1 1

Saat itu malam begitu samar, cahaya lampu disepanjang jalan pun tampak remang-remang. Apa aku mabuk hingga tak sadar siapa orang yang sedang kupeluk saat ini?. Firasatku bilang, dia pria yang tak seharusnya kupeluk tapi entahlah. Semakin larut, kesadaranku semakin menghilang ditelan kegelapan dan menenggelamkanku dalam mimpi indah.

*****

Seva terbangun dari tidurnya karena suara seseorang yang terus memanggil namanya.

"Seva, Seva, ayo bangun! Kelas telah usai, sampai kapan kau akan tertidur? Jika tidak, akan kutinggal kau sendirian." Ucap Jan sambil mengguncang tubuh Seva.

"Iya, iya, ini sudah bangun, jadi berhenti mengguncang tubuhku. Pusing tau!" Ucap gadis bersurai panjang itu dengan malas.

Seva mengangkat kepala yang sedari tadi bersembunyi di balik kedua tangan, menguap lalu memperhatikan sekelilingnya.

"Lho, kelas sudah kosong?"

"Sudah kubilang dari tadi, kelas sudah berakhir lima belas menit yang lalu."

"Aku tidak tau, tidurku terlalu lelap sampai tak ada satupun suara yang terdengar."

"Bahkan kau tidak mendengar suara Profesor Hendra yang sejak tadi meneriakimu?"

"Entahlah, rasa kantukku tak tertahankan."

"Wah, hebat! Bagaiman bisa kau tertidur sangat lelap di kelas Prof. Hendra, dosen paling sadis sekampus kita? Aku yakin IPK-mu akan turun drastis. Fyung.... Jatuh seperti terjun payung."

"Ya, aku akan mengulang satu semester dan kau akan ikut denganku."

"Wah, untuk apa aku mengulang? Prestasiku banyak!"

"Begitu pula aku."

Seva berdiri dari tempat duduk meraih tas berwarna coklat berpadu krem dan biru yang ia letakkan tepat di samping tempat duduknya lalu bergegas pergi. Langkahnya terhenti ketika kakinya membentur paper bag yang berjajar di sekitar tempat duduknya.

"Punya siapa ini?" Tanya Seva heran melihat begitu banyaknya paper bag yang tersusun rapih.

"Kau ini bicara apa, sih? Ya jelas itu punyamu." Balas Jan namun raut wajah Seva nampak tak percaya.

"Sebanyak ini?" Tanya Seva lagi, Jan hanya menganggukan kepala.

Seva merendahkan tubuhnya untuk melihat lebih dekat paper bag di hadapannya itu. Ia tidak ingat pernah membawa begitu banyak paper bag ke kampus, masalahnya untuk apa?.

"Kau pasti bohong, kan, Jan? Tumben kau baik memberikan kejutan sebanyak ini?" Ucap Seva penuh percaya diri. Pikir Seva mungkin ini permintaan maaf jan karena tidak memberikan kado di hari ulang tahunnya bulan lalu.

"Sudahlah mengaku saja." Ucap Seva kegirangan sedikit menggoda Jan.

"Aku? Memberikanmu hadiah? Jangan bermimpi!" Balas Jan seketika mengubah ekspresi bahagia Seva jadi kecewa.

"Lalu ini punya siapa?"

"Sudah kubilang itu punyamu. Saat aku tiba di kelas pun, barang-barang itu sudah ada di samping kursimu sedangkan kau tertidur pulas."

"Dari mana aku punya uang untuk membeli barang sebanyak ini? Jika adapun akan kutabung untuk biaya hidupku di masa depan."

"Hmm... Kau benar juga, ya? Bocah miskin sepertimu mana mungkin memiliki uang untuk shopping, kecuali kau mendapat suntikan dana dari sugar daddy."

Seva langsung menyikut kasar lengan Jan dan melotot kearahnya. Seenaknya saja dia berkata seperti itu. Memangnya dia kira Seva perempuan macam apa?. Sementara itu, orang yang dipelototi hanya terkekeh-kekeh, senang melihat sobatnya itu kesal.

Jan berjongkok untuk mengecek satu-persatu isi paper bag tersebut. Barangkali bisa menemukan petunjuk siapa pemilik dari barang-barang mewah tersebut. paper bag itu berisikan tas tangan, pakaian, sepatu dan hebatnya lagi tidak ada satupun barang yang berharga murah, semuanya barang bermerek dan original.

Jan mengecek satu paper bag terakhir berwarna merah dengan tulisan berwarna hitam. Warna elegan yang menarik perhatian. Seketika Jan dan Seva terkejut mengetahui barang yang ada di dalamnya. Sebuah pakaian dalam seksi berwarna hitam transparan dengan renda cantik yang menghiasi pinggirnya.

"Waw!"

