12 Keluarga

Mata Damian terbuka. Seluruh tubuhnya lemas. Dia melirik seorang wanita yang duduk di sampingnya. Sedang membuka beberapa bungkus obat. Dia ingat, bahwa Tara yang ada di sampingnya. Bukan wanita itu.

"Tara mana?" gumam Damian menatap langit kamarnya.

Serena menoleh. "Tidak ada. Hanya ada aku."

Damian diam. Tidak ada Tara. Dia mulai sadar, dia kemarin berhalusinasi. Dia berhalusinasi Tara duduk di sampingnya dan menciumnya. Kemudian Damian tersadar akan sesuatu.

"Sejak kapan kau di sini?"

Serena mengernyit berusaha mengingat. "Empat hari, kurasa."

Tatapan Damian mengeras. "Apapun yang kulakukan padamu, bukan seperti apa yang kau pikirkan." Damian mengatakan itu tanpa menatap Serena.

Tatapan Serena terluka. Dia seharusnya tahu bahwa Damian tidak akan mencintainya. Cinta pria itu hanya milik Tara. Siapapun Tara, Serena yakin wanita itu lebih cantik darinya. Empat hari dia lalu bersama Damian yang sakit, Damian selalu menganggapnya sebagai Tara. Berulang kali pria itu menangis meminta maaf padanya yang dipikir Damian adalah Tara.

"Aku menerima perjodohan ini karena Ibuku. Bukan karena aku mencintaimu." Ucap Damian kemudian duduk. Di tatapnya Serena yang menunduk. "Keluar dari kamarku. Aku tidak ingin kau masuk ke sini walau Ibuku yang memintamu."

Serena mengangguk kemudian berdiri. Dia meletakkan beberapa obat yang sudah dia siapkan di piring kecil kemudian keluar dari kamar Damian. Mata Serena berkaca-kaca. Dia tidak pernah ingin mendengar ucapan menyakitkan dari Damian namun kenyataan sebaliknya. Mungkin ini adalah ucapan menyakitkan pertama Damian. Serena yakin, akan ada ucapan menyakitkan dari Damian selanjutnya.

Karla melihat Serena yang menangis di depan pintu kamar Damian. Dia menunggu hingga Serena duduk di ruang tamu. Kemudian Karla masuk ke dalam kamar Damian. Dia melihat Damian berdiri di depan jendela kamarnya, memerhatikan langit malam kota Italia. Langit dipenuhi dengan bintang. Tatapan Damian begitu jauh seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Tidak seharusnya kau menyakiti hati Serena." Ucap Karla. Damian diam. Dia sedang tidak ingin menanggapi apapun yang dikatakan Ibunya. "Serena wanita yang baik. Ibu kenal baik Papanya." Ucap Karla lagi. Membuka percakapan dengan putra satu-satunya itu.

"Damian, Ibu hanya ingin kau menikah dengan—"

"Terserah padamu, Bu." Potong Damian.

Karla menghampiri Damian lalu berdiri di samping putranya. "Serena wanita baik." Gumam Karla yang membuat Damian tersenyum kecut.

"Bagaimana jadinya jika dia tahu bahwa aku adalah bos mafia?"

Karla menatap Damian ngeri. "Katamu, kau sudah tidak berurusan dengan mafia lagi?"

Damian tersenyum miring. "Kata siapa, Bu?"

"Hendrik?" Karla tidak yakin sendiri.

"Bukankah ibu yang memintaku untuk tidak meninggalkan bisnis Ayah? Bukankah Ibu yang memintaku untuk tetap melanjutkan kartel Aberte? Apa yang ada di pikiranmu, Bu?"

Karla menyentuh lengan Damian. Mata pria itu masih memandang suasana luar dari jendela kamarnya. "Ibu berubah pikiran. Tinggalkan bisnis Ayahmu itu atau nyawa Serena dalam bahaya."

Damian menatap Ibunya tajam. "Coba saja jika Ibu berani." Ucapnya kemudian berbalik.

"Damian!" panggil Karla yang membuat Damian berhenti namun tidak berbalik. "Pernikahanmu bulan depan."

