cassa yang sedang memeluk Erick, kehangatan Cassa, selalu berhasil membuat orang merasa nyaman berada didekatnya.

'Dorr!'

"Sial!" Umpatku dalam hati.

Kini satu perluru berhasil bersarang dilengan kiriku. Dan sekarang akupun tahu siapa yang menjadi target mereka, targetnya adalah Cassa.

"Paman, pinjam tanganmu sebentar."

Cassa mengambil lengan kiriku, dan kemudian membalutnya dengan kain panjang, yang aku sendiri tidak tahu darimana ia mendapatkannya.

'Deg'

Katakanlah ini sebuah keajaiban, yah, keajaiban. Jantungku yang dari dulu tidak pernah berfungsi, kini kembali menunjukkan dirinya lagi. Aku mungkin orang yang tidak berperasaan, namun, semua itu punya alasan.

"Syukurlah semua ini sudah berakhir." Ujarku dalam hati ketika melihat keadaan disini kembali kondusif.

"Ini gara gara Cassa! Coba kalian gak rekrut dia, gak bakal kayak gini jadinya!" Ucapan itu kembali dilontarkan oleh Emelly kepada Cassa.

Aku yang sudah geram dengan tingkahnya terpaksa harua mengambil tindakkan. "Cukup Emelly! Siapa kau selalu menyalahkan Cassa?!" Ucapku dengan nada yang cukup tinggi.

Semua orang terdiam, aku memang tidak berperasaan, namun dalam konteks hubungan, rasa suka atau sebaginya. Akan tetapi, untuk memarahi orang baru kali ini aku lakukan, apalagi itu pada seorang wanita.

"Paman sudah, jangan seperti itu."

Entah terbuat dari apa hati gadis ini, sudah ditindas berkali kalipun tetap saja membela Emelly, tidak ada niat untuk membalasnya atau sekedar memasang wajah marah. Disini malah kami yang kesal dan marah, dan Cassa yang menenangkan kami.

"Bagaimana lukamu?" Tanya Lexci yang sedang mensejajarkan langkahnya denganku.

"Cassa mengikatnya dengan kencang, aku yakin ini tidak akan terlalu parah." Jawabku sambil menunjukkan balutannya pada Lexci.

"Waw, sepertinya mulai ada yang menempati hatimu kembali, Paman." Dengan wajah meledeknya, Lexci dan Davial sedang asik menggodaku.

Aku hanya membalasnya dengan gelengan kecil, mereka terlalu berlebihan dalam mengekspresikan sesuatu.

"Paman, apa kamu tidak ingin membantu kakak cantik itu?" Dengan lengan mungilnya, lelaki kecil ini menarik mantelku dan menunjuk kearah Cassa yang sedang sibuk dengan kakinya.

"Baiklah, kita hampiri dia sekarang, bagaimana?" Tanyaku yang dibalas anggukkan antusias dari Erick.

Langkahku terhenti saat melihat Rafael menghapiri Cassa dengan kotak P3K ditangannya, dan tersenyum kearah Erick yang sedang menatapku dengan raut wajah bingung.

"Kita terlambat Erick, lain kali saja kita bicara dengannya, bolehkan?"

Erick hanya mengembuskan nafasnya, dan memasang tatapan sendu. Dia berlari kearah Lexci yang sedari tadi memang sudah memanggil namanya.

"Mungkin belum waktunya untukku." Ujarku seraya pergi ketempat teman temanku berada.

*****

Sekarang kami sudah berada dimarkas, mengistirahatkan tubuh kami yang sempat menghantam banyak hal disiang bolong tadi. Aku melihat Cassa bersama rekan rekannya sedang asik berbincang, dengan posisi menjauhkan Bagas dari Rafael, dan sebaliknya.

"Sepertinya, masalah kedua lekaki itu masih belum selesai." Ujar Davial sambil sedikit menyenggol lenganku.

"Masalah di-Cafe hari itu masih berlangsung sampai sekarang." Ucapku menimpali Davial.

"Ah Yohan, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu." Ucapnya yang kini sedang menatapku.

"Apa?" Ujarku datar.

"Kau suka Cassa?"

