7 Mutiara Kasih

"Damian?" Hendrik memanggil Damian yang termenung di ruang kerjanya.

Damian mengangkat kepalanya. Dia menatap Hendrik sekilas dan kembali termenung.

"Ada yang kau pikirkan?" tanya Hendrik lagi. Hendrik hapal bagaimana Damian. Mereka besar bersama-sama. Berkawan sejak bayi. Hendrik adalah anak dari tangan kanan kepercayaan David Aberte.

"Akan kukembalikan Tara ke Indonesia."

Ucapan itu membuat Hendrik menatap serius Damian. "apa kau yakin? Kau harus ingat, Tara masih koma."

Damian mengangguk. Dia sudah memikirkan matang-matang hal itu. Dia tidak ingin nyawa Tara dalam bahaya lagi. Sudah cukup Tara yang terbaring koma sudah hampir satu bulan. Luka tembak itu mengenai alat vital Tara. Yang membuat gadisnya itu tidak sadarkan diri. Tara harus menjalani operasi besar untuk mengeluarkan peluru yang mengenai lambungnya. Beruntung gadisnya itu masih dapat tertolong walau harus dirawat secara intensif.

"Kau tega?" tanya Hendrik lagi.

Hendrik tahu bahwa Damian sangat jatuh cinta pada Tara. Wanita itu yang pertama membuat Damian memiliki nyawa. Jika Damian memilih untuk menyingkirkan Tara, Hendrik yakin, Damian akan kembali pada sifat asalnya. Dingin, kejam dan penuh dendam.

"Akan kukatakan siapa aku sebenarnya pada Tara saat dia sadar nanti. Dengan begitu, mudah bagiku untuk mengembalikan dia ke Indonesia."

"Damian—"

"Aku tidak ingin Tara terlibat bahaya." Sela Damian. Tatapannya mendung seakan beban berat menggayuti pundaknya. "Aku ingin Tara hidup. Itu lebih mudah bagiku walau aku harus jauh darinya. Setidaknya, Tara masih bernafas."

"Oke."

Damian menghela nafas. Diteguknya anggur yang berada dalam gelas kristalnya. Dia benar-benar harus meredupkan cahayanya. Tara terlalu berharga untuk berada di sisinya. Dia tidak ingin Tara mendapatkan luka lagi jika bersama dengannya. Sebelumnya dia ingin Tara tetap tinggal, kini dia ingin Tara meninggalkannya.

Damian meletakkan gelas kristalnya kemudian dibukanya kembali kertas-kertas yang ada di mejanya sementara Hendrik duduk di kursi di depannya. Sudah begitu lama dia tidak memeriksa berkas-berkasnya.

"Bisnis kita mengalami kelonjakan." Gumam Damian. Dilihatnya angka-angka yang berderet di kertasnya. "Oiya, apa kau sudah mengetahui siapa yang berani melukai Tara?"

Hendrik menjentikkan jarinya teringat sesuatu. "Aku datang ke sini mau memberikan ini padamu, Damian." Ucapnya lalu melemparkan selembar foto dari saku kemejanya.

Damian memerhatikan foto itu. "Ini Mario Storm, bukan?"

Hendrik mengangguk. Dia memberikan pada Damian ponselnya. Ponsel Hendrik memutar sebuah video rekaman penyiksaan seorang pria bertubuh besar. Dalam rekaman itu terlihat Hendrik menendang dan memukul tawanannya.

"Katakan!" bentak Hendrik dalam rekaman itu.

Darah mengalir dari hidung tawanannya. "Aku diperintahkan Mario Storm untuk menghancurkan Damian Aberte."

Kemudian kepala tawanannya berlubang diiringi suara tembakan.

Damian memberikan ponsel Hendrik kembali. Dia menatap Hendrik tajam. "Mario Storm akan membayar atas tindakannya. Aku yang akan melakukannya sendiri." Ucap Damian kejam. Damian membuka laci mejanya, dikeluarkankannya senapan bidik laras panjang. Diusapnya senjata itu. "Aku akan membunuhnya. Siapapun yang menggangguku atau orang terdekatku, kupastikan dia tidak akan bernyawa di tanganku."

***

Damian mengintai Mario dari mobil van jenazah yang dia bawa. Dengan mobil itu, Mario tidak akan menyadari bahwa dia sedang diintai. Mario sedang berada disebuah restoran makan tepat di seberang mobil van yang dia parkir. Damian sudah mengintai Mario berhari-hari. Mario yang gesit dan sulit ditangkap itu membuat Damian geram.

