4 Five. Latihan Membidik

Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan yang Lexci lontarkan padaku. Dia memberikanku sebuah pena pengintai, yang biasa aku gunakan untuk bertugas.

"Kau bisa mengoperasinyakan bukan?" Tanyanya lagi sambil menaikan alisnya.

"I can...tapi dari mana kau tahu?" Jawabku balik bertanya.

"Jangan banyak bertanya Cassa, aku sudah tahu banyak hal tentangmu." Ucapnya sambil menunjukkan senyumnya.

Aku memasang wajah bingungku, memikirkan bagaimana Lexci bisa mengetahui semua tentangku. Aku memutar Pena ditanganku untuk membukanya, melihat apakah susunannya masih lengkap atau tidak.

Aku menekan tombol kecil untuk mengaktifkanya, dan menaruhnya disaku kardiganku untuk mulai merekam.

"Sudah." Ucapku seraya mengembalikannya kepada Lexci.

"Kerja bagus girls." Ujar Davial sambil menepuk pundakku.

"Now, answer my questions." Ucapku dengan wajah datar sambil menaikkan kedua alisku.

"Nanti saja Cassa, akan banyak yang datang setelah ini." Balas Lexci dengan senyumnya yang menyebalkan sekarang.

Satu menit kemudian teman temanku masuk kedalam sambil sedikit berbincang. Mereka kemudian duduk dikursi yang sudah distempel dengan nama panggilan masing masing. Termasuk aku.

Bisa kusimpulkan, tim kerja onlineku adalah Joe, dan Famela. Karena mereka berdua memanggilku dengan nama asliku, Rafael memang tahu namaku, itu karena kami memang pernah bertemu sebelumnya. Bukan karena terikat janji kerjasama tim.

"So, apakah kalian akan mengisi formulir yang kami berikan?" Tanya Lexci menatap satu persatu dari kami.

"Mmm, kami perlu berdiskusi." Jawab Bagas.

"Can." Ucap Davial singkat.

Kami berkumpul ditempat dudukku, mereka memutariku seolah hendak mengepungku. "So how?" Ucap Rafael.

"I'm yes." Ujarku sambil menatap mereka.

Mereka saling memandang satu sama lain kemudian tersenyum seraya menaikkan kedua alis mereka dengan kepala yang mengangguk.

"Tunggu tunggu, kenapa kalian mengikuti keputusanku? Apa jika berkata tidak kalian juga sama?" Tanyaku sambik berbisik.

"You know that Cassa. Because your decision is the most correct." Jawab Maria dengan senyum tipisnya.

"We are ready." Ucap Bagas dengan percaya diri.

Lexci dan Davial tersenyum bangga. Mereka mulai membagi lembaran lembaran formulir kepada kami. Isinya tidak jauh dari biodata, dan riwayat hidupmu. Pengalaman kerjamu, dan siapa kau, serta, ingin menjadi siapa disini.

"Sambil kalian mengisi formulir, kami akan menyebutkan fakta fakta tentang kalian." Ujar Lexci sembari berjalan kesetiap meja.

"Joe. Jordana Nanda Malik, Kau lahir 21 tahun yang lalu di Yordania. Pernah berkuliah di salah satu universitas Australia, Univ of Sydney. Kau memiliki tinggi 175 cm, dengan berat badan 67 Kg. Pengalaman kerjamu adalah magang dikantor Google sebagai ahli jaringan. Kau juga pernah, mm sorry, menjadi sales sepatu semasa magang." Jelas Lexci yang beralih menatapku.

"Cassandra Halther Dewi. Pengusaha sekaligus pembisnis muda. Kau memiliki prestasi dalam banyak bidang. Bersekolah di SMAS Bintang Jakarta. Anak pertama dan tunggal dari ibumu. Kau juga seorang detektif yang bekerja secara mandiri untuk membantu banyak orang." Lanjutnya.

Rekanku menatapku dengan tatapan terkejut, memang aku seorang detektif dari awal. Aku seorang stalker yang mengetahui banyak hal. Tidak maksudku untuk menyombongkan diri, namun sudah banyak artikel yang kutulis dari hasil ingin tahuku.

"Kau stalker yang handal, sudah banyak orang kau telurusi, termasuk tuan James Houre." Lanjutnya masih membicarakanku.

Aku menoleh sambil menautkan alisku dan berkata. "Bisakah kau berhenti membicarakanku? Masih banyak orang lain disini." Ucapku berdecak pelan.

