9 Luka Hati

Tara sudah memutuskan. Dia tidak akan pernah mencari Damian atau meminta pertanggung jawaban dari pria itu. Tara sudah yakin jika dia mendatangi Damian dan mengatakan mengenai kehamilannya, Damian akan meminta dia menggugurkannya. Dia tidak ingin itu terjadi.

Tara menatap Ibu tirinya dan Ayahnya. Diremas kedua tangannya kemudian menunduk. "Tara minta maaf, Ayah, Ibu." Bisiknya. Dia tahu, apa yang dia lakukan bersama Damian di atas ranjang tanpa ikatan pernikahan adalah dosa besar.

Terdengar helaan nafas Ayahnya. "Sudah terjadi. Enggak akan bisa dikembalikan lagi, Tara." Ucap Ayahnya.

Tara memutuskan untuk mengatakan kehamilannya pada Ayahnya dan juga pada Ibu tirinya. Dia tidak ingin menyimpan rahasia itu lebih lama lagi. Walaupun dirahasiakan, suatu saat nanti pasti akan ketahuan juga.

"Siapa yang hamili Kak Tara?" tanya Tio. Tatapan Tio tidak suka.

Tara menelan ludahnya dan memilih diam.

"Apa orang sama yang membawa pulang Kakak dikeadaan koma?" tanya Tio lagi. Menuntut jawaban Tara.

Tara akhirnya mengangguk.

"Damian?" bisik Ayahnya.

Tara mengangguk lagi.

"Brengsek!" Maki Tio menggebrak meja yang membuat ibunya terkejut.

"Tio." Peringat Ibunya. "Tenang."

Tio menatap Ibunya kesal. "Laki-laki itu sudah buat Kak Tara Hamil, Bu." Tio menunjuk Tara yang duduk di hadapannya, "Dia harusnya tanggung jawab, bukannya malah mengembalikan Kak Tara dalam keadaan koma. Hati nuraninya terbuat dari apa memangnya?" Kenyataan bahwa dia memiliki Kakak perempuan membuatnya ingin melindungi Kakaknya. Tara yang datang dalam keadaan tidak sadarkan diri itu membuat Tio merasa iba. Kasihan pada kehidupan Kakaknya ketika Ayahnya mengatakan kisah Tara padanya.

Ucapan Tio membuat Tara menangis. Ucapan Tio seolah-olah mengisyaratkan bahwa Damian sudah tahu kehamilan Tara, dan Damian tidak ingin bertanggung jawab. Luka hatinya bertambah parah membayangkan itu.

Tara mendongak. Ditatapnya Adiknya itu dengan air mata mengalir. "Maafkan Kakak, Yo." Bisik Tara.

"Kakak enggak salah." Geleng Tio. "Yang salah si brengsek itu, Kak."

Tara menatap ketiga orang yang duduk di hadapannya. Diremasnya ujung keliman baju yang dipakainya. "saya mau besarkan anak ini. Saya enggak akan minta dia bertanggung jawab."

Ucapan itu membuat Adiknya terkejut namun tidak dengan orangtuanya. Mereka seolah tahu pasti itulah keputusan Tara.

"Kak!" Tio hendak protes namun Ibunya menarik lengan Tio. Meminta anaknya itu diam.

"Tara sudah punya keputusan, Yo. Kita harus hargai." Ucap Ibunya.

"Ya, jika itu yang Tara mau, Ayah dan Ibu hanya mendukung." Jawab Ayahnya.

Tara tersenyum. Diseka air matanya dengan punggung tangan kanannya. Tara yakin, kehidupannya kali ini akan jauh dari hal menyakitkan.

***

Tara sedang menikmati sore hari yang tenang bersama Ayahnya. Ibunya dan Tio sedang ke pasar untuk membeli beberapa persediaan makanan.

"Apa yang mau kamu lakukan selanjutnya, Tara?" tanya Ayahnya seraya meminum tehnya.

Tara mengusap perutnya. Kehamilannya masuk bulan keempat. "Entahlah, Yah. Kerja sepertinya enggak mungkin." Gumam Tara. Uang pemberian Hendrik mau tidak mau harus Tara pakai. "Tapi aku mau berusaha dulu."

Ayah menatap Tara. "Di luar negeri kamu kerja apa?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Tara tersenyum. "Penyiar radio."