Damian menyeringai. Dia mulai mengeluarkan senjata bidiknya dan mulai membidik Mario tepat di kepalanya. Suasana pagi yang sepi membuat Damian tidak perlu repot-repot menuju gedung tinggi. Namun begitu, dia tidak peduli jika ada orang lain terluka pagi ini asalkan Mario Storm mati di tangannya.

Tangan Damian mulai menuju pelatuk. Siap menarik pelatuknya namun diurungkan ketika Mario dihalangi oleh seorang wanita. Wanita itu duduk dipangkuan Mario dan mulai bercumbu. Damian berdecak, mulai menunggu lagi.

Kemudian ada seorang pria menghampiri Mario. Menghentikan aksi cumbu Mario. Pria tersebut membisikkan sesuatu yang membuat Mario menatap tepat pada mobil van yang di bawa Damian.

"Sialan!" Damian mengutuk keras kemudian melajukan mobilnya lagi. Aksinya batal lagi. Dia tidak dapat membunuh Mario. Namun begitu, dia tidak akan berhenti hingga kepala Mario berlubang oleh senapannya. "Mario sialan! Akan kubunuh kau nanti!"

***

Damian memilih untuk menjenguk Tara setelah sebelumnya dia menukar mobil van itu dengan mobil pribadinya. Sudah beberapa hari Damian tidak menjenguk Tara. Itu dia lakukan hanya demi mempersiapkan dirinya jika dia harus berpisah dengan Tara. Namun langkah itu tidak ampuh. Dia kali ini sangat merindukan Tara. Ingin menyentuh gadisnya.

Damian mempercepat langkahnya di lorong-orong rumah sakit yang pada siang itu ramai seperti biasa. Setengah berlari Damian menuju ruang perawatan VIP Tara. Dibukanya terburu-buru pintu perawatan Tara. Berharap Tara membuka mata.

"Sayang?" panggil Damian namun sejurus kemudian Damian terdiam. Tara masih dalam posisi seperti semula. Diam tidak bergerak.

Damian memasuki kamar perawatan Tara. Disentuhnya ujung kaki Tara yang tertutup seimut rumah sakit. Tangannya bergerak mengusap kaki Tara kemudian bergerak menuju lengan Tara. Mesin pendeteksi jantung berbunyi lemah.

"Tara." Bisik Damian.

Disentuhnya pipi Tara yang menurut Damian terasa sedikit hangat. Damian merogoh saku celana panjang yang dipakainya kemudian mengeluarkan jam tangan merek Rolex. Damian mengangkat tangan Tara kemudian memakaikan jam tangan itu dipergelangan tangan Tara. Diperhatikan jam tangan Rolex itu dengan senyum menghiasi wajahnya. "Cocok sekali." Gumam Damian.

Ditatapnya Tara penuh kasih. "Maafkan aku jika aku harus meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini." Bisik Damian. Mata pria itu berkaca-kaca. Damian yang tidak pernah menangis, dua kali menangisi Tara. Sejak kecil, Damian telah dididik oleh David Aberte untuk menjadi pria tangguh yang tidak takut pada siapapun agar dapat mewarisi kerajaan mafia yang telah dibangun turun temurun oleh kartel Aberte. "Kau telah berhasil meruntuhkan pertahananku. Dan kali ini, aku akan membangun kembali runtuhan itu." Ucapnya.

Damian mengeluarkan ponsel dari balik jaket kulit yang dikenakannya. Dihubunginya seseorang. "Halo, Max?"

"Ya, Bos?" jawab Max.

"Sudah kau siapkan apa yang kuminta?"

"Sudah, Bos." Jawab Max lagi.

Tanpa mengatakan apapun lagi, Damian menutup teleponnya. Bersamaan dengan itu, seorang dokter muncul.

"Tuan," sapa dokter tersebut. Dipandangnya Damian.

Damian menatap tajam dokter pria itu. "Jadi?" tanya Damian.

"Kondisi pasien sudah siap untuk diterbangkan ke Indonesia dan kami sudah menyiapkan semua peralatan yang menunjang pasien selama berada dalam pesawat."

Damian mengangguk.

"Damian?!" Hendrik masuk ke dalam ruang perawatan Tara dengan tatapan heran. "Kukira kau akan memulangkan Tara setelah dia sadar?"

Damian menatap Tara sekilas. "Tidak. Aku berubah pikiran. Lebih cepat, lebih baik."

Hendrik berusaha menyembunyikan kekecewaannya pada sikap Damian namun dia tidak ingin mengutarakannya pada sahabatnya itu. Damian telah memutuskan dan tidak akan ada yang bisa mengganggu gugatnya.

