webnovel

Patungan Ajalah!

Happy Reading!

***

Tok! Tok!

Ceklek!

"Permisi pak, kenapa saya dipanggil?"

Setelah memasuki ruang kepala sekolah, Alan langsung menanyakan alasan mengapa dirinya dipanggil. Tanpa segan dan enggan pria berusia 17 tahun itu bersikap tak sopan. "Haha, nak Atalanta.. Lain kali masuknya sopanan dikit, yah?" pinta Kepala sekolah sedikit gemas dengan ketua Osis di sekolahnya.

"Ck. Kalau sopan, saya gak bakal di anggep pak! Udah lah, bilang aja ada perlu apaan?" ketus Alan merotasikan matanya malas. Kepala sekolah Sma Djati Wijaya itu adalah orang yang menyebalkan. Semakin kita sopan, maka semakin semena-mena dirinya. Jadi dari pada diremehkan. Alan memilih untuk menjadi murid yang kasar.

Disisi lain, mengetahui kalau kemungkinan menang dari murid di depannya sangat sedikit. Kepala sekolah bernama Raditya Adinata berdehem beberapa kali sebelum akhirnya menyerahkan sebuah berkas kepada Alan. "Tolong lakukan penggalangan dana pada para murid yah, kita harus memperbaiki ruang eskul Seni." pintanya tersenyum manis.

Sambil mengerutkan keningnya, Alan menatap kepala sekolah curiga. Perasaan baru minggu lalu beliau meminta bantuannya agar membantu penggalangan dana untuk memperbaiki perpustakaan sekolah.

Dan lagi, bukan kah Sma Djati Wijaya ini adalah sekolah swasta? Apa kegunaan Ketua yayasan jika tidak bisa mengurusi masalah sekolah miliknya sendiri? Masa, murid yang sudah membayar Spp dengan harga mahal harus sering menyumbang? Yang benar saja. "Pak? Kenapa akhir-akhir ini sering penggalangan dana? Ketua yayasan lagi bangkrut apa gimana, sih? Sebulan belakangan udah tiga kali lho, ketua yayasan mau nguras harta muridnya apa gimana? Coba jel–"

Plak!

Mata Alan terbelalak saat merasakan pedih di pipi kanannya, mata birunua melotot pada kepala sekolah. "Pak? Ken–"

"BE–BERHENTI MERAGUKAN KETUA YAYASAN! BELIAU ADALAH ORANG YANG TIDAK BISA KAU RAGUKAN SEMUDAH ITU! SANA MULAI PENGGALANGAN DANANYA DENGAN BENAR!" teriak Kepala sekolah segera mengusir Alan dari ruangannya.

Blam!

Pintu ruangan Kepala sekolah tertutup dengan kencang, di depan pintu Alan hanya bisa terdiam. Kakinya melangkah tanpa arah. Jika begini terus, jabatan sebagai ketua Osis akan diragukan. Mereka pasti mulai mencurigai Alan menggelapkan dana penggalangan. Padahal kan ini suruhan kepala sekolah. Sungguh, kepala sekolah itu mencurigakan!

Saking pusingnya memikirkan suruhan kepala sekolah tadi, Alan tidak menyadari kalau dirinya tengah melewati kelas 11 Ipa 3, tempat sahabatnya menimba ilmu. "ALAN!"

Degh!

Tubuhnya langsung tersentak mendengar suara keras yang familier. Kepala menoleh dan terkejut ketika wajah Naia sudah menempel di jendela kelas. "Ngapain sih?" tanya Alan pusing sendiri melihat tingkah konyol sahabatnya satu itu.

Sambil mengepalkan tangannya, Naia tersenyum. "Mangat Paketos.." kekehnya menyemangati Alan yang tampak putus asa.

Ah.. Meski bodoh, ternyata Naia bisa mengetahui kalau sekarang pikirannya sedang semrawut. Senang dengan itu Alan pun mengeluarkan sedikit senyum di wajah tampannya. Sayang, senyuman itu segera luntur ketika melihat seseorang ikut menatapnya tepat di samping Naia.

Menggunakan isyarat mata Alan berusaha memberitahu Naia akan keberadaan guru yang tengah mengajar di kelas sahabatnya, namun. Gadis itu telah kembali memasuki zona tidak peka.

"Tampaknya 'Paketos' kita sedang sibuk. Nah, Anaia. Karena sudah memberi 'Paketos' semangat, bagaimana jika sekarang kau mengerjakan soal Fisika yang sudah ibu siapkan di papan tulis?" tawar Guru Fisika bernama Kinanti.

Jderr!

Naia langsung menoleh saat mendengar seseorang berbicara. Mata gadis itu melotot sepenuhnya saat menyadari kalau Bu Kinanti lah yang berdiri di sampingnya. "Ib–ibu Kinan? Ehehe, maaf bu.. Saya terlalu gubluk buat ngerjain soal di papan tulis." cengir Naia mendapat jeweran dari Bu Kinanti.

