12 Tantangan Kyra

Aura kebahagiaan terpancar di wajah Viena. Dia tak pernah lelah melihat pria yang terbaring di sebelahnya. Viena meraih tangan Harrison, kemudian digenggamnya tangan itu. Perbedaan tangan di antara keduanya, membuatnya tersenyum.

Dia masih hafal kedua tangan Harrison yang menyentuhnya semalam. Dia bergerak perlahan untuk mencium tangan itu. Ciuman Viena menyadarkan Harrison sesaat. Harrison menarik Viena ke dalam pelukannya, kemudian menciumnya dengan liar. Selimut yang melekat di tubuh Viena terlepas begitu saja.

Tubuh polos wanita itu terekspos dengan sempurna. Viena sempat kaget pria itu menciumnya. Namun, ia membiarkan pria itu melakukan apa yang ia inginkan. Tak hanya itu, tangan Harrison bergerak tak menentu. Sentuhan Harrison menghanyutkan Viena dalam sekejap.

Dia berpikir Harrison masih belum puas dengan dirinya. Namun, ciuman dan sentuhan itu tak berlangsung lama. Harrison mendorongnya. Dia melihat sosok Viena yang tak memakai busana apa pun. Awalnya, ia berpikir perempuan di sampingnya adalah Kyra.

"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Harrison seraya mengerjapkan mata. Ia melihat dirinya yang sudah tak berpakaian, dia bahkan tak ingat apa yang terjadi di antara mereka berdua.

"Tuan muda, apa anda tidak ingat apa yang terjadi semalam?" Viena merasakan gugup, kedua tangannya menjadi dingin seketika. Harrison menggelengkan kepala.

"Ini tidak mungkin!" Harrison memegang kepalanya. Dia mencoba mengingat-ingat insiden di antara mereka. Namun, kepalanya terasa pusing. Dia tak dapat mengingat apa pun. "Jam berapa sekarang?" tanya Harrison, ia berpikir untuk melupakannya.

"Jam sembilan pagi, Tuan."

"Sial! Apa ada yang mengetuk pintu kamar ini?"

"Saya sama sekali tidak mendengarnya."

"Kamu sudah bangun dari tadi?"

"I-iya."

"Kenapa tidak membangunkanku?"

"Saya tidak tega membangunkan tuan muda. Anda tidur begitu pulas," ungkap Viena. Harrison menghembuskan nafas agak kasar, ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Viena menundukkan kepala.

"Maaf, membuatmu menderita, tetapi aku tidak ingin ada satu orang yang tahu di antara kita. Jangan sampai hal ini diketahui oleh yang lain, termasuk Keenan."

Harrison menggenggam tangan Viena. Ia merasa bersalah. Bercak darah tampak di kasur. Itu menjelaskan kalau Harrison telah mengambil kesucian Viena. Dia memijat kepalanya.

"Vien, aku…"

"Tuan muda, saya tidak pernah menyesal atas apa yang terjadi semalam, tetapi saya menjamin tidak ada yang tahu soal kejadian ini. Saya juga tidak mau posisi tuan muda begitu rumit. Bagaimanapun juga, saya hanyalah gadis biasa. Jika sesuatu terjadi, saya…"

"Viena, sudah kubilang kalau aku tidak pernah memandangmu dari status. Aku paling benci jika seseorang menyangkut pautkan soal status."

"Maafkan saya. Gara-gara saya, tuan muda mengingat masa lalu."

"Aku tidak apa-apa. Terima kasih selama ini kamu berada disisiku," ucap Harrison dengan tulus.

"Saya tidak pernah lelah untuk berada di sisi tuan muda. Apa pun yang terjadi, saya tidak akan meninggalkan anda," kata Viena seraya menampakkan senyuman yang tulus.

"Kalau begitu, pakailah bajumu! Apa kamu masih ingin mempertontonkan bentuk tubuhmu itu padaku?"

"Ba-baiklah." Viena menunduk malu.

Dia tak sadar kalau tubuhnya tidak ditutupi dengan selimut. Walau dimata Kyra, Harrison merupakan pria brengsek, namun bagi Viena, pria itu begitu lembut. Harrison membalikan badan saat wanita itu memakai pakaiannya.

"Tuan muda, saya sudah selesai."

"Kamu boleh pergi. Kalau ada seseorang yang melihatmu dari kamarku, bilang saja kalau kamu membersihkan kamarku."

"Baik, Tuan muda."

"Oh ya, mana yang lain? Kenapa aku merasa begitu sunyi. Biasanya, jam segini Keenan meneleponku. Namun, tak ada panggilan apapun di ponselku." Harrison memeriksa handphonenya.

"Saya juga tidak tahu soal itu, tetapi…"

"Ada apa? Apa sesuatu telah terjadi?"

"Saya mendengar teriakan dan tangisan seorang perempuan."

"Suara perempuan?" tanya Harrison.

"Mungkin saja perempuan yang kemarin, Tuan muda," jawab Viena.

