1 Pria Aneh Misterius

Aku berada di Love Cafe, menyeruput kopi sambil melihat orang-orang lewat di jalan. Kafe itu menjadi tempat nongkrong favorit, saat tidak melakukan apa-apa atau menghabiskan waktu. Mereka memiliki kopi yang enak dan aku dapat dengan mudah mengetahui apa yang terjadi di luar. Kafe ini dekat dengan jalan raya.

Saat sedang menghela nafas, tiba-tiba aku melihat orangtuaku masuk ke dalam cafe, aku pun berdiri untuk menyambut mereka.

"Halo, Ma." Aku menyapa ibu seraya mencium pipinya. Kemudian berbalik ke ayah lalu memeluknya. "Halo, Ayah."

Setelah itu, aku kembali ke mejan lalu menunggu orang tuaku duduk terlebih dahulu.

"Gimana kabarnya?" tanyaku.

Ibu menghela napas lalu berkata. "Jing, kamu kapan mau nikah?"

Aku tercengang mendengar pertanyaan ibu. Bagaimana mungkin mereka langsung membahas pernikahan, sedangkan aku ingin bertanya tentang rindu, karena kami sudah lama tidak bertemu-berbulan-bulan.

"Mama, saya belum siap ...."

"Dasar perawan aneh!." Ibu memotong kalimatku seraya tersenyum. "Kamu itu sebenarnya siap, Jing. Asal kamu tau, sebenarnya Mama sudah punya calon yang cocok untukmu."

Aku meringis. Lagi-lagi ibu mau memperkenalkanku pada seseorang, padahal selama ini semua calon suami pilihan ibu itu tidak ada yang membuatku suka.

"Ma, saya yakin siapa pun pilihan Mama, pasti seorang pria yang baik, tapi belum tentu juga cocok untuk saya." Aku membalas seraya tersenyum palsu.

"Jingga, ayolah. Itu tidak benar," ucap ibu sambil menyentuh tanganku. "Kamu kan sudah dua puluh sembilan tahun. Sudah waktunya kamu mempunyai anak!"

Saat ibu berbicara, aku meringis. Apa yang dikatakan ibu benar-benar membuatku muak. Aku menatap ayah, menyipitkan mata lalu melihat apakah ayah tidak peduli atau hanya berpura-pura saja membaca koran. Namun, aku memang tidak mungkin mendapat pembelaan darinya.

Aku mengalihkan pandangan ke ibu, menarik napas dalam-dalam lalu berbicara. "Ma, ya sudah, saya coba dulu berkencan dengannya." Aku berkata dengan senyuman yang palsu. Aku berpikir, jika menolak tawaran ibu, pasti hanya akan memperpanjang masalah.

Ibu pun tersenyum lebar. "Aww, kamu baik sekali, Sayang. Baiklah, Mama akan menelepon Lodrick sekarang," ucap ibu seraya menekan tombol ponsel.

Aku menatap ibu dengan aneh. "Emangnya Mama punya nomor pria itu?"

Ibu mendongak dari ponselnya. "Ya. Mama yakin kamu pasti suka dia. Mama janji, Lodrick adalah seorang pria terhormat."

Alih-alih menjawab ibu, aku hanya tersenyum sinis padanya. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya bisa mendengar percakapan antara ibu dan Lodrick. Karena frustasi aku menyesap kopi.

Tiba-tiba ibu membuatku kaget.

"Yah, Lodrick setuju berkencan denganmu! Nama lengkapnya adalah Lodrick Gamez," ucap ibu seraya meletakkan ponsel. "Kalian akan bertemu di Igor Restaurant. Sudah Mama bilang padanya kalau kamu akan mengenakan gaun putih."

"Apa? Gaun putih? Ma, itu norak!"

Ibu memberi tatapan tajam. "Jing, gaun putih adalah gaun formal untuk wanita sepertimu!"

Aku pun tertawa. "Oke, Ma, terserah Mama aja."

"Nah, gitu dong, Sayang. Oh iya, Ayah dan Mama mau pergi dulu, ke tempat lain."