Menyadari kalau Alan sang ketua Osis masih menontoni Naia dan dirinya. Guru Fisika itu tersenyum manis. "Nak Alan, pasti sedang sibuk kan?" tanya Bu Kinanti manis.

Reflek saja ia mengangguk. Setelah meminta maaf kepada guru Fisika, Alan segera bergegas pergi untuk menyelesaikan tugas yang kepala Sekolah berikan.

"ALAN DAKJAAAAAAAAAAL!"

Jauh dari ruang kelas Naia, Alan mendengar teriakan sahabat satu-satunya itu. Dia kembali meringis karena tidak enak hati untuk meninggalkan Naia yang telah mendapat hukuman. Ingin rasanya menemani Naia, tetapi Alan tak berdaya. Biarlah setelah jam istirahat Naia mengamuk padanya.

***

Dreeek!

"Nai, lihat gue punya apa?" bisik Alan pada Naia yang asik memakan seblak. Mendengar bisikan itu, segera saja Naia menoleh. Matanya melirik sebuah benda di tangan Alan dan mengambilnya cepat.

Tahu saja kalau Naia ingin memakan lolipop. Tapi, tunggu dulu. Kenapa rasa-rasanya ada yang aneh pada wajah Alan?

Sadar ada yang aneh pada wajah sahabatnya, Naia kembali menoleh. Dia memerhatikan setiap inchi wajah Alan hingga yang ditatap salah tingkah sendiri. "Ke–kenapa?" tanya Alan membuang muka.

Srek!

Wajah Alan kembali tertoleh karena di tarik Naia, jantungnya berdebar kencang saat gadis itu tanpa merasa berdosanya mendekatkan wajah mereka tanpa berkedip sedikit pun. Ah, akan memalukan jika Naia mendengar suara jantungnya sekarang.

"Lu habis sama siapa? Berani banget nyentuh wajah sempurna Al! Gue gak rela punya gue diginiin!" geram Naia langsung melepas lolipop di tangannya dan beralih memerhatikan sudut bibir dan ujung mata kanan Alan yang membiru.

Perasaan saat jam pertama tadi wajah Alan masih mulus-mulus saja, lantas. Sebenarnya apa yang terjadi saat jam kedua dan ketiga berlalu? Tunggu, jangan bilang ini masalah tugas yang ibu Kinan katakan?

"En–enggak kok, gue cuma jatuh dari tang–" belum sempat Alan mengelak, Naia sudah memotong. "Alasannya gak masuk akal, Al! Bilang sama gue, siapa yang bikin lu kaya gini?! Biar gue bikin dia babak belur!" Naia mendesak.

Bukannya terdesak oleh Naia, pria itu justru terkekeh. Dia mencomot gorengan milik Naia barulah berniat untuk menjawab. "Reza, Reza Galaksi. Emang berani?"

Doeng!

Semangat 45 yang tadinya menggelora di dalam jiwa Naia segera padam, mulutnya langsung cemberut dan berangsur tenang. Reza Galaksi, pentolan Sma Djati Wijaya. Bukan apa-apa, Reza adalah seorang atlet Boxing. Hanya orang bodoh yang ingin melawan Reza.

"Kenapa dia mukulin elu? Perasaan Reza bukan anak yang hobi main tangan," heran Naia setelah terdiam beberapa saat. Ketika mengingat sifat asli Reza, baru lah dia teringat. Pria itu mustahil main tangan jika tidak ada masalah yang serius.

Balik lagi, Alan mustahil mencari gara-gara dengan orang lain—kecuali Naia. "Kata temennya, dia lagi sensitif. Gue tambahin pake acara ngumpulin uang penggalangan dana.." terang Alan tersenyum hampa.

"Lagi?" tanya Naia tak percaya. Sahabatnya itu baru mengumpulkan uang penggalangan dana minggu lalu, tapi apa ini? Dia kembali disuruh melakukan penggalangan dana? "Sekolah kita miskin banget, kah?" heran Naia tepuk jidat sendiri.

Malas menjawab, Alan hanya mengidikkan bahu. Dia segera memesan makanan untuk mengganjal perut sebelum bel masuk berbunyi. "Jadi gimana penggalangannya?" tanya Naia hati-hati.

"Gatol, Nai. Gagal total, semuanya pada curiga sama gue." terang Alan lelah. "Kayanya pake uang gue aja deh, gabakal bisa kalo minta sama anak-anak." lanjutnya menghela napas pasrah.

Peka akan sahabatnya yang terpuruk, Naia tersenyum menyemangati. Ia menggenggam tangan Alan yang berada di atas meja dan berkata. "Gapapa Alan, gue bantu yah? Kita Patungan ajalah!" cengirnya membuat pipi Alan memerah.

Pria itu menundukkan kepalanya agar Naia tidak melihat pipi semerah tomat milik Alan, dia tersenyum senang dan menghela napas lega. Benar. Selama ada Naia, masalah sebesar apapun akan bisa Alan lalui. 'Makasih, Naia.'

***

Makasih udah bacaaaa! Luv yuu

Next chapter