1 Oneshoot

--Yoona Pov--

Suhu minus terlalu menyiksaku. Bahkan pakaian hangatku yang mahal ini tak mampu menghangatkan tubuhku. Butiran salju tidak henti-hentinya jatuh di atas kepalaku, hingga menumpuk dan hampir menutupi rambutku. Berkali-kali kutepis kepingan es itu, tetap saja tubuhku tak mampu menghindar darinya. Pada akhirnya aku tak lagi menghiraukannya. Hanya duduk diam di taman seorang diri. Ya, hanya seorang diri. Karena hanya diriku yang rela kedinginan seperti ini, sedangkan semua rekan-rekanku berlindung di dalam penginapan. Kenapa aku seperti ini?

Aku kembali bertemu dengan mantan kekasihku disaat aku beserta rekan sekantorku tiba di jeju-yang sudah 1 tahun lamanya tak bertemu sejak putusnya hubungan kami. Dan yang tidak kusangka, ia seakan tidak mengenalku. Dan yang semakin membuatku ingin menangis, kedatangannya ke Jeju untuk menemani kekasih barunya yang ternyata teman sekantorku, dan kekasihnya itu adalah musuhku-tepatnya rekanku yang tidak pernah bersikap baik padaku.

Sudah hampir 2 tahun kami sekantor, dan selama itu juga aku dan rekanku itu berperang. Namun ketika kulihat siapa pria yang bergandeng dengannya, aku lantas melemah, tak ada yang aku inginkan, pertengkaran dan harapan seakan musnah dari memoriku. Entahlah, apa ini penyakit? Atau tepatnya reaksi dari rasa cemburu? Ya, sepertinya aku cemburu. Jika memang aku cemburu, itu artinya aku masih mencintainya. Ya, tentu saja aku masih mencintainya. Perpisahan kami bukanlah sesuatu yang aku inginkan, tapi aku tidak ada pilihan lain. Memutuskannya adalah jalan yang terbaik untuknya.

"Yak Yoong! Kau mau mati kedinginan?" Teriak Nana dari balik jendela kamar-tepatnya satu lantai diatasku, Tidak terlalu jauh dariku. Mendengar suaranya membuatku merasa terusik. "yak! Kau tidak mendengarku?" Ya, Aku tidak menghiraukannya. Aku memilih beranjak dari taman dan berjalan-jalan mengintari lingkungan disana.

Jalanan nyaris tertutupi salju, Semua tampak putih. Ranting pohon tak kuasa menahan tumpukkan salju yang menghimpitnya dan terus menambah beban. Angin musim dingin seakan memberi peringatan kepada semua ranting pohon agar lebih kuat menahan hantaman darinya. Ketika itu kepingan es berubah menjadi butiran air nan dingin, Semakin banyak dan terlihat padat. Hingga menderas. Tentunya sukses membuatku semakin merasa terpuruk karena harus berlindung disebuah meja berpayung yang tidak terlalu memihak kepadaku, Itu karena angin terus berhembus, Bahkan sangat kencang.

Dapatku rasakan darahku yang hendak membeku dan enggan mengalir. Bibirku mengatup rapat tak kuasa digerakkan. Jari tanganku kaku dan tak lagi terasa menyentuh apapun. Uap dingin berebutan keluar dari mulutku. Nafasku semakin sulit diatur. Semua ini diluar dari perkiraanku. Tak terpikirkan olehku badai akan melanda di saat seperti ini. Berlari juga tidak akan membuahkan hasil. Dan berdiam diri juga tidak akan menjauhiku dari bahaya. Seperti yang kini terjadi olehku. Secara tiba-tiba tubuhku dihantam oleh tumpukkan salju berukuran besar, Tumpukkan salju yang entah dari mana asalnya itu berhasil membuat diriku tak sadarkan diri.

--

Tubuhku masih terlalu lemah untuk duduk, tanganku juga belum mampu untuk menepikan selimut tebal yang tengah menutupi setengah dari tubuhku. Hal hasil aku hanya menunggu seseorang menyadari bahwa diriku telah sadar. Ya, Aku tahu itu, Aku telah tidur sangat lama setelah tumpukkan salju menerpaku, Jam dinding itu telah menjelaskannya padaku. Hanya saja yang tidak aku ketahui, Dimana aku sekarang?

