17 Eighteen. Malam ini Untuk hari Esok

"Because i can't to do Evil."

Kemampuan seseorang kadang bisa menjadi boomerang bagi kehidupan mereka sendiri. Kadang kala dalam hidup ada kata 'Dijalani salah, tidak dijalani susah.'

Aku mengusap ujung kepala Cassa, berharap bisa membuatnya tenang dalam hari harinya yang mengekang. Mengingat marganya Halther, itu juga bisa menjadi alasan mengapa banyak orang jahat yang memang dengan 'sengaja' ingin menyekapnya.

Apalagi karena kasus setahun lalu yang dia pecahkan, kasus penangkapan dua psikopat, hal itu juga pasti mempengaruhi penjahat lain untuk membuat Cassa bungkam selama lamanya.

"Aku mengerti Little girls. Tidak ada orang yang mau dibayar untuk melakukan kejahatan. Namun terkadang hidup tidak memberi pilihan."

"Mereka takut kau membocorkan informasi tentang mereka." Lanjutku yang dibalas anggukan Cassa.

"Paman, apakah kau pernah kehilangan seseorang yang paling berharga bagimu?"

Aku terdiam untuk sesaat, berfikir haruskah aku menjawabnya, atau membiarkannya saja? Jika mengingat tentang kepergian seseorang yang tak mungkin untuk kembali, itu rasanya sangat sakit, sangat sangat sakit.

"Tentu."

"Banyak orang yang pergi meninggalkanku untuk selamanya." Lanjutku dengan nada yang sedikit bergetar.

Cassa hanya menggunjing senyumnya, wajah sendu yang ia pasang kini membuatku yakin, sudah banyak hal yang terjadi dalam hidupnya selama ini.

"Apa kau juga sama, Cassa?" Ucapku untuk menghilangkan keheningan malam.

"Semua orang yang hidup akan dipanggil satu persatu, Paman." Ujarnya yang kini beralih menatap Langit malam.

"Hey Cassa, boleh aku memelukmu?" Aku tahu, dibalik senyumnya, ada luka yang tidak bisa terobati.

Cassa kini menatapku dengan mata yang berkaca kaca. Tanpa mengucapkannya, aku segera menghampirinya, mendekapnya dalam pelukanku dan membiarkannya menangis dalam dekapanku.

"You're like my daddy" Lirihnya yang disusul suara isakan. "Tapi itu dulu." Tangisannya kini terdenger jelas. Sudah berapa lama gadis ini menahan tangisannya?

"Sekarang akulah Ayahmu, Cassa" Ujarku sambil terus mengelus kepalanya. "Lupakan masalalumu, maafkanlah semua orang yang sudah menyakitimu Adik kecil." Lanjutku masih berusaha membuatnya tenang.

Suara tangisannya berangsur angsur mengihilang, nafasnya mulai kembali teratur, dan senyumnya mulai kembali lagi. Aku menghapus sisa air mata yang ada diwajahnya, dan sekali lagi mengusap ujung kepalanya.

Jujur saja, aku tidak serius berkata bahwa aku akan menjadi Ayahnya. Bukan, bukan karena aku tidak mau, namun karena perasaanku, bukan sebagai Ayah padannya. Kalian mengerti, bukan?

"Sekarang kita pulang ya?" Tanyaku seraya menatapnya.

"Sepertinya perutku berdemo lagi setelah menangis tadi."

'HAHAHAHAHA'

Dimalam hari seperti ini, bisa bisanya dia mengakatan hal yang membuat perut ini terasa seperti dikelitiki. Aku terpaksa harus menunggunya makan lagi, atau menemaninya.

Memang belum terlalu malam, jam baru menunjukkan angka 21.20 p.m, belum terlalu malam untuk seorang pria, aku misalnya.

Setelah Cassa menghabiskan pempek yang dia pesan, Aku memakaikannya helm, dan membayar pedagang itu dengan cara memaksa Cassa. Memang sedikit berdebat, karena Cassa tidak mau dibayarkan olehku.

Namun pada akhirnya, aku berhasil membuatnya menurut dan membiarkanku membayarnya.

"Aku akan mengantarmu sampai depan Rumah. Minggu lalu kau turun didepan gang, kan?" Tanyaku yang dibalas tatapan terkejutnya.

"Kalian mengikutiku, ya?" Tanyanya yang kini memasang wajah kesal.

"Hanya memastikan saja." Jawabku seraya menepuk jok bagian belakang.

Dalam perjalan, burung beo ini sepertinya mulai menampakkan dirinya. Anak kecil yang dulu selalu banyak bicara, kini mulai kembali, namun dalam wujud yang lebih dewasa dan berani.