Damian kembali berjalan keluar kamarnya. Ucapan Ibunya itu membuat Damian kesal namun dia memendamnya. Sejak kecil dia selalu menuruti apa yang diinginkan orangtuanya. Dan kini, dia pun seperti itu. Itu dia lakukan demi membuat kedua orangtuanya memandangnya bukan sebelah mata. Namun apa yang dia dapatkan sebaliknya. Dia tidak mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Damian menghela nafas. Dia tidak menghiraukan panggilan Serena padanya. Damian memilih keluar rumah. Dia ingin mendinginkan kepalanya. Dia ingin pergi ke suatu tempat. Tempat yang tidak pernah dia datangi selama tinggal di Italia.

***

"Damian!" seorang gadis menyapanya kemudian memeluknya erat. "Kau datang juga!" pekiknya riang. Tubuh kecil gadis itu tenggelam dalam pelukan Damian. Damian tersenyum memeluk kembali sepupunya.

"Sophia, biarkan Damian masuk." Kali ini Ayahnya Sophia meminta anaknya itu membiarkan Damian bernafas.

Sophia melepaskan pelukannya kemudian menggandeng lengan Damian. Damian mengangguk pada sapaan adik dari Ayahnya—Daniel Aberte.

"Apa yang membawamu datang kemari?" Tanya Daniel pada keponakannya itu. "Kudengar kau sudah di Italia sejak lama namun baru kali ini kau datangi aku."

Damian masuk ke dalam rumah Daniel Aberte yang sederhana. Tidak banyak yang berubah. Semua massih seperti dahulu Damian datang.

"Damian!" Sapa Mariam. Istri Daniel Aberte. "Suatu kebetulan. Kami sedang mempersiapkan makan malam. Ayo, makan bersama."

Damian mengangguk. Dia tidak akan pernah bisa menolak kebaikan Mariam, itulah mengapa dia begitu sungkan untuk datang ke rumah paman dan bibinya itu. Mereka begitu baik padanya dan sudah dianggapnya seperti anak mereka sendiri.

"Apakah bisnis Ayahmu masih kau pegang?"

Damian membiarkan Sophia mengambilkannya makan malam. Dia mengangguk pada pertanyaan pamannya. Damian tidak ingin mengatakan pada pamannya kejadian yang sesungguhnya. Mariam yang duduk di seberang Damian mengulurkan tangannya kemudian menggenggam tangan Damian. Diremasnya pelan tangan Damian.

"Kau harus berhati-hati, Damian. Kau memiliki banyak musuh."

Damian meremas kembali tangan bibinya. Bibinya begitu emosional hingga mata bibinya berkaca-kaca. Daniel yang duduk di samping Mariam hanya bisa merangkul istrinya itu.

"Damian kita sudah besar. Dia tahu bagaimana menjaga dirinya." Ucap Daniel menenangkan Mariam yang sangat emosional.

Damian tersenyum. Inilah yang dia inginkan. Keluarga yang memerhatikannya bahkan yang mengkhawatirkannya. Dia ingin ada orang yang takut jika ada apa-apa terjadi padanya.

Sophia memberikan piring berisi makan malam pada Damian. Dia meletakkan piring itu di hadapan Damian. "Damian, aku belajar beladiri," Ucap Sophia yang membuat Damian mengangkat alisnya.

"Oya?"

Sophia mengangguk. "Papa mengajarkanku. Katanya aku harus bisa menjaga diriku."

Daniel tertawa. "Aku tidak selamanya menjaga dia, Damian. Dia anak perempuan dan aku ingin dia belajar menjaga dirinya."

Damian mengangguk setuju. Dia mengusap kepala Sophia sayang. Dia sudah menganggap Sophia seperti adiknya sendiri. Terakhir kali dia melihat Sophia, gadis itu masih kecil. Kini Sophia sudah tumbuh menjadi remaja yang manis.

"Damian," bisik Sophia yang membuat Damian menunduk, mendekatkan telinganya pada Sophia. "Mana Hendrik?"

Alis Damian menyatu. Hari ini dia belum mendapatkan kabar dari Hendrik. "Aku belum bertemu dengannya hari ini."

Alis Sophia berkerut. "Apakah Hendrik baik-baik saja?"

Damian mengangkat bahu. "Kurasa begitu."