Dengan cekatan, Seva merebut barang yang tak pantas dilihat di tempat umum itu dari tangan Jan lalu memasukkannya kembali ke dalam paper bag.

"Jangan mengacak-acak barang milik orang lain." Tegur Seva, ia kemudian mengambil semua peper bag itu dan bergegas pergi.

"Kau mau kemana?"

"Satpam gedung fakultas."

"Untuk apa?"

"Aku akan bertanya, barangkali mereka tau siapa pemilik dari barang-barang ini."

"Jika mereka tidak tau?"

"Mereka pasti tau, orang yang membawa barang sebanyak ini pasti akan sangat menonjol dan menarik perhatian banyak orang juga satpam fakultas."

"Kau benar juga."

Jan pergi menyusul Seva yang sudah lebih dulu bergegas, ia meraih beberapa paper bag dari tangan Seva untuk membantunya. Mereka berdua pergi menuju ruang satpam yang berada di lantai satu dekat dengan pintu masuk fakultas.

Benar yang dikatakan oleh Seva, membawa barang sebanyak ini akan sangat menarik perhatian banyak orang dan lihat saja selama di perjalanan menuruni tangga orang-orang terus menatapi mereka tanpa henti, heran dengan jumlah barang belanjaan yang mereka bawa.

Akhirnya mereka sampai di ruang satpam biasa berjaga. Jan merasa lega karena ia bisa berhenti dan beristirahat. Menuruni tangga dari lantai empat dengan membawa barang yang begitu banyak sangatlah melelahkan. Mengapa tidak menaiki lift? Mereka tidak menggunakan lift karena khawatir akan mengganggu mahasiswa lainnya dengan barang yang mereka bawa terutama di jam istirahat seperti ini.

Seva dan Jan menghampiri seorang satpam yang sudah mereka kenal, Pak Seno. Beliau satpam yang ramah dan sering membantu mereka bahkan sejak awal hadir di masa orientasi mahasiswa baru. Seperti biasa, Pak Seno akan memasang senyum hangat kepada semua orang yang melintas di depan meja kerjanya, menularkan suasana ramah pada orang lain.

"Pak Seno!" Panggil Seva yang langsung disambut senyuman oleh Pak Seno.

"Ada apa neng?" Responnya ramah.

"Bapak tau tidak ini milik siapa? Sepertinya tertinggal di kelas Seva." Tanya Seva sambil menunjukkan paper bag yang penuh di kedua tangannya begitu pula dengan Jan.

"Lha, itu kan punya eneng, tadi pagi kan eneng sendiri yang bawa sambil jalan sempoyongan."

"Tuh kan apa aku bilang itu punya kamu." Ujar Jan mencoba membenarkan ucapan Pak Seno namun Seva masih tidak percaya.

"Bukan, ini bukan milikku." Seva menyanggah dengan yakin.

"Pak boleh lihat cctv-nya?" Izin Seva yang langgsung dipersilahkan oleh pak Seno.

Mereka mengecek salah satu rekaman cctv yang terletak di pintu masuk gedung fakultas dan benar saja apa yang dikatakan oleh Pak Seno. Tepat pukul 6.30 pagi, Seva masuk melalui pintu utama dengan membawa semua paper bag itu, jalannya pun sempoyongan. Melihat itu, akhirnya Seva percaya, walaupun sempat heran mengapa ia tidak mengingat pernah membawa paper bag itu ke kampus.

*****

Sekarang Seva dan Jan tengah berjalan menuju gerbang kampus sambil membawa paper bag di tangan mereka. Sempat ingin menitipkannya kepada Pak Seno namun Pak Seno menolak karena sudah terbukti bahwa paper bag itu milik Seva. Akhirnya mereka terpaksa membawa pulang paper bag itu ke indekos milik Seva. Berat memang, tapi mau bagaimana lagi.

Di ujung perjalanan menuju gerbang, Seva dan Jan melihat seorang siswa SMA yang tengah berdiri bersandar di pagar seakan menanti seseorang. Memang wajar jika ada beberapa siswa yang datang mengunjungi kampus mereka karena kampus itu adalah salah satu kampus terbaik di Indonesia. Tetapi anehnya siswa SMA itu melambai ke arah Seva dan terus memanggilnya dengan sebutan tante seraya berlari menghampiri Seva.

"Akhirnya ketemu juga sama tante" Ujar anak SMA itu yang membuat Seva dan Jan semakin bingung.

"Kamu punya keponakan?" Tanya Jan yang dibalas Seva dengan gelengan kepala.

"Tidak, aku tidak punya."

"Dari pertama kita bertemu, aku sudah jatuh cinta sama tante." Ucap siswa SMA itu, lantang, meraih tangan Seva lalu menggenggamnya erat. Matanya menatap ke arah Seva dalam, seakan penuh cinta.

"Mau tidak, tante jadi pacarku?"

avataravatar
Next chapter