"Oke. Hati-hati."

"Kamu juga, Sayangku, hati-hati. Jangan lupa kencanmu dengan Lodrick."

Aku meringis mengingat alarm kencan nanti oleh ibunya. "Tentu, Ma. Saya tidak akan melupakannya."

Mereka berdiri dan mengucapkan selamat tinggal sebelum berpisah. Orangtuaku seperti tidak punya tujuan lain selain menjodohkanku dengan Lodrick. Namun menurutku, mereka hanya berniat terikat sebagai sebuah keluarga, tetapi aku merasa enggan.

Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskkannya. Betapa aku akan berkencan hanya demi ibu.

Aku berdiri kemudian pergi meninggalkan kafe, lalu berjalan menuju mobil yang ada di tempat parkir. Saat hendak membuka pintu mobil, seseorang menepuk bahuku. Ketika melihat siapa orang itu, bibirku sedikit terbuka.

Pria di depanku terlihat seperti selebritas yang aneh. Cukup tinggi beberapa inci dibandingkan diriku. Dia memakai kaos polo hitam dan jeans denim. Matanya menggiurkan bagai cokelat cair. Rambutnya hitam legam. Aku tidak menyangka bahwa ada pria tampan seperti itu, memiliki hidung runcing dan bibir tipis yang terlihat lembut. Dia memiliki kumis jarang. Meski aku tidak pernah menyukai pria berkumis karena menurutku terlihat kotor, tetapi pria ini berbeda. Kumisnya menambah kejantanan dan itu cocok untuknya. Sialnya, aroma tubuhnya sangat enak. Inilah yang aku inginkan dari seorang pria, aroma yang harum.

Pria itu menyeringai. "Saya tahu saya tampan, tapi kamu tidak perlu membuka lebar mulutmu. Nanti ada lalat yang masuk."

Aku secara otomatis menutup mulut yang terbuka. "Saya sedang tidak mengagumimu, ya!" Aku mengelak.

Pria itu pun tertawa. "Hmm. Ya. Tidak apa-apa, semua wanita yang saya pasti tergila-gila. Saya yakin kamu tidak berbeda dari mereka."

Aku tercengang. "Wow. Percaya diri sekali kamu, ya!"

"Saya hanya bicara fakta. Kamu kagum dengan ketampanan saya, kan?"

Aku memperhatikannya kembali. Ya, pria ini indah, tetapi juga sangat sombong. Sayang, itu adalah salah satu kualitas yang kubenci dari seorang pria. Pria seperti itu pasti seekor buaya.

"Apa yang kamu butuhkan dan kenapa kamu menyentuhku? Jika kamu sedang tersesat, tanyakanlah pada Google Map. Tanya mereka, jangan tanya saya!"

"Saya yakin Google Map tidak tahu namamu."

Bibirku menganga karena terkejut. "Apa!"

"Saya menepuk bahumu untuk menarik perhatianmu agar saya bisa menanyakan siapa namamu."

"Apa?"

Pria itu memutar matanya lalu menyodorkan tangan untuk menjabatku. "Hai, saya Carlos. Siapa namamu?"

"Jingga."

Carlos tersenyum.

"Jingga. Hmm ... nama yang bagus," ucapnya seraya melepaskan tangannya. "Sampai jumpa, JIng!" Setelah itu dia lewat di depanku lalu masuk ke mobil yang diparkir di sebelah mobilku.

Aku menggeleng dengan lembut. Apa yang baru saja terjadi sangat aneh. Aku kira pria itu ingin menanyakan arah sehingga menyentuhku, ternyata hanya menanyakan siapa namaku.

Aku menjadi gusar saat masuk ke mobil, setelah itu aku menuju ke unit kondominiumku.

####

Saat berkendara ke rumah orang tuanya, Carlos menelepon Radit, salah satu teman dekatnya yang memiliki koneksi ke Kantor Perhubungan Darat. Mereka adalah teman sekelas SMA-nya dan meskipun mereka memiliki mata kuliah yang berbeda di Perguruan Tinggi, mereka tidak pernah kehilangan komunikasi satu sama lain. Dia adalah salah satu teman sejati yang bisa Carlos hubungi.