"Mungkin kamu bisa menjadi penyiar radio di sini, Tara."

Tara mengangguk semangat. Dia akan mencoba melamar pekerjaan menjadi penyiar radio. Mungkin dengan pengalamannya menjadi penyiar radio, dia bisa mudah mendapatkan pekerjaan. Senyum tidak lepas dari bibir Tara. Dia akan meminta bantuan Lucia lagi kali ini. Tara berdoa semoga Lucia dapat membantunya membuat surat pengalaman bekerja.

"Tara."

Panggilan Ayahnya membuat Tara menatap Ayah. Ayah memberikan Tara sebuah jam tangan dengan merek terkenal. Rolex. Dengan bingung, Tara menerima jam tangan mahal itu.

"Ini punya Ayah?" Tanya Tara memerhatikan jam tangan yang berada di tangannya. Jam tangan mewah yang Tara tidak akan bisa membelinya.

"Itu hadiah dari teman Ayah." Jawab Ayah.

Tara hendak memberikan kembali jam tangan tersebut namun ditolak. "Buat Tara."

"Hah?" Tara mulai tidak mengerti.

"Kado dari teman Ayah buat Tara. Katanya kado selamat datang di Indonesia."

Tara tersenyum. Dia masih memandang jam tangan itu. "Siapa teman Ayah?"

"Tara enggak akan kenal. Teman kerja."

Tara mengangguk. Dipakainya jam tangan itu di tangannya. Bunyi 'klik' dari jam tangan tersebut membuat Tara mengernyit. Dipandang Ayahnya yang ikut memerhatikan jam tangan tersebut.

"Ayah dengar, enggak? Bunyi 'klik' tadi?"

Ayah mengangguk. "Mungkin memang begitu. Itu 'kan jam tangan mahal."

Tara memerhatikan jam tangan yang kini melingkar dipergelangan tangannya. "Jamnya bagus." gumam Tara. "Sampaikan terima kasih buat teman Ayah. Bilang kalau aku suka."

"Akan Ayah sampaikan." Ayah tertawa namun sejurus kemudian dia berubah serius. "Tetapi jangan bilang sama Ibu atau Adik kamu. bilang saja itu jam tanganmu. Ya?"

"Kenapa, Yah?" Tara menatap Ayah heran. "Mereka enggak tau?"

"Enggak." Ayah menggeleng.

Tara mengangkat bahu. Jika itu yang diminta Ayahnya, dia akan melakukannya. Mungkin Ayah menjaga perasaan Ibu dan Tio.

***

Damian menyipitikan matanya, membidik. Di tangannya ada senjata bidik laras panjang. Dibidiknya sasarannya yang berada sepuluh kilometer darinya berdiri. Sinar matahari siang menerpa kulitnya yang kemerahan. Damian mendesis menunggu sasaran tembaknya. Mario Storm. Pria itu sedang berada di sebuah hotel bersama seorang wanita.

Damian sudah mengintai kembali Mario hampir dua minggu. Melihat kebiasaan pria itu sebelum memutuskan untuk menembak mati.

Saat makan siang, Mario mengunjungi sebuah hotel yang sama dengan wanita berbeda dipelukannya. Di kamar yang sama pula. Hotel milik Mario.

Damian menahan nafas ketika diihatnya tubuh seksi wanita yang berada dalam pelukan Mario. Mereka terlibat cumbuan panas yang membuat Damian menahan geramannya. Berusaha fokus pada Mario, bukan pada wanita telanjang yang berada dalam pelukan Mario.

Damian mulai membidik kepala belakang Mario. Disipitkan matanya, berusaha memperkuat pandangan dan menguncinya. Jari tangannya perlahan bergerak menuju pelatuk senapannya lalu mulai menarik pelatuknya. Bunyi peluru berdesing di udara dan menembus jendela kamar Mario yang terbuka kemudian pria itu jatuh. Menyisakan teriakan ketakutan dari wanita panggilan itu. Damian memerhatikan beberapa orang memasuki kamar Mario. Damian tertawa lalu beranjak pergi dari tempatnya berdiri.

"Selesai." Gumam Damian. Urusannya dengan Mario sudah selesai dan dia akan melalui hidupnya yang baru.

***

"Damian!" Hendrik membuka pintu kantor Damian.