Aku diam sejenak, melirik kearah Davial yang kini menatap Cassa dengan senyuman. Mungkin, semua orang menyukainya, termasuk aku.

"Semua orang suka padanya, bukankah begitu?" Ucapku menjawab pertanyaannya.

"Hais, terserah padamu saja. Oh ya, jika kau memang menaruh hati padanya, perjuangkanlah dari sekarang, sebelum orang yang salah berhasil mendapatkanya."

Davial menepuk nepuk pundakku, dan pergi meninggalkanku yang masih diam seraya menerka maksud dari ucapannya. Sebelumnya, Davial tidak pernah melontarkan ucapan atau apapun yang berbau motivasi, saran atau nasihat.

Yah, dilihat dari kelakuannya saja sangat mustahil jika dia sering memberi kesan baik. Mengencani Lexci saja belum pernah berhasil, alasannya sangat sederhana 'takut ditolak'. Dia memang salah satu tipe orang yang meyerah sebelum berjuang.

"Kau pikir, dengan mengatakan hal hal yang tidak pantas pada Cassa akan membuatnya takut padamu? Jangan bermimpi Emelly." Ucapan itu sedikit menarik perhatianku.

Aku berjalan mencari sumber suara itu, dibalik dinding ini, kutemukan Sica dengan tatapan tajam sedang menatap Emelly yang hanya memasang wajah datarnya.

"Memang dia siapa? Sehingga kau bisa mengatakan bahwa dia tidak takut padaku, huh?" Ujarnya dengan nada yang meremehkan.

"Emelly dengar, berhadapan dengan dua Psikopat saja dia tidak takut, apalagi berhadapan denganmu, yang hanya berstatus 'senior'."

Skakmat. Sica memang paling bisa diandalkan dalam berkata tajam.

"Kau tahu apa tentangnya?"

Benar juga, Sica tahu apa tentang Cassa? Dan, darimana dia tahu jika Cassa pernah berhadapan dengan seorang Psikopat?

"Harusnya kau ingat tugasku setahun yang lalu. Menangkap, dan mencegah pelaku pembunuhan beserta mutil*si untuk kembali beraksi."

Kali ini aku yang terdiam. Jadi, gadis berumur 16 tahun yang Sica ceritakan setahun lalu adalah Cassa? Dan itu artinya, Cassa adalah orang yang sama saat kejadian tujuh tahun lalu di London, anak kecil yang dulu menyerukan panggilan paman dan bibi saat sebuah kebakaran terjadi disana.

Sekarang aku sudah menemukannya, alasanku datang kemari adalah karenanya, mencari tentang dirinya yang tidak pernah kutemukan. Namun sekarang, Tuhan mempermudah semua jalanku. Memang benar, kita hanya perlu bersabar, agar bisa mendapat apa yang kita mau.

*****

"Cassa" Seruku saat melihatnya ada dihadapanku.

Cassa berbalik kearahku, dengan wajah polosnya dia menaikkan sebelah alisnya untuk menggantikan kata 'Apa' sebagai jawabannya.

"Hari ini, kau tidak ada janji pulang dengan seseorang, kan?" Ucapku seraya menampilkan senyum tipis.

"Sepertinya belum. Memangnya kenapa Paman?" Balasnya sedikit mendongkak.

"Hari ini pulang denganku, bagaimana?"

Cassa terdiam sejenak, ekspresi bingung antara menjawab ya atu tidak kini mendominasi wajahnya. Selain mengantarnya, aku juga ingin menggali informasi darinya, sebenarnya apa yang telah dia lakukan sampai para Mafia itu datang ketempat berlatih.

"Baiklah, aku terima tawaranmu, Paman." Jawabnya dengan senyum ramah.

"Tunggu." Ujarku. "Pakai ini." Lanjutku sambil memasangkan mantelku pada tubuhnya.

"Ah, terimakasih Paman." Balasnya lalu mengalihkan pandangannya dariku.

*****

Digelapnya malam hari ini, membawa seorang gadis diatas motor memang bukan hal yang baik. Yah, awalnya aku juga tidak berniat untuk pulang bersamanya. Mengingat Rafael dan Bagas yang masih belum menyelesaikan masalahnya, aku khawatir akan keselamatan gadis kecil ini.