"Hei, DIt. Bisakah saya meminta bantuanmu?"

Radit menjawab sinis, "Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya."

"Apakah saya masih harus bertanya apakah Anda baik-baik saja? Saya baru saja datang dari sana di bengkelmu."

"Memangnya mau minta bantu apa?"

"Saya akan kirimkan nomor platnya. Kamu bisa tidak mengetahui siapa pemiliknya dan di mana dia tinggal?"

Radit tertawa di seberang sana. "Woah, kamu sedang menguntit seseorang, ya?"

Carlos memutar matanya. "Untuk apa saya menguntit seseorang? Itu plat nomor orang yang sudah menabrak mobilku. Dia kabur. Untung saya dapat plat nomornya."

"Hilih ... masalah sepele saja, tidak usah membuatmu sibuk! Jangan mengejar pemiliknya. Biarkan saja. Bawa saja mobilmu ke bengkel dan saya akan memperbaikinya.”

"Kamu mau bantu tidak sebenarnya!"

Radit menghela napas. "Baik. Saya akan membantumu. Kirimkan saya nomor plat, nanti saya telpon kamu lagi.."

"Oke. Terima kasih."

"Tidak masalah."

Carlos mematikan panggilan lalu mengirimi Radit nomor plat. Setelah itu, dia melempar ponselnya ke dashboard, kemudian memusatkan seluruh perhatiannya ke jalan.

Setelah dua puluh menit, akhirnya dia tiba di rumah orang tuanya. Ponselnya berdering tepat pada waktunya. Dia mengambil ponsel di dasbor dan ketika melihat Radit yang menelepon, dia dengan cepat menjawabnya.

"Bagaimana, apa kamu sudah tahu siapa pemilik plat itu?" Carlos segera bertanya tepat saat menjawab panggilan.

"Ya. Mobil itu milik Jingga Amelia. Dua puluh sembilan tahun dan dia tinggal di Kondominium Mawar, lantai sepuluh, unit satu-nol-lima."

"Status?"

"Lajang." Radit pun tertawa. "Woy, kamu gak tanya kapan ulang tahunnya?"

"Tidak. Terima kasih."

"Oke."

Carlos mengakhiri panggilan dengan senyum di wajahnya. Jingga Amelia. Hmm. Nama yang bagus.

###

Sebelum Jingga memasuki Restoran Manda, dia mengatur gaun putih yang dia kenakan.

"Permisi, reservasi untuk Lodrick Gamez?"

Pelayan tersenyum padanya. "Lewat sini, Bu."

Jingga dibimbing ke meja di mana seorang pria ramping duduk dan mengenakan kacamata.

Sial! Jadi ini si Lodrick?

"Tuan Gamez, teman kencan Anda telah tiba." Pelayan berkata kepada pria itu dan JIngga merasa ngeri.

Dia mencoba tersenyum pada pria itu dan duduk di kursi kosong. "Hai, selamat malam."

"Selamat malam juga untukmu." Suara Lodrick pecah.

Jingga meringis. Apakah ini yang dikatakan ibu cocok untuknya? Tuhan!

"Saya Jingga Amelia."

"Ibumu benar, kamu sangat cantik."

Jingga tersenyum palsu. "Terima kasih."

Lodrick tersenyum. "Nama saya Lodrick. Hobi saya golf dan bowling." Dia tertawa dan terlihat cupu! "Ngomong-ngomong, saya sudah memesan untukmu. Saya yakin kamu akan menyukainya."

Ya Tuhan, tolong saya! Jingga diam-diam berdoa kepada tuhan.

Dia ingin berterima kasih kepada pelayan yang telah melayani pesanan Lodrick. Sambil makan, Lodrick bercerita tentang bisnisnya dan tempat-tempat yang pernah dia kunjungi. Dia hanya mengangguk mantap saat Lodrick menceritakan kisah itu. Dia tidak begitu tahu tapi satu jam sudah cukup untuk berbicara dengannya, sehingga dia tahu bahwa pria itu hanyalah salah satu dari orang-orang yang selalu menginginkan perhatian dan itulah yang paling tidak disukainya.

