1 Prolog

Kembang api menyala. Lampu-lampu tumbler yang terlilit di pepohonan pun menyertai. Lilin di kue coklat itu terbakar. Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Jam 12 malam lagu happy birthday dinyanyikan menambah kesan sweet yang begitu dalam.

Namaku Camella Agmoss. Anak pertama dari pasangan seorang penjahit dan pemilik usaha laudry, tapi itu dulu...sebelum ayahku pergi meninggalkan keluarga ini dan aku tumbuh menjadi seorang letnan kepolisian.

Terlepas dari kepribadianku, malam ini aku sedang merayakan ulang tahun Clara-adik satu-satunya yang sangat bawel dan ceria. Aku merayakan pesta kecil ini hanya bersama orang-orang terdekat saja. Tidak apa sedikit yang penting kebersamaan selalu mengalir.

Setelah membagikan kue dan pengucapan selamat, kini aku berjalan menuju teras rumah dimana Rangga-sahabatku sejak kecil sedang menerima telefon. Prihal Rangga...dia sudah aku anggap sebagai keluarga. Ia beserta adiknya yang sepantaran dengan Clara sangat sering berkunjung bahkan ibu sampai menganggapnya seorang anak.

"Dari Viola?" tanyaku ketika Rangga berjalan mendekat setelah selesai dengan kegiatan bertelefonnya.

"Hm...dia menanyakan keberadaanku.."

"Lalu kau berkata jujur?"

Rangga mengangguk pelan. "Masalah kecil...aku tidak akan membohonginya.."

Aku mendesah berat. "Besok sepertinya aku akan mendapat bencana karena menghabiskan malam ini dengan pacar seseorang..."

Terdengar Rangga tertawa kecil. "Pacarku sangat imut kan?"

"Selalu mengintimidasiku dan mengorek-ngorek hubungan persahabatan kita dengan dingin, itu yang kau sebut imut?" tanyaku sedikit menyindir.

"Ayolah El.." Rangga menepuk bahuku beberapa kali. "Kira-kira kapan aku bisa melihat kalian berdua damai? Minimal berbicara layaknya sesama perempuan"

"Oke...baiklah...kemari kau" perintahku membuat Rangga semakin mendekat.

Aku langsung mengeluarkan ponsel, merangkul dekat bahu Rangga sembari mengabadikan jepretan gambar itu tiba-tiba. Tentu saja Rangga tidak akan protes...ia pasti tahu apa yang akan aku lakukan saat ini.

"Kalau dalam satu menit tidak ada protesan dari Viola...aku akan mencoba berteman baik dengannya" ujarku setelah mengupload foto bersama Rangga disebuah akun media sosial.

Mataku dan mata Rangga terus menatap layar ponsel yang diam tak berdering. Sejujurnya aku sedikit gelisah..sudah ke detik 35 tapi belum ada notifikasi apapun disana. Sampai akhirnya...

Tring!

Aku mengulas senyum merekah ketika nama Viola muncul menelefon. "Sepertinya aku memang tidak akan bisa berdamai dengan pacarmu, Ga!" ujarku sinis lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Hal--"

"Hapus fotomu dengan pacarku!" ujar Viola menyela sapaan dariku.

"Untuk apa? Sejak kecil kami berdua sering berfoto bersama..."

"Aku pacarnya!"

"Iya aku tahu...lalu?"

"Tidak ada yang boleh berfoto dengannya kecuali aku..."

"Ck," aku langsung menutup sambungan telefon itu setelah berdecak enggan. Begitulah Viola...manja dan sangat posesif terhadap sahabatku.

Menghela napas panjang, aku menatap langit yang penuh dengan taburan bintang malam ini. Udara yang membelai kulitku pun tidak terlalu kencang membuat kenyamanan yang sejak seminggu ini aku butuhkan.

Aku menoleh menatap Rangga yang memijat pangkal hidung terlihat sedikit lesu. "Kau kenapa?" tanyaku.

"Dua hari lagi sidang...dan aku masih belum yakin dengan keputusan yang telah aku ambil" ujarnya dengan nada putus asa.

"Sidang? Kasus pembunuhan berencana minggu lalu?"

Rangga mengangguk sebagai balasan. Oh tentang kasus itu...Rangga sempat bercerita tentang kasus tersebut. Ia juga bekerja sama dengan kepolisian namun saat itu aku sedang cuti, jadi tidak bisa membantunya mengurus masalah ini.

Aku memakluminya jika sampai sefrustasi ini. Karena sebagai seorang jaksa yang baik harus bisa menentukan mana yang benar dan yang salah...dalam menentukan tersebut pun tidak semudah membalikan telapak tangan, harus melalui pengusutan dan sebagainya.

"Besok aku akan membantumu...kirimkan TKP pembunuhan itu dan aku akan sedikit mengusutnya"

Rangga menggeleng pelan, apa dia tidak mau dibantu? Aneh sekali.

"Di TKP tidak ada apapun yang menguatkan tragedi sebenarnya...seolah jika itu benar-benar pembunuhan berencana si pelaku sudah membereskan semua barang bukti yang ada" ucap Rangga.

"Sedikit menyusahkan memang jika sang pelaku mempunyai otak yang cemerlang..." balasku mengenang masalah-masalah yang pernah aku tangani sebelumnya.

Aku mengamati Rangga yang merogoh saku jaket mengeluarkan sebuah kartu hitam lalu menerawangnya ke atas langit. "Aku menemukan ini di lift apartemen kejadian...coba kau lihat"

Aku menerima kartu tersebut dengan penasaran. "Mr.X Afdyson Company? AC?"

"Kau tau AC?"

Aku mengangguk masih dalam pengamatan nama tersebut. "Perusahaan ekspor impor...rekanku pernah menangai kasus didaerah perusahaan tersebut. Oh, Ga! Siapa tahu ada hubungannya AC dengan kasus pembunuhan itu!"

"Mungkin. Aku sudah mengunjungi perusahaan tersebut...tapi daerahnya sangat tertutup. Bahkan satpam yang berjaga didaerah sana sampai meminta surat-surat agar bisa ke AC..."

"CAMELLA! RANGGA! MASUKLAH...AYO KITA MAKAN!" Teriak ibuku dari jendela ruang tamu.

Untung saja rumahku sedikit berjarak dari rumah tetangga-tetangga. Jadi, teriakan ibuku tidak terlalu menganggu mereka yang sedang beristirahat melepas penatnya menjalani hari-hari.

Puk!

Aku menepuk lengan Rangga pelan. "Sudahlah...kita pikirkan lagi besok. Aku janji akan membantumu...tapi tidak bisa membantu total ya? Sepertinya besok aku juga menerima kasus baru..."

"Terima kasih letnan Ella.." ujar Rangga bermaksud untuk bergurau.

"Terima kasih kembali Jaksa Rangga" balasku mulai beranjak menuju rumah diekori Rangga yang kembali fokus pada layar ponsel.

avataravatar
Next chapter