webnovel

Kekasih Nyata

"Hah~" sudah tak terhitung berapa kali gadis itu menghela nafasnya. Rasanya sangat bosan di tambah tulisan-tulisan di papan tulis sama sekali tak mengusiknya.

"Sekali lagi kau menghela nafas ku sumpal mulutmu itu Casie" desis Carla pada gadis yang duduk tepat di sebelahnya. Cassandra —Casie hanya memutar matanya tak peduli. Ia merasa seperti di penjara dalam ruang kelas, rasa bosan perlahan membunuhnya.

"Untuk hari ini sampai disini dulu, jangan lupa membaca kembali materi tadi yang sudah kalian catat" pesan sang guru berjalan meninggalkan ruang kelas.

Seketika Casie menengadahkan kepalanya, tersenyum —nyaris menyeringai— lebar. Dia seperti mendapatkan jiwa yang baru, lebih segar, lebih hidup. Dengan cepat Casie meraih ponsel dan jemarinya dengan lincah menari di atas layar benda persegi panjang itu.

"Ayo ke kantin—"

"Aku titip saja."

Carla berkacak pinggang, menatap tajam pada gadis yang kembali dalam mode bisu saat bersama dengan ponselnya. Seolah-olah dunia ini hanya miliknya sendiri sedangkan orang lain hanya pemeran figuran saja.

"Ouuch!"

"Kita harus mengobati kecanduanmu pada ponsel!" putus Carla menarik paksa temannya yang menggerutu tak terima.

"Memangnya apa salahku?" tukas Casie dengan bibir maju beberapa senti. "Bilang saja kau iri! Makanya cepat cari pacar sana."

Carla tak tahu lagi harus berbuat apa. Kadang dia kasihan setiap kali melihat gadis itu mulai asik dengan dunianya sendiri, tanpa mempedulikan hal sekitar. Lama-kelamaan Casie pasti berubah menjadi sosok sosiopat kalau terus dibiarkan. Tetapi, rasanya juga percuma kalau hanya memberikan nasihat lewat kata-kata saja. Pasti hanya sekedar lewat, masuk telinga kanan lewat telinga kiri.

"Ayo! Cepat ikut dan jangan banyak tanya!"

"Eh! Eh!..."

Tanpa menunggu persetujuan lebih dulu, Carla menarik paksa lengan kanan Casie. Membuat gadis itu mau tak mau ikut pergi juga.

Melewati selasar kelas, menuruni tangga menuju lantai satu, lalu berjalan lurus sampai mereka tak lagi berada di dalam gedung sekolah.

"Tu—tunggu!" Casei menyadari ada yang tidak beres. Kantin sekolah berlawanan arah dengan jalan mereka sekarang. "Kantin ada di belakang sana, kenapa kita malah jalan lurus saja?" Mereka harusnya sudah belok ke kanan beberapa saat lalu, bukannya malah keluar dari gedung.

Carla tetap diam, seolah teriakan Casie tak pernah terdengar. Dia sama sekali tak merespon walau gadis di sebelahnya sudah mengoceh tidak karuan. Keadaan Casie sudah persis seperti anak kecil yang merajuk karena tak dibelikan mainan oleh ibunya. Carla pikir, dia tak akan ingin memiliki anak kalau nanti besarnya mirip dengan Casie.

Langit di atas sana sangat cerah, tak ada satupun awan menutupi, biru bersih. Menyebabkan cahaya Matahari semakin terasa berkali-kali lipat lebih terik. Ini bagus tentunya bagi para siswa yang tengah sibuk beraktifitas di lapangan basket sana. Mendribble bola, mengoper ke teman satu tim, lalu mencetak skor dengan memasukan si bulat orange ke dalam keranjang. Bunyi gemericik dari rantai-rantai pada ring basket terdengar mengiringi sorakan para pemain juga penonton yang mengelilingi pinggiran lapangan basket.

Namun, berbeda dengan yang di rasakan oleh Casie. Dia tak terlalu menyukai beraktifitas di luar ruangan, apalagi dengan cuaca sangat cerah semacam ini. Dia bahkan tak masalah disebut kelelawar atau vampir, saking tidak suka berada langsung di bawah sengatan matahari.