Sophia mengangguk kemudian tersadar kedua orangtuanya menatapnya. Sophia tersenyum kikuk. "Aku hanya bertanya." Bisik Sophia.

Mariam tertawa. Ditatapnya Damian, "kapan-kapan, bawalah Hendrik makan malam di sini, Damian."

"Mam!" Sergah Sophia yang membuat Daniel menggeleng.

"Kau menyukai Hendrik?" Tanya Daniel tanpa tedek aling-aling yang membuat Sophia cemberut.

"Tidak." Gumam Sophia yang malah membuat Damian tersenyum.

Inilah yang dia inginkan. Keluarga yang hangat dan menerimanya. Menanyakan bagaimana harinya atau pekerjaannya.

"Apakah aku boleh sering ke sini?"

Pertanyaan Damian membuat Daniel dan Mariam menatap Damian. Daniel dapat melihat betapa sungkannya Damian datang ke rumahnya. Daniel bukannya tidak tahu bahwa Damian sudah berada di Italia. Dia tahu dari beberapa anak buahnya.

Mariam mengulurkan tangannya lagi. Dia menggenggam jari Damian yang ada di atas meja. "Kapanpun kau boleh datang. Kau pun boleh tinggal di sini jika kau mau. Masih ada kamar kosong."

Sophia memekik senang. "Benarkah, Mam?"

Mariam tertawa sementara Daniel tersenyum.

Damian mengangguk. "Apakah boleh malam ini aku menginap?"

Mariam dan Daniel mengangguk bersamaan. "Kau tidak perlu bertanya, Damian." Ucap Daniel.

Masa kecil Damian yang tidak menyenangkan membuat Daniel yakin, keponakannya itu ingin sekali memiliki keluarga yang hangat dan sayang padanya. Tempaan hidup yang diberikan David Aberte membuat Damian merasa sangat kesepian.

Daniel menatap Damian yang sedang mendengarkan apapun yang Sophia katakan. Keponakannya itu mendengarkan dengan saksama cerita Sophia mengenai sekolahnya. Tangan Mariam menggenggam tangan Daniel dari bawah meja. Daniel dapat melihat betapa kasihannya Mariam pada Damian.

Mereka berdua bukannya tidak tahu mengenai perjodohan Damian dengan Serena. Mereka tahu. Damian yang tiba-tiba datang ke rumahnya kali ini membuat mereka berdua yakin, Damian menghindari sikap Karla yang keterlaluan. Damian adalah anak yang penurut, dan kali ini Damian menuruti permintaan Karla walau Daniel yakin, Damian tidak mencintai Serena.

***

Damian sedang merapikan tempat tidurnya ketika Daniel masuk ke dalam kamar yang ditempati Damian malam ini. Dia melihat Damian yang sibuk menggantikan penutup bantal.

"Damian …." Panggil Daniel yang membuat Damian menoleh. Dia meletakkan bantalnya kemudian mengangguk pada pamannya.

"Paman." Ucapnya pelan.

Daniel menepuk salah satu kursi yang ada di kamar itu. "Duduklah. Aku ingin mengobrol. Boleh?" pinta Daniel kemudian duduk.

Damian mengangguk. Dia duduk di samping pamannya. Damian menunduk memerhatikan ujung jari kakinya yang menggunakan sandal kamar.

"Kau sehat?" Tanya Daniel.

Damian mengangguk.

"Kurasa tidak." Gumam Daniel.

Damian melirik pamannya kemudian menghela nafas. "Aku baru sembuh sakit, Paman." Ucapnya.

Daniel mengulurkan tangannya kemudian menepuk bahu Damian. "Kau tidak perlu sungkan pada kami, Damian. Kami adalah keluargamu."

Damian mengangguk namun tidak berkata apapun lagi.

"Kudengar kau akan menikah."

Damian mengangguk lagi. "Aku tidak pernah ingin mengecewakan Ibu, Paman."

"Kau mencintai wanita pilihan Ibumu?"

Seketika pikirannya tertuju pada Tara. Bagaimana Tara sekarang? Apakah Tara sudah menikah? Apakah Tara sudah punya anak? Apakah Tara masih memikirkannya? Apakah Tara masih membencinya setelah tahun-tahun berlalu?