"Kau sudah sadar?" Suara berat itu terdengar dari balik gorden putih yang melingkari tempat tidurku. Dan tidak lama dari itu seseorang terlihat dari sela gorden yang tak tertutup rapat. Seorang pria yang sepertinya berumur 40-an. Menatapku dari balik kaca matanya. Pria itu mendekatiku, Menyentuh keningku, Dan membantuku duduk. "Kenapa kau berlibur disaat tubuhmu seperti ini? Ini hanya akan memperpendek umurmu." Segelas minuman berwarna hitam pekat ia berikan padaku. "minum ini." Aku menatapnya bingung, kupikir sejenak perkataannya. Bagaimana dia bisa tahu itu? "aku ini seorang dokter." Sungut pria itu seakan bisa membaca pikiranku. "cepat minum, Itu minuman herbal." Ucapnya berusaha meyakinkanku. Ku hirup aromanya, Tidak terlalu buruk. Lantas aku langsung meneguk habis minuman itu. "kau dari Seoul?" aku mengangguk mengiyakan. "kapan kau akan kembali kesana?"

"4 hari lagi." jawabku pelan.

"Saran dariku. Segera pergi dari sini. Udara disini tidak cocok untuk tubuhmu. Hidupmu bisa saja berakhir disini. Bahkan 2 hari sudah terlalu panjang untuk sisa waktumu." sungguh, aku tidak suka mendengarnya. Tapi anehnya, aku malah tersenyum mendengar perkataannya. Mungkin karena aku sudah lebih dulu mengetahui itu. "atau jangan-jangan kau memang menginginkan itu?" aku mengangguk lemah dengan senyuman yang entah mengapa tak juga menghilang. Pria itu menatapku kasihan. "istirahatlah." pria itu hendak pergi.

"A-ahjussi." panggilku. Pria itu kembali menatapku.

"Waeyo?" Tanya pria itu dengan suara beratnya yang terdengar lembut.

"Apa kau yang membawaku kesini?" Tentu aku tidak mengetahui itu.

"Aniyo." Jawabnya santai sembari menggeleng pelan.

"Lalu?"

"Anak itu hanya membaringkanmu di tempat tidur lalu pergi begitu saja. Istirahatlah, Setelah itu kau bisa kembali ke penginapanmu."

"Ahjussi, Memangnya saat ini aku berada dimana?"

"Kau berada di klinikku. Tenang saja, Penginapanmu sangat dekat dari sini. Jika perlu, Aku yang akan menunjukkan jalannya padamu. Sudah, Istirahatlah." Gorden putih pun tertutup rapat seiring menghilangnya pria itu. Tepat ketika itu, baru aku sadari, pria yang aku panggil ahjussi itu sangat tampan. Pantas aku merasa nyaman ketika mengobrol dengannya.

--

--Author Pov--

"Dari mana saja kau?" Tanya Irene ketika mendapatkan kekasihnya melamun di balkon kamarnya.

"Bagaimana caranya kau bisa masuk kesini?" Kata Sehun tanpa menoleh dan terus menatap kedepan. Tepatnya mengamati klinik yang berada tidak jauh dari penginapan itu.

"Tidak sulit untukku mendapatkan kunci cadangan."

"Sebaiknya kau tidak sembarang masuk kamarku. Aku tidak ingin ada yang melihatnya." Ujarnya dengan dingin. Masih terus mengamati keadaan klinik.

"Hoh. Memangnya kenapa jika mereka melihatku masuk kekamarmu? Tidak lama lagi kita akan tunangan." Irene terlihat kesal, Tentu, itu karena Sehun tidak menghiraukannya. Sehun tidak juga melepaskan pandangannya dari klinik itu. "yak, kau tidak mendengarku?" Tidak juga menghiraukannya. "yak Oh Sehun! Apa yang sedang kau lihat!" Tepat disaat Irene mengikuti arah pandangannya, pintu klinik terbuka. Yoona keluar dari sana dengan langkah gontainya. Wajahnya masih sangat pucat. Melihat itu membuat Sehun berlari keluar dari kamarnya. "yak! Kau mau kemana?! "

--

--Yoona Pov -

Bukannya istirahat didalam kamar. Aku malah kembali duduk di taman yang tentunya sangat dingin dikarenakan baru saja diterjang air hujan. Tubuhku masih terasa meriang, Sepertinya aku tengah demam. Aku juga bersin beberapa kali. Tapi, apa ini? Saat ini aku tengah mencium aroma parfum, aroma yang sangat aku kenal, walau sudah 1 tahun lamanya, ya, Aku masih sangat mengenal aroma parfum ini. Lantas aku langsung bangkit lalu mencari asal aroma parfum itu. Tidak ada seorang pun disana.

