14 Permainan belum berakhir

Devano melihat belahan dada Kyra yang tampak menawan. Dia tertegun sesaat. Devano salah tingkah. "Ka-kamu memakai bikini ini terlihat cantik." Devano mengatakannya dengan wajah yang merah. Pria manis itu tak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya.

"Semua pria memang lebih tertarik perempuan sexy dibandingkan wanita yang mengenakan kemeja dan celana panjang," sindir Kyra.

"Enggak juga. Kalau kamu yang pakai, kamu tetap seperti bidadari yang turun dari hatiku."

"Walau wajahku sudah berubah, apa aku masih terlihat cantik?"

"Tentu saja."

"Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Karena kamu."

"Karena aku?"

"Kamu ibarat dewi yang tiada tandingan di dunia ini. Tak peduli di luar sana banyak perempuan yang cantik atau wajahmu berbeda dari mereka, hatiku tidak akan berubah untuk menempel dengan hatimu," kata Devano.

Mungkin, jika perempuan lain, mereka akan tersipu malu atau mereka terus berangan-angan ingin bersama Devano. Sayang, perempuan yang di hadapannya adalah Kyra Reinhard, dia sama sekali tidak tertarik dengan Devano.

Semakin banyak kata-kata manis dari mulut Devano, wanita itu ingin menendang atau memukulnya. Hal itu tak ia lakukan karena tatapannya beralih pada rubik yang berada di tangan Devano. Kyra memberanikan diri untuk melangkah lebih dekat.

Devano merasakan getaran hebat di sekujur tubuhnya. Terlebih lagi, nafas Kyra terasa di telinga Devano. Ketika Devano lengah, rubik terambil dari tangan pria itu. Kyra tersenyum lebar. Ketika ia membalikan badan, Devano memeluknya dari belakang.

"Kamu boleh mendapatkan semua apa yang kamu mau dariku, termasuk hatiku." Devano terhanyut pada aroma tubuh Kyra. Ciuman manis terasa di leher Kyra. Wanita itu tak berkutik karena Devano mempererat pelukannya.

Semakin lama, Devano bergerak tak terkendali. Ia menyentuh tangan Kyra hingga keduanya saling bertatapan. Devano mencium bibir Kyra secara intens. Dia tak ingin melepaskan ciuman itu. Walau ia telah melanggar aturan permainan, ia tak peduli.

Pukulan mendarat pada punggung Devano. Dia membalikkan badan, sepasang mata menampakkan kebencian yang tiada habisnya. Sosok itu merupakan Harrison. Devano kesal, ia berniat membalasnya, tetapi Xyever memisahkan keduanya.

Dia tidak sengaja menjatuhkan rubik miliknya. Kyra mengambil rubik itu dengan senyuman lembut. Dia telah mendapatkan dua rubik. Tinggal tiga rubik lagi, ia akan mengakhiri permainan itu.

Akan tetapi, Keenan meneriaki kemenangannya terlebih dahulu. Pada detik berikutnya, Harrison, Devano, dan Xyever melihat Keenan dengan tatapan tak percaya. Harrison tak mengira Keenan menyelesaikan rubik secepat itu.

Dia yakin kalau Keenan sempat kehilangan kendali ketika air mengacaukannya. Namun, apa yang ia lihat saat ini berbanding terbalik dengan apa yang ia pikirkan. Senyuman menawan terlihat jelas pada bibir Keenan. Dia melihat Kyra.

"Gadis kecil, siapa pemenangnya kali ini?"

"Kamu."

"Apa? Aku enggak mendengar. Suaramu kurang jelas," kata Keenan. Kyra menggertakkan gigi karena kesal.

"Kamu pemenangnya! Tetapi, ini masih babak awal. Kamu belum tentu menang pada dua babak selanjutnya."

"Kalau aku menang secara keseluruhan, hadiah apa yang ingin kamu berikan?"

"Tidak ada. Meskipun kamu menang, aku tidak akan memberikan apa-apa."

"Kamu harus membayar mahal atas tindakanmu selama ini sama aku," bisik Keenan. Pria itu tak ingin melepaskan Kyra. Sepasang matanya mengandung trik yang akan menjerat wanita itu.

"Itu kalau kamu menang. Ingat, kamu tidak boleh meremehkan musuhmu, mereka bisa saja mengalahkanmu dengan cepat."

"Kamu tidak perlu mengingatkanku. Aku akan mengalahkan mereka semua," ujar Keenan sambil menyentuh dagu Kyra.

Harrison dan Devano tak suka cara Keenan memperlakukan Kyra. Wajah Kyra yang tak terlepas dari tatapan Harrison, membuat Viena cemburu.

Dia bergetar, tak terasa air mata mengalir dari sudut matanya. Melisa dan Shana tak begitu memperhatikan Viena.