"I know that. Tapi sepertinya mereka juga lebih suka mendengar pengalamanmu Cassa." Balasnya sambil menaikkan alisnya.

Aku melihat kearah rekan rekanku yang tersenyum sambil menunjukkan ibu jari mereka. Aku menghela nafasku seraya memutar kedua bola mataku, dan menggeleng kecil.

"Famela. Alexi Aredon Holter." Ucap Lexci dan melirik kearahku.

Aku memang terdiam saat mendengar Marga Holter dalam nama Alexi. Dalam otakku terlintas nama 'Reodon Holter', orang yang beberapa hari ini sedang aku cari tahu kehidupannya.

"Kau anak dari Agustina Holter. Berkuliah di UNJ, kau bekerja sebagai asisten sekertaris sekarang. Tinggimu 166 cm, dan memiliki berat badan 54 kg. Lahir di Inggris, dan dibesarkan di Australia. Kau bermutasi ke Indonesia sejak 5 tahun lalu." Lanjut Davial sambil memindahkan gambar dilayar ke gambar lain.

Agustina Holter. Dari yang aku tahu, dia adalah Adik bungsu dari Ayah tuan Reodon Holter. Alexi berarti adalah keponakannya, dan sekarang aku tidak bisa terlalu dekat dengannya.

Setelah Lexci menyelesaikan semua ocehannya, Davial mulai mengumpulkan Formulir yang tadi kami isi. Aku memakai kembali earphoneku dan memutar lagu U-Boss dari NCT.

******

Sekarang kami berada diruang pelatihan, banyak alat untuk fitness dan melatih kecepatan. Semua ini mungkin familiar dimataku, akan tetapi tidak bagi tubuhku.

"Cassa! Kemari, dan latihan membidik." Teriak Yohan pelatih kami, Pria berumur 26 Tahun dengan tubuh ideal.

"Kenapa harus aku? Masih banyak orang mengatri disana!" Ucapku kesal sambil berjalan kearahnya.

"Masih banyak pengajar disini Cassa. Aku memang direkrut khusus untuk melatih perempuan sepertimu." Katanya sambil menunjukkan senyum meledek.

Yohan memberikan Revolver padaku. Jujur saja ini baru pertama kalinya bagiku, Mungkin benda ini sering aku lihat, namun untuk menggunakannya, aku bersumpah dalam mimpipun aku tidak mau.

"Lihatlah kearah sana." Ujarnya sambil mengatur posisi kepalaku.

"Kau perlu Fokus Cassa, Tatap titik merah itu dengan ketenangan, bukan ambisi." Ucapnya menunjuk titik merah kecil ditengah.

Aku membenarkan posisiku seperti yang diarahkan oleh Yohan. Aku menarik nafasku, menetralisir keadaan dalam tubuhku, aku fokuskan pandanganku pada titik merah itu dan mulai menarik pelatuknya.

'Dorr'

Satu peluru berhasil aku lepaskan. Kami mendekati Papan bulat berwarna pada kejauhan 1,5 meter ini. Damn, tidak tepat sasaran.

"No problem Cassa, Peluru berada 2 tingkat diatas titik merah ini." Ucao Yohan tersenyum.

"Sasaranku meleset bukan Pak?" Tanyaku dengan wajah kesal.

"Tidak ada yang instan Adik kecil, untuk seorang pemula, bidikkanmu bagus." Jawabnya memberikan satu peluru untuk aku masukan.

"Aku tidak menyangka jika dia bisa sehebat ini dalam satu kali percobaan." Batin Yohan-Thor.

"Ayo mulai lagi." Ucap Yohan sembari menunjuk kearah papan bidikkan.

Aku kembali pada ritual sebelumnya, dan mulai menatap fokus targetku dengan ketenangan. Dalam hitungan ketiga, aku kembali menarik pelatuknya. Kali ini membuat perhatian orang orang terpaku padaku.

"Cassa look that! You, you can do it!" Ucap Yohan dengan wajah gembira.

Aku membulatkan mataku dan membuka mukutku dengan wajah senang dan terkejut. Orang orang bertepuk tangan dengan wajah gembira mereka juga. Aku melihat kearan rekan rekanku yang juga tersenyum gembira.

"Good luck girls." Ucap Lexci sambil menepuk pundakku.

"Pemula yang berbakat." Ucap Davial sambil menunjukkan ibu jarinya.

"I know you can, now follow me." Ucap Yohan menarikku ke sisi lain lapangan dengan smirk khasnya.

Cassa POV Off.

avataravatar
Next chapter