"Dia akan aman di Indonesia." Sambung Damian lagi. Damian menepuk bahu dokter yang berdiri di hadapannya. "Terima kasih, Dokter. Sumbanganku di rumah sakit ini akan kutambah asalkan kau tidak mengatakan pada siapapun di mana wanita ini kami pulangkan."

Dokter yang merupakan pemilik rumah sakit itu mengangguk mantap. Asalkan Damian menyumbang lebih banyak lagi untuk kesejahteraan rumah sakitnya, dia akan mengikuti perintah Damian.

Damian kembali mengusap kepala Tara. Diperhatikannya air mata Tara menetes. Damian mencium kedua belah mata Tara yang tertutup. Didekatkannya bibirnya di telinga Tara kemudian berbisik pelan, "aku membencimu seumur hidupku. Aku tidak ingin melihatmu lagi."

Air mata mengalir dari kedua mata Tara yang tertutup seolah Tara mengetahui apa yang dikatakan Damian.

"Pergilah dari hidupku." Bisik Damian lagi. Kedua mata Damian memanas. Bibirnya mulai bergetar. "Jangan pernah mencariku setelah aku membuangmu."Damian mencoba mengancam Tara.

Ucapan itu terdengar sangat menyakitkan bagi siapapun yang pasti mendengarkannya. Setelah membisikkan kalimat itu, Damian memberikan kode pada Hendrik dan dokter yang merawat Tara untuk membawa gadis itu pergi.

Tidak lama kemudian beberapa perawat datang. Membantu mengemasi semua peralatan Tara kemudian mendorong tempat tidur Tara dan membawanya keluar dari ruang perawatan tersebut. Sementara Damian memilih untuk menatap suasana kota Paris dari jendela rumah sakit. Kedua tangan Damian terkepal di sisi tubuhnya.

Ruang sudah kosong. Damian memejamkan matanya erat-erat. Dihela nafasnya panjang. Dadanya terasa sangat sakit. "Aku tidak pernah membencimu, Tara. Seumur hidupku, hanya kau yang ada di hatiku dan tidak akan ada yang dapat menggantikanmu." Ucapan itu terlontar dari bibir Damian dengan gemetar menahan segala emosi seiring dengan mobil ambulan yang membawa Tara menjauh menuju bandar udara. Sirine mobil itu terdengar hingga Damian jatuh berlutut. "Selamat tinggal, Mutiara Kasih. Cintaku."

***

Hendrik mengulurkan tangannya pada dokter yang sedang memerhatikan Tara yang dimasukkan ke dalam pesawat jet milik Damian.

"Terima kasih untuk tidak mengatakan pada Damian bahwa Tara hamil." Ucap Hendrik.

Dokter mengangguk.

"Bagaimana kondisi kehamilan Tara?" Tanya Hendrik lagi.

"Kondisi janin pasien baik. Janinnya kuat. Sekuat ayahnya kurasa." Jawab Dokter yang diangguki oleh Hendrik.

Tara hamil yang menurut prediksi dokter sudah berjalan empat minggu. Hendrik mengetahuinya terlebih dahulu dan meminta dokter untuk tidak mengatakan pada Damian. Sebelumnya Hendrik berharap kehamilan Tara akan membuat Damian mengurungkan niatnya memulangkan Tara setalah gadis itu sadar. Namun keputusan mengejutkan Damian tadi membuat Hendrik mengurungkan niatnya untuk mengatakan hal gembira itu.

"Mengapa harus dirahasiakan, Tuan?" tanya dokter. "Bukankah itu adalah kabar gembira?"

Hendrik menggeleng. "Biarkan Tara yang memutuskannya nanti. Saya sudah menyertakan nomor ponsel Damian di ponsel Tara dan sudah saya tulis surat untuk Tara ketika dia sadar nanti."

Hendrik sudah memikirkannya dengan matang. Dia sudah menyiapkan beberapa uang untuk Tara. Tara akan dirawat oleh ayahnya sesuai dengan permintaan Damian.

Hendrik sudah mencari info mengenai keluarganya Tara. Ayah Tara merupakan seorang pekerja harian lepas yang sudah menikah lagi dan memiliki satu orang anak laki-laki berusia dua belas tahun. Kehidupan Ayah Tara jauh dari kemewahan. Berbanding terbalik dengan kehidupan Ibunya Tara yang mewah. Sudah menikah dengan pengusaha kaya.

Damian memilih untuk meminta Ayahnya Tara mengurusi Tara dan keluarga Ayahnya Tara sangat terbuka. Sangat setuju Tara dirawat oleh mereka. Biaya akan ditanggung oleh Damian selama Tara dalam keadaan koma.

***

avataravatar
Next chapter