Aku kembali duduk, sedikit merunduk guna memeluk pahaku. Menatap salju yang menutupi rerumputan. Kenangan itu kembali memenuhi memoriku. Kenanganku disaat masih bersamanya. Tak bisa kupercaya, aku bisa melakukan semua itu. Memutuskan hubunganku dengannya disaat aku masih sangat mencintainya. Tapi aku tidak bisa menyesali perbuatanku itu. Karena kini aku merasa tenang. Jika memang nantinya aku harus menghilang, kurasa dia tidak akan bersedih untukku.

Setetes darah mewarnai salju. Ketika itu juga pandanganku menjadi kabur. Dan tak berhenti disitu, darah terus menetes hingga membuat tubuhku seperti sedang diguncang gempa dengan skala tinggi. Aku langsung mendongakkan kepalaku. Kedua tanganku menggenggam kursi taman dengan erat. Aku mencoba bernafas dengan tenang-karena kini aku menjadi sulit bernafas. Kuraih kotak obat yang selalu kubawa didalam saku jaketku. Kutelan 3 pil sekaligus. Deru nafasku yang memburu perlahan kembali stabil. Setelah merasa sedikit baikkan, Dengan cepat aku masuk kedalam penginapan dan mencoba beristirahat dengan baik.

--

--Author Pov-

Tidak mendekat, hanya mengamati gadis itu dari jarak jauh. Sungguh, Sehun terlihat sangat mencemasi Yoona. Sulit untuknya menahan diri, Karena ia mengetahui kelemahan gadis itu. Yoona lemah akan udara dingin. Tubuh gadis itu tidak akan mampu menahan ekstrimnya udara di musim dingin. Ia juga sangat mengetahui itu, bahwa Yoona sangat mencintai musim dingin. Maka itu, akan sangat sulit untuknya melarang gadis itu dalam hal ini. Ditambah, kini dirinya bukanlah siapa-siapa bagi gadis itu. Tetapi disamping itu semua. Tentu ia tahu itu. Mengenai penyakit yang gadis itu derita. Dan juga mengenai sisa waktu gadis itu-setelah diam-diam menemui dokter pribadi Yoona-tepat sehari sebelum Yoona meminta mengakhiri hubungan mereka 1 tahun yang lalu.

Sejenak ia mengingat kembali kejadian setahun yang lalu itu. Hari dimana Yoona meminta mengakhiri hubungan mereka. Awalnya Sehun menolak. Dan terus menolak ketika Yoona tak henti-hentinya mengatakan itu. Tapi ketika ia menyadari alasan kuat dibalik permintaan gadis itu. Dengan sangat menyesal ia menyetujui itu, yaitu mengakhiri hubungan mereka. Dan ini adalah 1 tahun setelah sekian lama mereka tak bertemu.

Lalu mengapa Sehun tidak mempertahankan hubungan mereka dan tetap menemani Yoona di sisa hidup gadis itu? Karena ia ingin Yoona pergi dengan damai.

Yoona adalah gadis yang baik, Yang tidak ingin kepergiannya meninggalkan kesedihan bagi banyak orang, terutama Sehun. Pria yang sangat ia cintai.

Sejak berakhirnya hubungan itu, mereka benar-benar tidak pernah bertemu. Sehun memilih meninggalkan Korea karena tidak kuat untuk melihat wajah gadis itu, yang hingga kini masih sangat dicintainya. Dan 1 tahun setelah itu. Disaat ia sudah menyelesaikan pekerjaannya, ia putuskan untuk kembali ke Seoul. Ia sudah bisa menebak itu, gadis itu tidak pintar menjaga kesehatan tubuhnya. Bahkan di akhir hidupnya yang seharusnya ia pergunakan sebaik mungkin. Lalu mengenai Irene?