Damian sedang berdiri memerhatikan kota Italia dari jendela kantornya. Pandangannya jauh. "Ya." Sahutnya tidak berselera.

"Ibumu meneleponku. Katanya dia ingin kau meneleponnya siang ini."

Damian menghela nafas. Ibunya selalu mendesaknya. Sudah lima tahun sejak terakhir dia berdebat dengan Ibunya di ruang makan, dan ibunya tidak pernah menyerah untuk memperkenalkannya pada wanita entah dari mana. Bahkan ketika Damian memilih pindah ke Italia, ibunya tetap mendesaknya.

"Aku sudah tahu apa yang diinginkan ibuku." Gumam Damian. Dia memasukkan kedua tangannya ke saku celana biru gelap panjang yang dipakainya. "kau tangan kananku, pandai-pandai kau memberikan alasan pada ibuku."

Hendrik menghela nafas berat. Dia ikut berdiri di samping Damian. Dahinya berkerut memandang hiruk pikuk suasana Italia. "Aku masih tidak habis pikir mengapa kau memilih italia."

"Ini kampung halamanku." Jawab Damian.

"Dan kenapa kau tidak ingin menikah? Kupikir, Tara pasti sudah menikah."

Mendengar itu membuat Damian menatap tajam Hendrik. Kemarahan mengisi tiap nadinya ketika mendengar nama Tara disebut. Damian berharap dia membenci Tara seperti gadis itu membencinya. Namun dia tidak bisa. Dia merindukan Tara. "Jangan bahas dia!" bentak Damian.

Hendrik mengangkat kedua tangannya menyerah. "Aku tidak akan ungkit lagi."

Damian memutar matanya pada ucapan Hendrik dan kembali memerhatikan kota Italia. Kota yang sangat dia cintai. Pikirannya kembali memutar memori lama. Ketika Ayah Tara menelepon Damian yang mengatakan bahwa urusan Damian sudah selesai karena Tara sudah mulai bekerja. Tentu saja Damian menolak. Dia ingin tetap membiayai semua yang dibutuhkan Tara namun Ayah Tara bersikeras menolak. Mengatakan bahwa Damian sudah tidak ada hubungan lagi.

Damian yang menyebut dirinya sebagai Aberte pada Ayah Tara membuatnya tahu mengapa Ayah Tara mengatakan hal itu. Ayah Tara sangat kecewa pada pria yang bernama Damian—pada dirinya—yang sudah menelantarkan Tara dan membuat putrinya itu menderita dan membenci Damian dengan sangat.

Damian menghela nafas. Setidaknya Ayahnya Tara masih mau bekerja sama mengenai jam tangan. Ayahnya Tara mengatakan bahwa putrinya itu sangat menyukai jam tangan yang diberikannya dan selalu dipakainya kapanpun.

Damian mengeluarkan ponselnya. Dicarinya sebuah aplikasi pelacak lalu membukanya. Damian memerhatikan titik merah yang berkedip-kedip di layar ponselnya. Tara aman. Dia sedang berada di rumahnya. Itu saja sudah cukup baginya. Kemudian, Damian mematikan ponselnya lalu dia berjalan ke mejanya. Ditariknya laci meja kerjanya, diletakkan ponselnya di sana.

Hal itu tidak luput dari perhatian Hendrik. Dalam kurun waktu lima tahun, Damian tidak pernah mengganti ponselnya. Bukan suatu kebiasaan Damian yang ingin memiliki barang elektronik keluaran terbaru.

"Hendrik," panggil Damian seraya mengunci laci meja kerja di mana letak ponselnya berada. Hendrik bergumam menanggapi panggilan Damian. "Panggil pembersih kantor, bawa meja ini ke gudang. Simpan di sana. Aku ingin membeli meja yang baru." tambah Damian kemudian merapikan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya dan ditumpuk menjadi satu.

Alis Hendrik berkerut namun dia mengangguk juga. Dia tidak ingin menanyakan lebih lanjut. Perubahan sikap Damian membuat Hendrik menahan lidahnya untuk tidak cerewet mengenai meja yang baru saja dibeli Damian beberapa hari lalu.

"Akan kupanggilkan pembersih kantor." Gumam Hendrik kemudian berlalu.