Cassandra Halther Dewi. Sampai kapanpun aku tidak akan melupakan nama ini, apapun yang terjadi, namanya akan selalu ada dalam hati, untuk selama lamanya.

Yohan POV Off.

******

Cassandra POV.

"Bye Paman! Terimakasih sudah mengantarku!" Teriakku didepan rumah.

Yohan membalasnya dengan melambai lambaikan sebelah tangannya, lalu setelah itu dia melajukan motornya, menjauh dari jalan yang berada didepan rumahku.

Didepan rumahku, sudah ada Rehan yang sedang berkacak pinggang, sambil menggeleng gelengkan kepalanya.

"Jam berapa bu?" Tanyanya sambil memelototiku.

"Gak dijual masss.." Jawabku sambil menyentik ujung dagunya.

Rehan hanya berdecak malas, dia mengikuti langkahku dari belakang, memperhatikanku dari atas sampai bawah. Ada apa? Memangnya ada yang salah denganku?

"Mantel siapa kak?" Tanyanya yang membuatku menepuk keningku.

"Kenapa bisa lupa, hadehhh" Ujarku sambil melepas mantel yang memiliki aroma khas ini.

"Punya cowo yang ngaterin kakak tadi?" Bisiknya padaku.

"Bukan cowo, tapi Pria( konteksnya lebih dewasa aja). Dia itu udah 26 tahun, gak pantes dipanggil cowo lagi." Ucapku sambil menyentilnya.

"Ohh, om aja ya gue panggilnya." Sambil mengangguk anggukan kepalanya, Rehan mengambil alih Mantel ditanganku.

Namun satu menit kemudian, aku mengambil Mantelnya kembali, dan berjalan menuju tangga tempat dimana kamarku berada.

Rehan hanya memasang wajah jengkel, dengan mulut yang sedikit terbuka, dan mata yang melihat dengan sinis.

"Bye, gue mau tidur, besok sekolah. Bulan depankan kelulusan hehehe" Ucapku sambil menjentik jentikkan jariku.

Rehan hanya bergidik geli melihat tingkahku, aku tidak menghiraukannya dan membalasnya dengan senyuman seraya menaikkan kedua alisku.

Mengingat sedikit lagi aku menempuh jalan pendidikan yang lebih tinggi, yang artinya, aku harus meninggalkan banyak hal, dan mulai melangkahkan kaki dipijakan yang baru.

Memulai awal baru, mengambil jalan baru pengalaman baru, dan lingkungan yang baru.

"Bismillah..."