Benar bahwa ia tengah menjalin kasih dengan Irene. Sebelum itu ia juga tahu mengenai hubungan buruk antara Irene dan Yoona. Dan itu juga alasan terbesarnya memilih Irene untuk dijadikan kekasihnya. Dengan begitu Yoona akan berpikir bahwa dirinya sudah benar-benar melupakan gadis itu. Tapi, kenapa kini hatinya goyah tak tersentuh? Setelah membaringkan tubuh Yoona di klinik, melihat wajah pucat itu, tubuh yang kurus itu, dan wig yang gadis itu gunakan, tentu airmata tak terbendungkan. Penyesalan pun memburunya.

Sayangnya, ia tak bisa berlamaan disana dan memilih meninggalkan Yoona disana. Ia tidak boleh ketahuan dengan gadis itu. Seperti saat ini, hanya bisa menahan dirinya untuk tetap bersembunyi dibalik pohon. Melihat kepergian Yoona yang telah meninggalkan beberapa tetes darah di atas salju. Tak elak airmata kembali mengalir di wajah tampannya.

Sakit melihat penderitaan gadis itu. Dan yang lebih menyakitkan. Bahkan dirinya yang masih sangat mencintai gadis itu tak dapat berbuat apapun.

--

--Yoona Pov--

Aku terbangun dari tidurku dan mendapatkan tiga lapis selimut menimpaku. Melihat keberadaan Nana disampingku tentu aku bisa menebak ulah siapa itu. Kulihat Nana yang tengah tertidur lelap disampingku, tanpa selimut hingga meringkuk kedinginan. Sepertinya ia sudah merelakan semua selimut padaku. Segera ku singkirkan selimut dari tubuhku lalu aku pindahkan ke tubuh Nana.

Kupandangi langit kamarku. Sepi menemani waktuku. Kupilih untuk bangkit dari tidurku. Rasa pusing menyerangku, tapi masih bisa kuatasi.

Syukur tidak ada bekas darah di kamar tidur dan juga di kamar mandi. Aku sudah membersihkan semuanya sebelum Nana kembali ke kamar karena sedang rapat bersama rekanku lainnya. Ya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui mengenai keberadaan penyakit mematikan ini. Termasuk keluargaku. Ah, hanya dokter pribadiku yang mengetahuinya. Juga dokter klinik yang tadinya menolongku.

Aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikannya. Dan kurasa aku berhasil. Setelah merapikan wig-yang selalu aku gunakan-karena rambutku sudah habis tak tersisa, aku lekas keluar dari kamar.

Seperti biasa aku memilih duduk di taman. Dimalam hari taman akan tampak lebih indah. Berbagai macam lampu hias menyala pada malam hari. Malam yang gelap tersingkirkan dengan sinar lampu hingga membuat taman menjadi terang benderang. Kucoba untuk mengambil beberapa gambar. Bukan gambar diriku, tapi keindahan disana. Bibirku terus mengulaskan senyum. Dugg! Ada dia disana.

Ya, Sehun. Bukan niatku mengambil gambarnya, tapi kameraku terlanjur mencetak wajahnya-yang tepat ketika itu tengah melihat kearahku. Kontras aku mematung ditempat dan tak mampu bergerak sedikitpun.

"Tidak tidur?" dia menegurku! Tenggorokanku mendadak mengering. Oh tidak, jangan menghampiriku! "tidak bisa tidur?" dan dia sudah berdiri disampingku. Ingin sekali menjawab pertanyaannya, tapi entah mengapa aku merasa tercekat. Tak sekalipun melihat kearahnya, ku paksa mataku untuk tetap menatap lurus kedepan.

Hening. Cukup lama hingga aku dibuat penasaran olehnya. Penuh keberanian kucoba untuk meliriknya dengan ekor mataku. Dia tengah melihat kearahku!

"Kau pucat sekali." jantungku melemas. Rasa takut memburuku. Takut jika Sehun mengetahui mengenai penyakitku.

"Aku memang semakin putih." keluar begitu saja dari mulutku dan tak lagi meliriknya.

"Mau menemani aku berkeliling?" seharusnya aku menjawab tidak. Tapi tanpa ijinku, kepalaku mengangguk mengiyakan. Kulihat Sehun yang mulai melangkah, ragu-ragu aku mengikutinya dari samping. "kudengar kau sudah tak bekerja lagi." benar sekali. Dan kurasa Irene lah yang telah memberitahunya.