"Melisa!" panggil Keenan.

"Iya, Tuan muda." Melisa berjalan cepat untuk memenuhi panggilan tuannya.

"Apa masih lama waktu yang tersisa?"

"Masih, Tuan. Jam pasir ini masih terlihat agak utuh. Belum setengah pasir yang terjatuh."

"Kalau begitu, babak selanjutnya akan dimulai."

"Apa aturannya masih sama?" tanya Xyever.

"Kalau aturannya sama, itu tidak akan seru," sahut Harrison.

"Benar. Aku rasa permainan pada babak barusan kurang seru. Kita perlu menambahkan satu aturan lagi," ujar Cavero.

"Apa itu?" tanya Keenan.

"Dia harus menari tarian ular," jawab Cavero sambil menunjuk Kyra.

"Apa? Kamu gila?" Kyra mengepalkan kedua tangannya.

"Kenapa? Kamu tidak sanggup? Atau mungkin, kamu lebih suka berbuat yang lebih intim?" godanya.

"Kamu…"

"Aku setuju. Kita bisa menambahkan ini pada aturan babak kedua," ucap Keenan.

"Kalian semua enggak waras!"

"Itu sebuah tantangan baru. Menurutku itu sangat menarik. Aku juga setuju dalam hal ini," kata Xyever.

"Mereka benar. Aku ingin melihat tubuhmu bergerak dengan indah. Itu akan menjadi tontonan yang menarik." Harrison mendekatkan wajahnya pada wajah Kyra.

Tak ada debaran jantung yang wanita itu rasakan. Hanya kebencian yang tersirat dalam benaknya. Devano hanya berdiam diri, ia tak bersuara. Pria itu melihat Kyra dengan wajah sedih. Tiba-tiba ada ide yang terlintas di benaknya.

"Bagaimana kalau kita semua menutup mata?" kata Devano.

"Kenapa harus menutup mata?" tanya Cavero, keningnya berkerut.

"Apa yang si bodoh ini katakan? Apa mungkin, ia mencoba untuk menggagalkan permainan itu?" batin Harrison.

"Bukankah sangat menarik kalau bermain rubik dengan menutup mata? Kita saling berbentuk lingkaran dan nona itu berada di tengah. Dia tetap menari tanpa menutup mata. Dia berhak merebut rubik ditangan kita. Itu akan menjadi tantangan sulit untuk menyelesaikan rubik itu. Bagaimana?"

"Aku kurang setuju," ujar Harrison. Devano tak senang. Dia merasa kakaknya akan menggagalkan rencananya.

"Apa kakak punya ide yang lebih bagus dibandingkan ideku?"

"Tentu saja. Ide ini lebih mendebarkan dan menggairahkan."

"Apa itu?"

"Ketika dia menari tarian ular, ia harus menari dengan tutup mata. Dia harus menebak siapa yang ia sentuh. Kalau ia gagal, pria itu bebas melakukan apapun. Namun, bila ia menang, ia dapat menghukum pria itu dengan caranya. Dalam hal ini, aturan tidak akan berlaku. Bagaimana? Bukankah ideku lebih menarik?"

"Jadi, babak kedua tidak berhubungan dengan rubik lagi," sahut Xyever sambil mengangguk mengerti.

"Kamu memanfaatkan keadaan ini hanya untuk melecehkanku. Menurutmu, aku terima tantangan ini? Aku enggak akan!" teriak Kyra.

"Aku setuju. Tetapi, ada yang ku ubah dari ide Harrison," sahut Keenan. Tatapan tak terlepas dari kedua mata Kyra. Kebenciannya terhadap pria itu semakin menguat.

"Siapa yang akan menang akan menjadi sang raja. Dia juga bebas menentukan aturan permainan pada babak ketiga. Semua pemenang dari babak kedua akan di tanding lagi untuk menjadi raja selanjutnya pada babak ketiga. Lalu…"

"Kalau aku yang menang, maka rajanya adalah aku. Walau ada satu di antara kalian yang menang pada babak kedua, tetaplah aku yang dihitung pemenangnya. Bagaimana?" potong Kyra.

"Aku tidak setuju. Ini terdengar tidak adil terhadap pemenang yang lain." Cavero melipat kedua tangannya.

"Oh ya satu lagi, ada yang ingin ku tambahkan dari itu, ketika aku kalah tidak ada yang boleh membuat pakaian dalamku bergerak. Jika pakaian dalamku tersentuh, maka orang itu tidak berhak berada di babak ketiga. Bagaimana? Apa kamu setuju?" Kyra menatap Keenan.

Pria itu tertawa pelan. Jawaban apa yang keluar dari bibirnya?

avataravatar
Next chapter