Aku menutup mataku, membawa diriku kealam bawah sadar, yang akan mengantarku kehari esok yang lebih bermakna dan berwarna.

~~~~~~~

Suara alarm sedikit menganggu pendengaranku, dengan mata yang masih enggan untuk melihat, aku meraba raba nakas yang ada disebelah tempat tidurku, mencari barang yang sedari tadi terus membuat kebisingan.

'04.20'.

Aku mengusap mataku, dan diam sejenak ketika aku mendengar suara adzan yang berkumandang. Masih ngantuk, sudah pasti. Setelah latihan kemarin, efek sakitnya baru muncul sekarang, dan itu membuat gerakanku terhambat.

Handuk yang menggantung didinding itu kini berada ditanganku. Aku membuka pintu kamarku, dengan langkah guntai, aku menuruni satu persatu anak tangga yang dibuat melingkar layaknya sebuah 'Per'.

"Gue dulu yang mandi!"

Tubuhku yang nyawanya belum terkumpul ini dengan terpaksa harus menubruk tembok yang jaraknya setengah meter dariku.

"Rese!" Umpatku seraya memukul pintu kamar mandi dengan handuk. "Lu kan libur dek!" Teriakku saat mengingat hari ini dia diberi waktu untuk belajar dirumah.

"Mau sunmor!" Balasnya dengan suara khas orang yang sedang menyikat gigi.

Aku hanya menghembuskan nafas malas, dan berjalan keruang tamu. Pagi pagi seperti ini orang rumah belum ada yang beraktifitas, masak saja rasanya aku malas.

Sambil menunggu Rehan, aku memainkan ponselku, dan secara tidak sengaja menemukan Akun Instagram teman temanku, juga para seniorku. Sialnya, mereka semua rata rata memiliki followers diatas 10rb.

Yah, followersku juga memang tidak bisa dibilang sedikit. Namun, jika 'dibandingkan' dengan mereka, tentu sangat jauh berbeda.

'Ting'

Satu pesan masuk kedalam Whatsappku, hanya menunjukkan nomor yang sebelumnya tidak kukenal.

+1 276******

Besok Ayah pulang ke Indonesia.

"Ayah?" Gumanku.

Aku melihat kembali nomor yang digunakan, dan melihat avatar Whatsapp yang digunakan. Benar, beliau memang Ayaku.

Antara harus senang atau sedih, perasaan itu sangat membuatku bingung. Seolah olah mengambang diudara, ditempat yang memiliki cukup gravitasi.

******

Sekolah. Yap, disini sekarang aku berada. Menggunakan seragam putih abu yang sebentar lagi akan aku lepas. Ditim padus aku berdiri, menjadi bagian dari mereka, dan memimpin jalannya alur nada.

'Ready for today?'

Aku menyengritkan dahiku saat membaca kalimat yang ada dikertas ini. Saat aku datang tadi, entah siapa yang menaruh secarik kertas ini diatas mejaku.

"Kenapa San?" Tanya salah temanku.

"Tau ga siapa yang naro kertas ini?" Jawabku yang balik bertanya.

"No, gue aja gatau ada kertas itu." Ucapnya sambil menggeleng kecil.

"Ada kejadian apa lagi sekarang?" Batinku.

Aku memandang seluruh sudut disekolah ini, melihat apakah ada kejanggalan atau tidak. Satu persatu orang yang ada disekolah aku lihat, hari Senin, memang bukan hari yang menyenagkan, namun akan tidak menyenangkan lagi jika ada kejadian buruk dihari Senin ini.

"Padus siap ya!"

Aku segera mengembalikan fokusku, bersiap untuk mengeluarkan suaraku dipagi hari yang berawan ini.

'James Houre'

Satu nama itu terlintas dipikiranku ketika melihat Sosok seorang Mafia hebat didepan sana. Tepat dibelakangnya, ada Yohan dan Tuan Hendrick yang berdiri dengan tegap dan sigap.

Tak lupa, Mr. Daniel dan Davial yang berada disamping kanan kirinya.

"Apa ini yang dimaksud kertasnya?" Tanyaku dalam batin.

Memang, setiap satu semester sekali, sekolahku akan mengundang tokoh tokoh tertama, mengingat sekolah ini memang milik orang asing yang kebetulan saat itu sedang melakukan pengamatan di Indonesia.

Tapi, kenapa harus masuk dunia hitam? Murid lain mungkin tidak tahu, mungkin. Siapa orang yang sedang berdiri dengan gagah didepan sana.

'Cletek'

Suara itu, suara pelatuk dari sebuah Pistol. Aku melihat kearah Davial yang kini sedang melihat kearahku. Ia mengarahkan tangannya ketelinga, seraya bertanya apakah aku mendegar hal yang sama atau tidak.

Aku mengangguk pelan, dan mulai mengedarkan kembali padanganku. Disebelah kiri, tepatnya digedung lab. Aku melihat sebuah pistol yang sedang mengarah keanak kecil yabg kuselamatkan kemarin. Tunggu anak itu disini?

"TIARAP!"

Teriakan Daniel awalnya hanya dianggap candaan, namun agar mereka melakukan apa yang Daniel katakan, harus ada yang memulainya terlebih dahulu bukan?

Aku berjongkok, kemudian mengambil posisi tiarap, yang kemudian dikuti orang orang yang ada disekolah ini.

"Prang!"

Satu lemparan batuku berhasil mengenai Kaca jendela yang berada dilantai dua. Suara gaduh mulai terdengar yang membuat para siswa dan guru 'sedikit' takut.

Mengingat ini bukan kasus yang pertama kali, jadi tentu saja, mereka akan lebih tenang menghadapi keadaan seperti ini.

"Pertunjukan dimulai" Ucapku seraya bangun dari posisiku.

Aku berjalan kearah lantai dua, yang dikuti oleh segerombolan intel sekolah, namun mereka ditahan oleh Davial. Kemudian, Davial, Yohan, Mr. Daniel, Tuan James, dan Hendrick menyusul langkahku dari belakang.

"Nyali mu besar juga, Cassa." Ujar Davial yang beehasil menyusulku.

"Seharusnya kau tahu, ini bukan yang pertamakali." Ucapku sambil sedikit menyeringai.

"Hey, welcome back to jail."

Aku menyeringai kearah lelaki yang kini memegang senjata MP5J ditangannya. Dia mengarahkan senjatanya kearahku, namun pergerakannya lamban.

Kini tepat didahinya, Yohan sudah menempelkan sebuah Senjata Api. Dihadapannya, ada Daniel yang sudah siap dengan senjata api jenis SSI V2 yang bisa ditembakkan kapanpun ia mau.

~~~~~~~

avataravatar
Next chapter