"Ne. Aku ikut kesini karena ingin menemani Nana." bohongku. Alasan sesungguhnya yaitu karena aku ingin bermain bersama Nana untuknya yang terakhir kali-sebelumnya aku sudah lebih dulu menghampiri keluargaku.

"Kenapa kau berhenti bekerja?" aku merasa pertanyaan Sehun terlalu menjebakku. Aku tidak sampai memikirkan alasan untuk pertanyaan semacam itu. "gwenchana?" tambahnya ketika melihat ekspresi gugupku. "dingin?" aku tidak suka ini. Aku tidak suka ia bertindak baik padaku. "jika kau merasa dingin, kembalilah kekamarmu. Aku bisa melanjutkan perjalananku sendiri." kesempatan bagiku. Tanpa mengatakan apapun aku langsung berbalik. "aa, tidak lama lagi aku akan bertunangan. Dan tidak lama dari itu kami akan melangsungkan pernikahan. Datanglah jika ada waktu." kali ini aku benar-benar tercekat. Mataku memanas. Dadaku terasa sesak bahkan sampai menimbulkan nyeri. Kugenggam kedua tanganku dengan erat. Kupaksa mataku untuk membalas tatapannya. Dengan penuh tenaga, kugerakkan mulutku untuk berkata.

"Sepertinya aku tidak bisa datang." berusaha untuk tidak melepas airmataku. "selamat untuk pernikahan kalian." setelah menatapnya sangat lama. Menikmati setiap garis di wajah itu. Dengan sangat berat hati aku pergi dari sana. Melangkah menjauh dengan wajah penuh derai airmata.

--

--Author Pov-

Dan airmata pun mengalir di wajah tampannya. Mengamati kepergian Yoona dalam diam. Setelah mengatakan kalimat menyakitkan itu, Sehun merasa sedikit lega. Dengan begitu Yoona akan merasa bahwa Sehun benar-benar sudah melupakannya. Drrrt! Ponselnya bergetar. Dilihatnya nama yang tertera di layar ponselnya. Semakin memancing kesedihannya.

"Ne omoni?" sapanya lembut.

"Apa kau sudah bertemu dengannya?" tanya wanita tua dari balik ponselnya. Wanita tua yang tak lain adalah ibu Yoona.

"Sudah omoni." berusaha agar terdengar tenang.

"Gomawoyo Sehun-a. Jongmal gomawoyo." lalu merintih sedih. Sehun kuatkan dirinya. Tak lama dari itu sambungan itu ia putuskan.

Dari ketidaktahuan Yoona. Sesungguhnya keluarganya, Sehun, bahkan Nana sahabatnya sudah mengetahui mengenai penyakitnya. Dan mereka sama-sama sepakat untuk merahasiakan itu. Walau Sehun dan Yoona sudah tak lagi berhubungan. Tapi dibelakang Yoona, Sehun masih berkomunikasi dengan orangtua gadis itu. Seperti yang baru saja terjadi. Sebelumnya Sehun sudah mengabari orangtua Yoona bahwa ia ikut ke Jeju. Walau beralasan untuk menemani Irene, tapi alasan sebenarnya agar ia bisa mengamati Yoona dari dekat.

--

--Yoona Pov-

Ada apa dengan tubuhku? Kenapa terlalu sulit untuk aku gerakkan? Seluruh tubuhku terasa meriang hingga keringat dingin membasahi telapak tangan dan keningku. Oo? Sepertinya aku demam lagi. Segera kulirik tempat tidur disampingku. Kosong. Syukurlah Nana tidak ada dikamar. Gorden kamar juga sudah terbuka, memperlihatkan langit yang cerah tanpa kepingan salju diudara. Aku tidak mungkin menyerah begitu saja, ku paksa tubuhku untuk duduk lalu kuraih kotak obatku yang syukurnya masih berada didalam saku jaketku.

Kutelan sebanyak mungkin. Dengan tangan gemetar kuraih segelas air minum yang ada di atas meja disamping tempat tidur. Mencoba bernafas setenang mungkin. Ku seka keringat dengan tisu. Menggunakan sedikit lipstik untuk menutupi bibir pucatku. Setelah merapikan wig yang aku kenakan, dengan penuh tenaga aku melangkah keluar.

