20 Kedatangan Regina

Eileen menatap putranya agak lama, lalu memutuskan untuk berdiri. Ia berjalan menjauhi Cavero. Pria itu mengerutkan kening. "Ma, pembicaraan kita belum selesai. Mama mau kemana?"

"Mama haus, mau minum dulu," ucap Eileen sambil mengambil air di dispenser yang ada di kamarnya. "Kamu enggak minum?" tanya Eileen. Cavero menggelengkan kepala. Ia tak memikirkan rasa haus atau rasa yang lainnya. Ia hanya memikirkan rencana untuk menyingkirkan Keenan. Eileen tersenyum melihatnya.

"Ma, ayo duduk lagi kemari! Jangan lama-lama minumnya," kata Cavero, bersikap tak sabar. Eileen menghabiskan air yang ia minum hanya dalam tiga kali tegukan.

"Hampir saja mama tersedak. Kalau sampai mama pergi ke rumah sakit gara-gara kamu, lalu mama di operasi, papamu tidak akan melirik mamamu lagi.

"Enggak mungkin separah itu, Ma. Mana ada orang di dunia ini di operasi gara-gara tersedak air."

Cavero mendengus kesal. Ia mengacak-acak rambutnya. Hingga saat ini, ia belum mendapatkan pencerahan dari ibunya. Mungkinkah ia akan menyerah? Eileen menikmati air yang dipegangnya. Ia meminumnya begitu anggun dan terlihat santai. Butuh agak lama ia membuka suara.

"Cav, untuk menghadapi Keenan kamu tidak perlu bertindak impulsif, kamu hanya perlu bertindak ketika ia lengah."

"Bertindak ketika ia lengah? Jadi, maksud mama, aku harus mengawasinya dan buat dia percaya denganku kalau aku bisa diandalkan, lalu ketika ia menunjukkan sisi lemahnya, aku langsung bergerak?" ucap Cavero.

"Akhirnya, kamu mengerti juga. Keenan sama seperti papamu, mereka sama-sama licik. Untuk menghadapi orang yang licik seperti mereka, kita harus sepuluh kali lipat lebih licik dibandingkan mereka. Jika Keenan bergerak satu langkah, kamu harus bergerak sepuluh langkah di depannya."

"Aku mengerti. Aku akan berpikir lebih rasional lagi."

"Ingat, jangan pernah mengandalkan emosimu. Karena emosi belum tentu dapat menyelesaikan masalah."

"Baik, Ma. Aku paham," kata Cavero.

Ia telah menyusun rencana yang matang pada benaknya. Rencana apa yang ia miliki untuk Keenan? Akankah rencananya akan berhasil atau justru berbalik menyerangnya? Senyuman iblis tampak dibalik pintu. Ia mendengar semua percakapan mereka.

Tatapan misterius, tetapi mengandung sinyal yang berbahaya. Siapakah orang itu? Akankah kehadirannya menjadi penghalang bagi Cavero? Tak lama, sosok itu pergi dari sana.

Ketika berjalan beberapa langkah, ia bertabrakan dengan asisten rumah tangga tanpa sengaja. Ia hanya tersenyum sebelum meninggalkan asisten rumah tangga itu.

                         ******

Keenan berdiri sambil menikmati air es. Rasa dingin dari es itu tak digubris. Walau telah meminum air es dengan harapan dapat menghilangkan kepenatan hatinya, itu hanya sia-sia saja. Pikirannya terkoyak-koyak, hatinya bergerilya seakan ingin perang. Perasaannya campur aduk.

"Selama ini papa terlalu mempercayai Devano. Kepercayaan papa padanya berlebihan dan itu tidak seperti perilaku papa padaku selama ini. Aku bertahun-tahun mendapatkan pengakuan papa, lalu Devano hanya mengatakan beberapa kata saja, papa langsung menyetujuinya. Ini sungguh tidak adil," gumam Keenan.

Karena begitu lama memikirkan itu, kepalanya mulai sakit, ia memijat kepalanya, berusaha untuk melupakan semua itu dalam sejenak. Tiba-tiba ia teringat sesuatu yang lain. "Oh ya, bagaimana kabar David?"

Keenan mengambil ponselnya, lalu memeriksa kiriman gambar dari David. Rumah dengan desain bergaya korea dengan dinding berwarna putih, membuat Keenan menyipitkan kedua matanya. Ia masih belum menyimpulkan rumah siapa itu dan dari keluarga mana Kyra berasal.

Tak mau terlalu lama menerka-nerka, ia menghubungi salah satu kaki tangannya dan berharap orang itu dapat membantunya. Mereka pun berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Berbicara di telepon tak enak, lebih enak langsung mengobrol sambil menikmati secangkir kopi.