"Paman?" Ujarnya sedikit berteriak.

"Ada apa Cassa?" Balasku yang tetap fokus pada jalanan.

"Bisa kita berhenti di tempat pedagang kaki lima?" Aku hanya membalasnya dengan tawa kecil.

"Sudah malam masih mau mencari makan? Dasar wanita, yah...wanita memang selalu begitu." Batinku.

Aku berbelok kearah kiri, setahuku didaerah sini masih banyak pedagang kaki lima yang berjualan. Dan karena kebetulan ini, aku bisa menggali informasi lebih banyak darinya sambil bersantai.

Aku berhenti didepan enam pedagang kaki lima. Pandangan Cassa tak lepas dari roda yang bertuliskan 'Mie Ayam'. Dengan senyum senangnya, dia berjalan meninggalkanku dengan helm yang masih terpasang dikepalanya.

"Bang, mie ayam ya" Ucapnya lalu mengambil posisi yang pas untuk duduk. "Kau tidak memesan Paman?"

Aku berlarih duduk disampingnya, sambil tersenyum, jujur saja, aku belum pernah makan ditempat seperti ini. Aku hanya melewatinya saja, tanpa berniat untuk memcicipinya.

"Ah, pasti kau tidak terbiasa, benarkan?" Tanyanya yang dengan pasrah kubalas anggukkan.

"Apakah kau sering membeli makan disini?" Tanyaku sedikit penasaran.

"Sering dongg..Paman cobain deh sekali kali, pasti ketagihan."

"Baiklah, pak saya pesan satu." Ucapku pada akhirnya setelah menimbang nimbang.

Setelah pesanan kami datang, aku meyakinkan diriku untuk berani memakan mie yang disajikan dalam mangkok ini. Seumur hidupku, aku hanya makan diwarung nasi goreng saja, atau pecel lele, untuk yang seperti ini, bukan jarang, memang tidak pernah.

Satu suapan kini berhasil masuk kedalam mulutku, Enak. Itu yang terlintas di dalam pikiranku. Aku menatap Cassa yang kini sudah menghabiskan setengah porsinya.

"Pantas saja dia makan dengan lahap, rasanya juga menang enak." Batinku.

"Mmm Cassa?" Ujarku saat melihatnya sudah menyelesaikan kegiatannya.

"Ya Paman?" Kini dia menoleh kearahku, dengan tatapan polos yang selalu dia tampilkan.

"I wanna talk to you."

"Bicaralah" Balasnya yang kini tersenyum padaku.

Aku menarik nafas panjang, dan beralih menatap Cassa dengan tatapan serius. Anggap saja ini hanya percakapan antara kakak beradik, yah kakak beradik.

"Apa yang kamu lakukan sehingga ada orang yang menyewa mafia untuk melekuaimu?"

Kini Cassa menatapku dengan tatapan gugup, pandangannya seperti ketakutan yang disertai rasa bersalah. Dia menundukkan kepalanya, sambil mengambil nafas dan kemudian membuangnya.

"Aku...karena aku mengikuti oragnisasi kalian." Ucapnya lirih.

"Organisasi kami?"

"Pasti ada hal lain kan Cassa?" Tanyaku mencoba untuk meyakinkannya.

"Ada, memang ada. Ada banyak hal yang bisa membuat mereka datang untuk mencelakaiku Paman. Dan salah satunya karena Organisasi ini, juga karena kasus korupsi yang aku tangani." Jelasnya dengan suara yang sedikit parau.

Diumurnya yang masih terbilang muda, keterlaluan jika memang ada orang yang dengan sengaja menyewa para pembunuh bayaran untuk menghabisi gadis berumur 17 tahun ini.

"So, apa yang mereka inginkan darimu?" Tanyaku sambil memegang pundaknya.

"Tahun lalu, saat semester awal, ada mafia yang mengajakku bicara baik baik. Dia memintaku untuk membantu salah satu serikat Mafia agar bisa mengacaukan jaringan di Negara Jerman. Namun aku menolak." Jawabnya.

"Kenapa kau menolak?"

"Because i can't do evil."

~~~~~~

avataravatar
Next chapter