Ternyata rekan-rekanku tengah berkumpul di halaman di depan penginapan. Duduk bersama seraya berbincang, dengan minuman hangat yang terlihat masih mengepulkan uapnya. Satu hal yang kurasakan ketika kakiku menginjak rerumputan yang berbalut salju itu. Tubuhku seperti kehilangan kendali, aku nyaris terjatuh. Kebetulan sekali ada seseorang yang lewat disampingku dan segera kujadikan pegangan. Dugg!

"Perhatikan langkahmu." kata Sehun. Segera aku melangkah menjauh darinya. Ikut bergabung dengan teman-temanku-termasuk Irene dan Sehun. Nana menyambutku dengan riang. Ia memberikanku segelas teh gingseng yang langsung aku nikmati perlahan.

"Semuanya, ada yang ingin aku katakan." seru Irene dengan semangat. Dari jauh saja dapat kulihat tangan Irene yang tengah menggenggam tangan Sehun. "tidak lama lagi kami akan tunangan, dan beberapa hari setelah itu kami akan melangsungkan pernikahan." aku hanya bisa tersenyum mendengar itu. Sepertinya sudah tidak ada lagi yang aku risaukan. Sehun terlihat bahagia. Walau wanita pilihannya adalah Irene, musuhku yang entah mengapa tidak pernah baik terhadapku-padahal aku tidak pernah berbuat salah padanya-tapi asalkan Sehun bahagia, aku pasti ikut berbahagia.

"Oo? Darah!" teriak Irene melotot kearahku. Kini tak hanya Irene, tapi semua yang ada disana sudah menatapku kasihan. Kulihat jaket dan celanaku yang sudah berlumuran darah.

"Pakai ini." kata Nana yang sudah menutupi hidungku dengan tisu. Aku merasa aneh melihat sikapnya, bukankah itu terlalu santai? berbeda dengan rekan-rekanku yang lainnya, mereka tampak shock. Bagaimana tidak, darah yang keluar bagaikan air keran. Sehun pergi. Ya, dia melangkah pergi. Padahal aku sedang ingin melihat wajah tampannya-walau hanya dari lirikkan sembunyi-sembunyiku.

"Aku kembali kekamar saja. Sepertinya aku sedang kurang sehat. Haha.." tawaku sama sekali tak berguna. Mereka tetap saja menatapku terkejut penuh kasihan. Kali ini Nana juga pergi, melangkah menjauh dariku. Tidak terlalu kupikirkan. Aku berhasil berdiri, tapi tidak dengan melangkah. Kakiku gemetaran dan pandanganku mengabur. Ada apa ini? Mengapa tubuhku begini? Kumohon jangan sekarang. Mataku sudah memanas dan kuyakin airmata sudah mengalir di wajahku. Aku takut. Tidak bisa, setidaknya aku harus berhasil melangkah hingga tiba di kamar. Kupaksa kakiku untuk bergerak. Brukk! Aku tersungkur.

--

--Author Pov-

Dibelakang pohon yang besar ia berdiri gelisah. Mengamati tubuh Yoona dari kejauhan. Bibirnya bergetar menahan tangis. Dilihatnya tubuh itu tersungkur, Sehun reflek hendak berlari kesana. Tapi seseorang menahan tangannya. Nana sudah berada disampingnya. Menggeleng padanya dengan airmata yang sudah tumpah tak tertahan di wajahnya.

"Keberadaan kita hanya akan membuatnya sedih." kata Nana dengan deraian airmatanya. Dapat mereka lihat tubuh Yoona yang tengah di gendong dengan rekan mereka. Penuh pertahanan, Sehun dan Nana memilih untuk tetap berada disana.

Salah seorang rekan mereka terlihat berlari keluar dari penginapan. Dan tidak lama dari itu kembali dengan seorang pria yang tentunya Sehun kenal-pria itu dokter yang ada di klinik. Nana semakin gelisah begitu juga dengan Sehun.

Langkah gusar mereka tercetak kacau di jalanan yang tertutupi salju. Nana masih dengan deraian airmatanya, dan Sehun masih berusaha menahan airmatanya. Deru nafas mereka tak beraturan, terlalu gugup dan terlalu takut.