Harrison tampak berpikir sejenak. "Ah, perempuan itu." Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang bergejolak ketika Viena menyebut tentang wanita tersebut. Dia ingin menemui Kyra. Dia mengenakan pakaiannya dengan gerakan cepat. "Kenapa kamu diam saja? Cepat, kamu keluar dulu!"

"I-iya, Tuan muda," ucap Viena sambil menundukkan kepala.

Sebenarnya, ia tak suka Harrison lebih mengkhawatirkan Kyra dibandingkan dirinya. Dia seakan-akan tak berharga dimata pria itu. Padahal, ia selalu berada di sisinya selama ini. Hatinya sakit seperti ditusuk-tusuk oleh benda tajam.

Walau perbedaan status di antara mereka sangatlah besar, ia berharap Harrison memiliki sedikit saja perasaan terhadapnya. Akankah itu mungkin? Hati dan pikiran Harrison telah dipenuhi Kyra.

Dia akui, gadis itu memang cantik dan terkadang kasihan melihat nasibnya. Namun, bolehkah ia egois untuk memiliki pria itu?

                          *******

Harrison turun dari tangga. Dia menatap Kyra dengan wajah sembab. Pria itu menyeringai. Dia menghapus air mata itu dengan lidahnya. Kyra kaget dengan kedatangan Harrison yang mengejutkannya. Devano datang sambil memeluk pinggang Kyra.

Kedua pria itu bertatapan tajam. Mereka seperti rival yang saling membunuh kapan saja. Mereka tak pernah mengalah dan selalu menonjolkan diri.

"Karena kalian sudah disini, permainan akan dimulai," kata Keenan. Dia menjentikkan jari. Melisa dan Shana datang membawa lima rubik. Pria itu menyeringai.

"Permainan apa?" tanya Harrison.

"Permainan rubik. Siapa yang paling cepat, boleh mendapatkan perempuan itu, tetapi dengan satu syarat."

"Apa syaratnya?" tanya Cavero.

"Aku yang memilih siapa pemenangnya," sahut Kyra. Dia menatap tajam. Walau ia dirundung kecemasan, ia tak boleh bergerak mundur. Karena sudah seperti ini, ia juga memiliki aturan sendiri.

"Jadi, kamu tidak akan kabur dari permainan ini lagi?" Sorotan mata Keenan cukup tajam. Bibirnya menampakkan sejuta kelicikan.

"Aku terima tantangannya, asalkan kalian juga menerima tiga syarat dariku."

"Baiklah. Apa syaratnya?"

"Syarat pertama, aku bebas menentukan siapa pemenangnya."

"Lalu, apa syarat kedua?"

"Tidak ada yang boleh menyentuhku."

"Hahaha… Cantik, kalau tidak menyentuhmu, bagaimana permainan ini akan menarik?" celetuk Harrison.

"Aku setuju," kata Xyever tiba-tiba.

"Ternyata kamu datang juga," ujar Keenan.

"Aku tidak mungkin melewati permainan yang seru ini. Apalagi, taruhannya adalah gadis cantik ini," kata Xyever.

Dia menggunakan jari telunjuknya untuk menyentuh dagu Kyra. Wanita itu membuang muka.

"Apa kamu keberatan dengan syaratku, Keenan?"

"Walau syaratmu tidak sesuai dengan keinginan kami, tetapi aku akan mempertimbangkannya."

"Aku tahu cara berpikirmu lebih bijak dibandingkan mereka."

"Lalu, bagaimana dengan syarat ketigamu?" tanya Keenan.

"Aku ingin bebas selamanya, jika tidak ada satu orang yang menang dalam permainan ini."

"Aku setuju."

"Tetapi, bagaimana dengan aturan mainnya? Apa hanya memainkan rubik tanpa sesuatu yang lain? " tanya Harrison.

"Permainan ini tidak seru, jika hanya dimainkan didalam ruangan saja. Aku ingin kalian semua bermain di dalam air. Bagaimana?" kata Kyra.

"Air bukan hal yang sulit," ucap Cavero.

"Aku menambahkan aturan main selanjutnya. Kalian boleh saling menyerang untuk menjatuhkan rubik yang lain. Jika rubiknya dipegang oleh gadis itu, dialah yang akan kalah," ujar Keenan.

"Aku juga menambahkan syarat yang keempat," kata Kyra.

"Apa itu?"

"Kamu harus ikut dalam permainan ini dan itu juga berlaku bagi yang lain. Tak ada satu orang pun yang absen dari permainan ini." Cavero tersenyum ketika mendengar syarat yang diajukan Kyra.

"Kamu begitu menginginkanku ya, begitu senangnya aku ikut dalam permainan ini," goda Keenan.

"Aku hanya ingin semuanya adil."

"Kalau begitu, ayo kita mulai." Harrison tak henti memandang Kyra.

Sepertinya, ia punya rencana lain untuk memanfaatkan keadaan ini. Dan permainan pun akan segera dimulai. Hal licik apa yang akan dimainkan pria-pria itu?

avataravatar
Next chapter