Dia benar-benar merasa lega ketika makan malam selesai. Ketika Lodrick menawarkan untuk mengantar, dia menolak. Ketika Lodrick bertanya apakah mereka bisa makan malam lagi dalam beberapa hari ke depan, dia menolak dan mengatakan kepadanya bahwa Lodrick bukan tipe prianya dan harus mencari wanita lain. Jingga merasa tidak enak, tapi itu lebih baik daripada membuat pria itu berharap.

Ketika kembali ke unit kondominiumnya, Jingga segera menanggalkan pakaian dan berbaring di tempat tidur. Tidak memakai apa-apa selain selimut. Dia memang seperti itu saat tidur, harus telanjang karena kalau tidak tidurnya tidak akan nyenyak.

Setelah beberapa menit memejamkan mata, rasa kantuk akhirnya merenggut kesadaran.

Keesokan paginya, Jingga terbangun karena suara yang berasal dari ponselnya. Dia perlahan membuka mata lalu meraih ponsel di meja nakas.

"Halo?" Suaranya masih terdengar mengantuk.

"Jingga Amelia! Kenapa kamu mempermalukan Lodrick!?" Ibunya berteriak marah dari seberang. "Dia hanya berusaha bersikap baik itu sebabnya dia memintamu berkencan lagi-"

"Ma, saya tidak menyukainya."

Keesokan paginya, harinya langsung hancur. "Saya tidak butuh kencan, oke? Lodrick bukan tipe saya. Jadi please, biarkan saya sendiri."

"Jangan kasar sama Ibu, Jing! Saya ibumu. Lodrick pria yang baik. Kalian berdua cocok."

Jingga menyipitkan matanya. "Ma, tolong, berhenti mengurusi percintaan saya!"

Jinga mematikan panggilan dan melepas baterai ponselnya. Dia tahu ibunya, tidak akan berhenti memanggilnya sampai dia setuju untuk berkencan dengan Lodrick lagi. Astaga! Apakah mengapa ibu tidak mengerti bahwa dia tidak menyukai Lodrick?

Alih-alih kembali tidur, dia bangkit dan berjalan ke dapur untuk menyeduh kopi. Dengan percaya dirinya dia berjalan telanjang di unit kondominiumnya karena dia tahu tidak ada yang bisa melihatnya.

Setelah membuat kopi, dia hendak menyetel musik. Sambil minum kopi, dia menggiling dengan mantap.

Ketika mendengar ketukan di pintu, dia mengecilkan volume speaker dan pergi ke pintu untuk mengecek siapa yang mengetuk.

Pintu dibuka. Jingga sangat syok ternyata pria yang mengetuk pintunya itu adalah pria yang menepuk bahunya di tempat parkir cafe.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" .

Pria itu tidak menjawabnya; dia hanya memandanginya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kemudian seringaian muncul dari bibirnya. "Apakah hari ini hari kelahiranmu, karena kamu benar-benar memiliki setelan hari lahir yang luar biasa."

Dahi Jingga berkerut. "Baju ulang tahun apa yang kamu katakan?" Bibirnya terbuka ketika melihat dirinya sendiri dan sadar bahwa tidak ada seutas benang pun menutupi tubuhnya. "Aaaaahh, sial!"

Dia membanting pintu seraya menutup mulutnya. Matanya melotot karena kaget. Dia hanya mematung di tempatnya berdiri saat tatapan pria itu membelainya seperti plakat rusak yang diputar ulang di otaknya. Mengapa saya lupa tidak mengenakan pakaian?

Dia terkejut mendengar ketukan lagi.

"Hei, buka!" Teriak dari luar. "Saya tidak melihat apa-apa, kok!"

Alih-alih menjawabnya, Jingga berlari ke kamarnya untuk berpakaian.

avataravatar
Next chapter