"Aku tidak mencintainya, Paman." Gumam Damian. Damian masih menunduk. Dia tidak ingin melihat wajah pamannya yang menatapnya kasihan. Mariam pun tadi seperti itu. Menatap Damian dengan kasihan. "Apakah aku harus mencintainya?"

Daniel meremas bahu Damian. "Apakah ada wanita lain yang kau cintai?"

Damian diam. Dia tidak ingin membahas Tara. Dia tidak ingin Daniel tahu bahwa Damian pernah menjalin ikatan spesial pada wanita. Dia tidak ingin Daniel tahu bahwa dia pernah menangisi Tara karena dia tidak pernah bisa membenci Tara.

***

Hendrik duduk di salah satu kursi seraya memerhatikan para anak buahnya mengemasi beberapa barang untuk di bawa menggunakan truk disebuah gudang. Hendrik duduk di luar gudang. Hari sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Waktu yang tepat disaat semua orang terlelap tidur.

Hendrik menempelkan ponselnya ke telinga. Menunggu seseorang mengangkat teleponnya. Hendrik menghela nafas ketika teleponnya tidak diangkat. Sekali lagi dia menelepon, kali ini teleponnya diangkat.

"Halo?"

"Max!" sapa Hendrik, "sudah kau temukan?"

"Sudah. Aku sedang dalam perjalanan ke tempatmu."

Hendrik mengangguk samar. "Bagus." Gumamnya kemudian segera menutup teleponnya.

Seorang pria berperawakan kurus menghampiri Hendrik dengan tergesa-gesa lalu membisikkan sesuatu di telinga Hendrik hingga membuat pria itu melotot. Hendrik cepat-cepat berdiri.

"Cepat, kemasi semua!" perintah Hendrik pada siapapun yang berada dalam jangkauan pandangannya. Hendrik mengumpat. Dia menatap marah pembawa berita buruk itu, "kenapa bisa ketahuan? Sialan!" maki Hendrik.

Pria kurus itu menatap Hendrik, "Saya tidak tahu, Tuan. Saya hanya diberi perintah oleh Tuan Thomas untuk menyampaikan kabar ini."

Hendrik menyumpah serapah. Dia begitu kesal. Tangannya terkepal. "Panggilkan Thomas." Perintah Hendrik.

Pria kurus itu mengangguk kemudian berjalan pergi untuk melakukan perintah dari Hendrik. Hendrik menatap kepergian pria itu dengan tangan terkepal. Tidak pernah sekalipun bisnis itu bocor pada siapapun. Sebuah pemikiran melintasi kepalanya. Pasti ada penyusup hingga bocor ke tangan polisi.

"Cepat!" perintah Hendrik pada anak buahnya yang terburu-buru mengemasi barang-barang selundupan. Hendrik memerhatikan beberapa truk yang berlalu dan beberapa anak buahnya yang tergesa-gesa pergi menggunakan motor ataupun mobil.

"Hendrik." Sapa Thomas yang membuat Hendrik menatap Thomas.

"Tidak perlu kau jelaskan. Aku sudah mengira ada penyusup dalam bisnis ini." Gumam Hendrik.

Thomas mengangguk setuju. "Sudah beberapa kali hampir kita ketahuan. Aku yakin, ada tikus pengerat yang membocorkan bisnis kita. Apapun motif yang dilakukannya, aku sedang berusaha untuk mencari tahu."

Hendrik mengangguk. "Thomas, apakah perintahku sudah kau jalankan?"

Thomas mengernyit mendengar pertanyaan itu. Mereka berdua memerhatikan truk terakhir yang berlalu pergi. Thomas akhirnya mengangguk. "Aku sudah meminta Tuan Nakagawa dari Jepang untuk bekerja sama."

Hendrik mengangguk lagi. "Dengan begitu, mudah bagiku untuk meyakinkan Damian untuk melebarkan bisnisnya di pasar Asia. Dimulai dari Jepang." Senyum Hendrik mengembang. Beberapa rencana dia lakukan agar Damian dapat bertemu dengan Tara tanpa diketahui ada unsur kesengajaan yang dia lakukan.

***

avataravatar
Next chapter