Drrrt! Ponsel keduanya sama-sama bergetar. dan sedetik dari itu keduanya saling tatap. Ternyata panggilan itu dari keluarga Yoona. Sehun menggeleng, memberitahu kepada Nana bahwa sekarang bukan saatnya. Mereka masukkan kembali ponsel itu kedalam saku masing-masing.

Drrrt! Dan kali ini ponsel Sehun yang kembali bergetar. Dari Irene! Kegugupan memburunya. Dengan ragu ia terima panggilan itu.

"Yak, eodiya!" teriak Irene. Dari suaranya sepertinya Irene seperti tengah menangis. "cepat kesini!" suaranya keras tapi terdengar lemah.

"Waeyo?" masih menahan dirinya. Rahangnya mengeras menahan kesedihan.

"Eonni, Eonni," Irene mendesah lemah. "ia sudah tiada." tubuh Sehun membeku dengan airmata yang kini sukses mengalir bebas di wajahnya. Dialihkannya pandangannya ke gedung penginapan.

"Yoong-a.." gumamnya dengan suaranya yang bergetar akibat tangis. Nana terdiam sejenak melihat sikapnya. Airmata di wajah Sehun membuat sekujur tubuhnya melemah.

"Seolma.." ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Isak tangisnya mulai terdengar. Masih sangat lemah, ia langkahkan kakinya menuju penginapan. "Yoong-a.." bisiknya di sepanjang langkahnya. Kakinya menyeret di salju hingga meninggalkan bekas di sepanjang langkahnya.

Isak tangis mengiringi langkahnya. Masuk kedalam penginapan, menaiki anak tangga hingga akhirnya melihat pintu kamarnya yang terbuka lebar.

Kamar itu dipenuhi dengan rekan-rekannya, yang sama sepertinya, penuh dengan deraian airmata. Kakinya bergetar ketika melangkah masuk. Hingga akhirnya tiba disamping tempat tidur, Nana tersungkur di lantai dengan isak tangisnya yang pecah tak tertahan. Yoona sudah menutup mata.

Sehun masih saja berdiri di luar sana. Terlalu takut untuk melihat langsung. Lebih tepatnya terlalu takut untuk melepas kepergian Yoona. Dengan tangannya yang bergetar pelan, ia coba untuk menghubungi keluarga Yoona. Sama sepertinya, bahkan lebih parah darinya. Mereka berteriak histeris dengan isak tangis. Diakhir itu, ibu Yoona berkata padanya.

"Sehun-a, terimakasih banyak atas semuanya. Kau sudah menjaganya sampai akhir hidupnya." terisak sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "gomawoyo Sehun-a.." langsung Sehun putuskan panggilan itu.

Ia lempar ponselnya ke tumpukkan salju dengan geram. Mengacak rambutnya dengan kesal. Nafasnya terus memburu saking gelisahnya. Terlalu sulit untuknya menerima kenyataan itu.

"Yak.." tegur Irene yang tengah mengambil ponselnya dari tumpukkan salju. "bukankah sebaiknya kau masuk kedalam?" dan memasukkan ponselnya kedalam saku jaketnya. "dan kembalikan ini padanya." sebuah kalung ia berikan kepada Sehun. "eonni yang berikan ini padaku." tapi Sehun hanya diam mengamati kalung itu-kalung milik Yoona yang dulunya ia berikan di hari pertama mereka jadian. Ia tidak menyangka Yoona masih memiliki kalung itu. "jadi ini alasanmu mendekatiku? Hah." menyeka airmatanya dengan kesal. "yak, aku memang tidak pernah bersikap baik padanya. Tapi bukan berarti aku membencinya. Kau membuatku tampak mengerikan dimatanya! Merebut kekasihnya? Aku tidak mungkin melakukan itu jika aku mengetahui kebenarannya! Lalu bagaimana sekarang? Dia pergi tanpa memberiku waktu untuk meminta maaf." terisak penuh penyesalan lalu meninggalkan Sehun disana.

Bukan masksud Sehun memperlakukan Irene seperti itu. Ketika itu yang ia pikirkan hanya cara terbaik untuk membuat Yoona merasa tenang. Dan sepertinya caranya berhasil. Semoga benar-benar berhasil. Yoona memang telah meninggalkannya untuk selamanya. Tapi yang jelas, cintanya juga akan selamanya untuk Yoona. Gadis itu tidak akan pernah tergantikan.

--The End-

avataravatar