Damian menghela nafas berat. Dia menelan ludah susah payah. Dadanya kembali sakit membayangkan Tara yang pasti sudah menikah lagi. Sudah lima tahun berlalu. Lima tahun pula dia tidak bisa lepas dari bayang-bayang Tara. Selama lima tahun pula dia melepaskan bisnis mafianya dan meminta Hendrik yang mengawasi.

Setelah kematian Mario Storm, tidak ada lagi urusannya dalam bisnis mafia. Damian lebih memilih fokus pada bisnisnya sendiri. Damian Enterprise. Perusahaan yang bergerak dibidang properti. Dahulu Damian mengatakan pada Tara bahwa dirinya bekerja di bidang properti walau sesungguhnyaa tidak. Dan kini, dia benar-benar menggeluti usaha itu. Damian tertawa pelan. Sungguh ironis.

"Tuan?" panggilan dari sekretarisnya membuat Damian mendongak. Damian mengangkat alisnya sebagai pertanyaan. "Ada yang harus ditanda tangani." Tambahnya kemudian menghampiri Damian dan berdiri di samping pria itu.

Damian mengangguk. "Letakkan saja. Akan kutanda tangani nanti." Ucap Damian masih merapikan mejanya.

"Damian," panggil sekretarisnya kemudian jari jemari lentik sudah mengusap paha pria itu yang membuat Damian menarik nafas panjang. Sekretarisnya mendekatkan wajahnya di telinga Damian lalu berbisik, "aku tidak masalah menjadi pelampiasan frustrasimu." Kemudian dijilatnya telinga Damian yang membuat pria itu menggeram pelan.

"Caroline." Ancam Damian.

"Ya?" bisik Caroline. Sekretarisnya itu dibawanya ke Italia karena kinerjanya yang mumpuni. Damian tidak ingin mencari sekretaris lain namun perlakuan Caroline kali ini membuat Damian ingin memulangkan Caroline ke Paris.

"Jangan." Geram Damian.

Caroline mengulum daun telinga Damian yang membuat Damian menggeram. Ditariknya Caroline lalu ditidurkannya wanita itu di mejanya. Beberapa barang berjatuhan. Damian menatap tajam Caroline. "Kau membangunkan singa yang tidur." Ancam Damian yang malah membuat Caroline tertawa.

"Aku tidak masalah menjadi pemuasmu." Ucap Caroline yang membuat Damian menciumi leher wanita itu. Caroline mendekatkan wajahnya di telinga Damian yang sibuk mencumbu lehernya. "Aku dalam pengendali kehamilan. Jadi, kau bisa menikmatiku kapanpun."

Damian mengangkat wajahnya. Menggeram, dia merobek kemeja yang dipakai Caroline. Dia mulai mencumbu Caroline dan membayangkan wanita itu adalah Tara. Bahkan ketika dia mulai rilis, dia meneriakkan nama Tara yang membuat Caroline terkejut. Damian begitu mencintai Tara dan itu tidak masalah bagi Caroline asalkan Damian dapat mengeluarkan frustrasinya.

Dia tidak tega melihat Damian yang setiap hari gila kerja atau termenung berjam-jam memerhatikan kota Italia dari jendela kerjanya. Caroline pun tidak pernah melihat Damian menghabiskan waktunya pada wanita manapun. Caroline ingin Damian yang santai namun terarah. Dia ingin Damian kembali pada bisnis mafianya. Dia ingin Damian seperti dulu.

Damian melepaskan dirinya dari Caroline. Ditatapnya Caroline tajam kemudian memakai kembali celananya. "Ini terakhir kalinya aku menyetubuhi." Geramnya.

"Oya?" tantang Caroline. Dia masih berada di atas meja dengan posisi menantang.

"Aku tidak ingin menyetubuhi orang lain selain Tara."

Caroline tertawa. "Oke. Terserah." Seharusnya dia kecewa pada ucapan Damian. Namun kali ini tidak. Sudah mengenal Damian lama, dia tidak akan pernah kecewa atau sakit hati pada ucapan Damian.

Hendrik memasuki kantor Damian dengan tiba-tiba dan matanya mendelik melihat Caroline yang masih di atas meja Damian dengan posisi menantang.

"Caroline! Sialan!" Maki Hendrik mendekati Damian yang sedang merapikan kemejanya.

***

avataravatar
Next chapter