"Hoy! Di sini panas tahu! Aku ke kelas saja kalau begit—"

"Diam," Carla memberi peringatan tanpa tatapan mata, dengan mengeratkan cengkraman pada pergelangan tangan Casie. "Jangan banyak tingkah atau aku akan adukan kelakuanmu yang selalu bermain RP itu pada Ibumu."

Ancaman telak dari Carla sukses membuat Casie bungkam. Ini salah satu kelemahannya selain alasan tidak memberikan contekan. Casie tak ingin berakhir dengan ponselnya disita secara paksa oleh sang ibu, menyebabkan dirinya tak bisa berhubungan lagi dengan kekasih di dunia Roleplay, Spencer.

Kedua gadis itu berjalan menuju lapangan basket. Masuk ke dalam arena dan melipir ke sisi lapangan, mencari tempat duduk kosong.

Sorak sorai sekali lagi terdengar meskipun tak ada skor tercetak, alasan paling masuk akal karena mereka tengah mendukung seseorang. Bukan satu tim, tetapi hanya satu orang saja, Dennis Parker.

Padahal pemuda berambut coklat ikal itu bukanlah seorang kapten tim, dia juga tak masuk jajaran pengurus OSIS sekolah. Hanya siswa biasa dengan kelebihan tinggi badan juga senyum menawan, serta mata biru cerah. Well, segala aspek mengenai pemuda itu cukup mampu membuat siapapun berubah menjadi penganggum hanya dengan pertama kali melihat saja.

Terkecuali bagi Casie. Di antara sorak sorai para gadis dan sebagian kecil pria, hanya dirinya saja yang sibuk memainkan ponsel. Kembali masuk ke dalam dunia Roleplay, tanpa peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

"Ponselku!!" Casie berseru keras ketika ponsel yang sedari tadi dia mainkan di ambil paksa oleh gadis menyebalkan di sebelahnya. "Kembalikan ponselku Carla!" Pupil matanya sudah membesar dua kali lipat.

"Tidak."

Casie sudah hilang kesabaran kalau begini caranya. Di paksa ke luar ruangan saat matahari sedang terik-teriknya, kelaparan, dan kini ponselnya direbut paksa. "Kau sudah gila yah? Cepat kemarikan ponselku!"

Dengan santai, Carla memasukan ponsel temannya itu ke dalam saku rok biru tua tepat sebelum Casie merebut kembali. Membuahkan dengusan kesal dari sang pemilik ponsel yang merasa dirinya teraniaya secara terus menerus.

"Cepat kembali—"

"Hay Denis!!"

Bukannya menanggapi ucapan gadis di sebelahnya, Carla justru melambai-lambai ria ke arah seorang pemuda yang berada di tengah lapangan. Seolah keberadaan Casie setara dengan kentut, tidak berharga.

"Oh, hay~" Si pemuda ikal balas melambai sembari berjalan mendekat ke arah Carla. Tersenyum secerah langit di atas sana, dan berkat itu sorak sorai kembali riuh.

"Dasar gadis-gadis gila," desis Casie. Dia sama sekali tak paham apa yang membuat para siswi dan sebagian siswa di sekitaran lapangan begitu memuja Dennis, memangnya apa kelebihan orang ini. Lihat saja bagaimana pemuda ini tersenyum, persis seperti orang gila. "Kau apa-apaan sih, kenapa malah memanggilnya?"

"Kau harus berterima kasih padaku setelah ini," jawab Carla.

"Gila saja, masa aku harus berterima kasih pada orang yang merebut ponselku seenaknya?! Kemarikan sini!"

Carla tak menggubris protes dari Casie, dia kembali menatap pemuda tinggi yang sudah berdiri tepat di samping bangku yang mereka duduki. Meraih botol minum, membuka tutupnya dan meminum. Terlihat sangat biasa memang, tetapi hal yang menurut Casie biasa malahan terkesan luar biasa bagi kerumunan penontong di sekitaran lapangan ini. Mereka berteriak histeris, apalagi saat Dennis sengaja menyiramkan air tersebut ke atas kepala dan mengaliri seluruh tubuhnya.

"Jorok sekali sih dia." Carla mengernyitkan dahi sembari menggeser duduknya menjauh dari Dennis. "Hey, Carla.. Kalau kau ingin melakukan pendekatan padanya, jangan ikut sertakan aku," bisik Casie.

"Bukan aku yang akan melakukan pendekatan dengannya," Carla tersenyum penuh makna. "Tetapi kau."

Next chapter