Padahal, baru dua jam yang lalu Keenan menghabiskan teh, kini ia malah minum kopi. Terlalu berdekatan untuk meminum dua minuman yang sama-sama mengandung kadar kafein yang tinggi juga tak baik. Ia tak terlalu memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan pada tubuhnya. Aroma kopi memabukkannya sesaat.

Dia menunggu seorang barista untuk membuat kopi yang enak. Kebetulan barista itu seorang gadis berusia 20 tahun. Walau masih muda, ia sangat terampil dalam membuat kopi. Dia menatap Keenan diam-diam. Bukan pertama kali Keenan datang kesana.

Tiap kali Keenan membeli atau menikmati kopi di kedai itu, ia selalu memperhatikannya. Dia suka senyum-senyum sendiri melihat wajah Keenan yang tampan. Jantungnya berdegup tak karuan. Pikirannya kacau dengan wajah Keenan yang terbayang-bayang dalam benaknya, menciptakan kehangatan yang sulit ia singkirkan.

"Mana kopiku? Kenapa lama sekali?" tanya Keenan dengan suara seksinya. Gadis itu salah tingkah, tanpa sadar ia malah menumpahkan kopi yang ia racik.

"Ma-maaf kopinya tumpah. Aku akan membuat kopi nya lagi," sesalnya seraya menundukkan kepala. Ini pertama kali ia melakukan kecerobohan seperti itu.

"Kedai kopi ini sangat tidak kompeten memiliki barista sepertimu. Aku bisa saja membuatmu dipecat dari kedai ini," ancamnya. Wajah barista itu tak terlepas dari tatapan mata Keenan yang tajam. Barista itu semakin gugup, dia tak menyangka Keenan segalak itu padanya.

Bukan membenci Keenan karena bersikap galak, ia malah tersenyum. Sikap Keenan yang galak membuatnya semakin mempesona, itu yang dipikirkan barista. Itu lah dinamakan budak cinta. Tak peduli seburuk apa pria yang disukainya, ia tetap berapi-api tanpa peduli hal lainnya.

Kopi diberikan untuk Keenan tanpa melepaskan senyumannya. Keenan bersikap dingin, tak peduli dengan perempuan itu. Beberapa menit kemudian, orang yang ditunggu-tunggu datang juga. Ia melambaikan tangan sekadar menyapa Keenan.

"Hei, apa kabar?" kata sosok itu.

"Aku baik. Aku tidak butuh penyapaan, aku hanya butuh kamu melakukan sesuatu untukku."

"Kamu ini tidak pernah berubah, selalu seperti ini. Kalau wajahmu enggak ganteng, mungkin tidak akan ada perempuan yang melirikmu."

"Wajah jelek bisa ditutupi dengan segala cara, uang bisa menutupi segalanya. Namun, pria yang kekurangan uang akan terlihat buruk."

"Duh, iya aja dah untuk pria casablanca sepertimu."

"Casanova bukan casablanca, Regina" kata Keenan. Ia mendengus kesal.

"Ya udah, kamu mau minta bantuan apa? Sudah lama, kamu tidak meminta bantuan dariku, tetapi kalau kita ketemu selalu saja membutuhkan bantuanku. Kenapa kita tidak pergi memancing atau pergi kemana gitu?"

Walau Regina seorang perempuan, ia menggemari kesukaan pria, seperti motor racing, memancing, dan hal-hal yang memicu adrenalin. Ia belum bisa menyingkirkan hobinya itu. Namun, hubungannya dengan Keenan murni berteman. Dari dulu, ia tak pernah memendam rasa pada Keenan, begitu juga sebaliknya.

Mereka pernah bertemu sejak duduk di bangku sekolah dasar, tetapi perbedaan kelas mereka cukup jauh. Saat itu Keenan kelas 6 SD, sedangkan Regina kelas 2 SD.

Namun, siapa sangka mereka dipertemukan kembali saat Keenan membutuhkan seseorang yang berkompeten, pandai dalam menyelidiki sesuatu.

Saat itu, ia belum bertemu dengan David, ia masih kuliah di London. Ketika ia agak frustasi mencari siapa orang yang bisa diandalkan, ia melempar kaleng minuman bersoda dengan serampangan yang isinya habis ia minum, tanpa sengaja kaleng itu mengenai Regina.

Pertemuan yang tak sengaja itu membuat mereka semakin dekat. Apalagi, saat itu Regina kehilangan pekerjaannya karena misinya yang gagal dalam menjalankan pekerjaannya sebagai agen rahasia.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Saksikan terus cerita Regina yang seru dan bikin nagih!

avataravatar
Next chapter