1 prolog

Jalanan sepi.

Langit gelap.

Angin musim gugur bertiup kencang.

Ia merapatkan jaket yang dikenakannya, namun tubuhnya tetap saja menggigil. Bukan karena angin, karena saat ini ia sama sekali tidak bisa merasakan apa pun. Sepertinya saraf-sarafnya sudah tidak berfungsi. Ia tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bersuara, dan tidak bisa merasakan apa apa.

Kecuali rasa sakit dihatinya, ia bisa merasakan yang satu itu.

Sakit sekali.....

Butuh tenaga besar untuk menyeret kakinya dan maju selangkah. Sebelah tangannya terangkat ke dada, mencengkram bagian depan jaket. Tangan yang lain terjulur ke depan dan mencengkram pagar besi jembatan. Pagar besi itu seharusnya terasa dingin ditangannya yang telanjang, tapi nyatanya ia tidak merasakan apapun walaupun ia mencengkram pagar besi itu sampai buku-buku jarinya memutih.

Matanya menatap kosong ke bawah. Permukaan sungai terlihat seperti kaca besar berwarna hitam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu di tepi jalan.

Air sungai itu pasti dingin sekali. Ia pasti akan mati kedinginan bila terjun ke sungai itu. Mati beku.

Ia hanya perlu membiarkan dirinya jatuh. Setelah itu seluruh tubuhnya akan membeku. Rasa sakit ini juga akan membeku. Ia tidak akan merasakannya lagi.

Ruangan itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu sudah dimatikan, kecuali yang terdapat disudut ruangan dekat jendela. Lampu disana masih menyala karena masih ada seseorang disana. Gadis yang menempati meja didekat jendela itu sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan penerangan karena ia tidak sedang bekerja.

Fanny septyani duduk bersandar dikursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Ia menggigit bibir dan tidak habis pikir kenapa ponselnya tidak berdering, tidak bergetar, tidak melakukan apa pun.

Ia memutar kursi menghadap ke jendela besar dan memandang ke bawah, memperhatikan mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya kota paris dengan tatapan menerawang. Langit sudah gelap. Ia melirik jam tangan dan mendesah. J tujuh lewat. Dengan sekali sentakan ia memutar kembali kursinya menghadap meja kerja.

"Ke mana saja kau" desis fanny sambil mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat orange.

"Kau bicara dengan ponsel?"

Fanny mengangkat wajah dan menoleh, Elisa smith yang baru masuk ke ruangan tersenyum kepadanya. Elisa manis yang berambut pirang emas sebahu, bermata hijau, dan berhidung berbintik bintik itu berusia 29 tahun, beberapa tahun lebih tua daripada Fanny, tapi secara fisik wanita itu tidak terlihat seperti wanita eropa seusiannya. Perawakannya kurus, kecil dan dengan wajah seperti gadis remaja. Disatu sisi elisa menyukai kenyataan itu.

"Sudah selesai siaran?" Tanya Fanny ringan sambil mencondongkan tubuh ke depa, menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu.

Elisa mengangguk dan berjalan ke meja kerjanya yang persis di depan meja Fanny.

"Bukankah kau sudah selesai siaran sejak..." ia melirik jam dinding, "satu setengah jam yang lalu?" Tanya elisa dengan alis terangkat.

Fanny mendesah "memang" jawabnya lemas. Ia menunduk dan menyadarkan kening di meja, lalu mendesah keras sekali lagi.

Mereka berdua sama-sama penyiar di salah satu stasiun radio paling populer di Paris. Elisa lebih senior daripada Fanny dan siaran utama yang ditanganninya adalah acara yang membacakan surat-surat dari para penggemar, sementara Fanny membawa program lagu-lagu populer dan tangga lagu mingguan.

avataravatar
Next chapter