2 kemana saja kau?!!

"Hei kenapa lesu begitu?" Tanya Elisa sambil mengetuk-ngetuk pelan kepala Fanny dengan bolpoint.

"Bukannya biasanya kau paling suka hari jum'at?"

Fanny mengangkat kepala dan tersenyum muram. Hari Jum'at memang hari yang paling disukainya karena awal akhir pekan yang ditunggu-tunggu. Tapi hari ini jadi pengencualian. Ia sedang tidak gembira atau bersemangat.

"Oooh... aku mengerti," kata Elisa tiba-tiba tersenyum. "Belum menelepon rupanya."

Fanny menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia kembali melirik ponselnya. Lalu seakan sudahh membulatkan tekad, ia mendengus dan meraih ponsel itu. "Lupakan saja," katanya tegas. Dengan gerakan acuh tak acuh ia melemparkan ponselnya kedalam tas tangan dan berdiri dari kursi.

"Elisa, ayo kita pulang sekarang," katanya.

"Duduk mengasihani diri sendiri juga tidak ada gunanya."

Elisa menatap temannya dengan bingung, "yang mengasihani diri sendiri tuh siapa?"

*****************

Lima belas menit kemudian, Fanny dan Elisa sudah berada dalam lift kaca yang membawa mereka turun kelantai dasar. Fanny berdiri membelakangi pintu lift dan menikmati pemandangan malam kota Paris yang terbentang di depan mata. Pada awal perceraian orangtuanya dua belas tahun lalu, ia tinggal bersama ibunya di jakarta. Empat tahun kemudian, ketika berumur enam belas tahun ia memutuskan pindah ke Paris dan tinggal bersama ayahnya. Sejak saat itu, Paris menjadi hidupnya.

Mereka sudah sampai di lantai dasar. Fanny keluar dari lift dan melambaikan tangan kepada temannya. Ia baru saja akan melangkah ketika melihat seorang laki-laki berdiri di dekat meja resepsionis di lobi gedung. Langkah kakinya terhenti dan ia menahan nafas, tapi hanya sesaat. Ia lalu memituskan mengabaikan orang itu dan kembali melangkah.

Laki-laki iti melihat Fanny berjalan terburu-buru ke arah pintu utama. Ia tersenyum dan melambai, tapi Fanny mengabaikannya dan mempercepat langkah.

"Fanny"

Fanny mendengar panggilan laki-laki itu, tapi pura-pura tidak mendengar. Ia keluar dari gedung dan melangkah cepat ke tempat mobilnya di parkir.

"Fanny, tunggu sebentar."

Ketika ia hampir sampai ditempat parkir, Fanny mengeluarkan kunci mobilnya dan cepat-cepat masuk. Ia akan menutup pintu ketika gerakannya tertahan.

"Bisa tunggu sebentar, Fanny?" Tanya laki-laki itu sambil menahan pintu mobil. "Kenapa buru-buru?"

"Mau apa" tanya Fanny dengan nada tidak ramah. Ia menatap lawan bicaranya dengan tatapan dingin. Fanny tidak pernah tertarik dengan pria eropa pada umumnya, dengan rambut pirang, mata biru, dan kulit putih. Tapi anehnya ia menganggap laki-laki yang berdiri disampingnya menarik.

"Aku sedang bertanya-tanya apakah kau mau menemaniku makan malam." Ajaknya yakin Fanny takkan menolak ajakannya. Dasar playboy!!

"Aku yang traktir dan kau boleh memilih restorannya." Tambahnya karena Fanny tidak menjawab ajakannya.

Fanny berusaha tidak peduli tapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berseru, "brengsek kau, stefen william!! Kemana saja kau selama ini? Kenapa tidak meneleponku?" Stefen hanya tersenyum mendengar omelan Fanny.

"Aku mau makan sate kambing!" Kata Fanny ketus.

************

Di Paris ada restoran kecil tidak terkenal yang menjadi kesukaan Fanny karena menyajikan masakan Indonesia khususnya sate kambing kesukaannya.

Lain halnya dengan stefen. Laki-laki itu tidak terlalu suka sate kambing atau masakan indonesia. Tapi ia harus mengalah. Ia lebih suka melihat Fanny sibuk makan sate kambing dengan gembira daripada Fanny yang pura-pura tidak mengenalnya. Karena itu, Stefen harus puas dengan nasi goreng yang dipesannya.

"Jadi kemana saja kau seminggu terakhir ini?" Kalau kau masih ingat, waktu itu kau janji mau menjemputku di bandara. Kau tahu berapa lama aku menunggu? Kalau tidak bisa menjemput, kau kan bisa menelepon? Bukankah itu salah satu alasanmu membeli ponsel? Untuk menelepon?" Stefen hanya tersenyum, ia lebih suka melihat Fanny yang cerewet daripada yang pura-pura tidak mengenalnya.

Mereka berdua sudah berteman sejak Fanny pindah ke Paris. Mereka bertemu untuk pertama kalinya ketika Stefen menghadiri pesta pembukaan restoran baru ayah Fanny. Pada awalnya ia tidak peduli pada Fanny karena menganggap gadis itu hanya orang asing yang belum bisa berbahasa Prancis, tapi ia salah. Ia sudah menganggap Fanny seperti adiknya sendiri dan mereka berdua sangag cocok. Mungkin karena punya kesamaan nasib. Mereka berdua anak tunggal, orangtua mereka bercerai dan mereka tinggal bersama ayah mereka.

avataravatar
Next chapter