8 Belenggu

Hari semakin malam, Kyra tak beranjak dari kasur. Tatapannya kosong sama seperti hatinya. Harrison menatapnya agak iba. "Nih, minum dulu," ucap pria itu seraya memberikan air putih pada Kyra.

"Untuk apa?"

"Bibirmu kering, minumlah."

"Hahaha… Apa gunanya itu?" seru Kyra bersuara lantang.

"Kamu beruntung, setidaknya aku masih punya belas kasihan." Harrison menyentuh dagu Kyra sambil menekannya.

"Kenapa tidak membunuhku aja, daripada hidup seperti ini?"

"Sudahlah, jangan sok suci! Ini sudah bukan pertama kali buat kita, kan?"

"Kamu sangat menjijikkan, sama seperti mereka."

"Aku menjijikkan? Mereka lebih menjijikkan dibandingkan aku. Kamu beruntung tidak mati saat memasuki green house kami. Kamu tahu, siapa yang membuat ide pertama kali untuk mempertahankanmu?"

"Siapa?"

"Itu aku. Kamu berhutang nyawa denganku sampai kamu mati. Namun, hutang itu akan terbayar lunas, asalkan kamu mau menuruti semua permintaanku."

"Lebih baik kamu bunuh aku saja. Aku tidak ingin hidup. Hutangku juga bisa lunas dengan kematianku."

"Dasar tidak tahu diri!" Harrison menampar Kyra hingga bibirnya bengkak.

"Kamu tetap di sini dan jangan pernah berharap untuk keluar dari kamar ini, sebelum aku mengizinkanmu," ujar Harrison seraya menatap tajam. Ia meninggalkan Kyra seorang diri.

Kyra tertawa lemah, ia sudah tak punya harapan untuk hidup lagi. Kyra meninggalkan kamar itu tanpa berpakaian. Ia sudah tidak berharga lagi, untuk apa ia mengenakan pakaian yang telah dirobek Harrison?

Seorang gadis memberinya selimut karena prihatin apa yang menimpa Kyra. Kyra membuang selimut itu. Ia sudah tak peduli lagi. Gadis itu tak menyerah. Ia terus mengikuti Kyra sambil memberikan selimut padanya.

"Hentikan! Jangan menatapku seperti itu!"

"Nona, saya bisa merasakan apa yang anda rasakan. Tetapi, maaf saya tidak bisa membantu banyak. Saya hanya bekerja sebagai pembantu di green house ini," ujar gadis itu seraya menundukkan kepala.

"Siapa namamu?"

"Viena, Nona," jawab gadis itu. Ia tersenyum lembut.

"Berapa lama kamu bekerja di rumah ini?"

"Sebenarnya, saya lahir dan tumbuh di grand royal house. Ketika umur saya menginjak 7 tahun, saya mulai membantu pekerjaan ibu saya. Lambat laun, ibu saya sudah cukup tua untuk bekerja menjadi pembantu di sana. Lalu, saya memutuskan untuk menggantikannya hingga sekarang."

"Aku tidak tahu apa-apa soal itu. Banyak yang tidak kumengerti. Terlebih lagi, mereka semua binatang. Mereka hanya mementingkan tentang ego mereka sendiri."

Air mata Kyra pecah. Hatinya begitu pilu seakan-akan tertusuk ribuan pisau dalam sekejab. Jantungnya bergerak tak seperti biasanya. Pikirannya terlalu rumit. Dari dulu, ia tak pernah sekacau ini. Kenapa dia merasa, hidupnya seperti sebuah mainan yang tiada habis?

Viena memeluk Kyra. Sebagai sesama perempuan, ia bisa mengerti apa yang Kyra rasakan. Ia tahu, ia tak dapat membantu. Bahkan, jika ia membantu Kyra, ia takkan pernah lepas dari genggaman keluarga Wilson itu. Mereka sangat mengerikan. Nyawa seperti taruhan yang bisa mereka beli kapan pun.

Mungkin, mereka terbiasa hidup di lingkungan keluarga yang keras. Seharusnya, seorang kepala keluarga dapat membimbing anak-anaknya ke jalan yang benar, bukan makian serta pukulan yang mereka dapatkan. Ayah mereka tak seperti ayah lainnya yang memperlakukan mereka dengan lembut.

Dia pria ambisius dan sangat kejam. Bahkan, lebih kejam dari istri dan anak-anaknya. Sebenarnya, sifat itu ia dapatkan dari ibunya yang terus mengajarkannya untuk menjadi orang yang sukses, tak peduli jika harus menggunakan cara yang kotor.

Ajaran seperti itu menyebabkan sikapnya menjadi otoriter, apalagi terhadap istri dan anak-anaknya. Walau begitu, tak sedikit orang yang berpura-pura mendapatkan simpatinya demi kedudukan semata.

Mereka datang tanpa hati yang tulus untuk memanfaatkan pria itu. Namun, pria itu tak pernah peduli dengan mereka yang tak pernah memberikannya keuntungan. Posisinya sebagai salah satu pria terkaya se-Asia, tak membuatnya merendahkan diri.

Ia terlalu sombong menganggap dirinya yang paling sempurna. Hartanya takkan habis tujuh keturunan. Bahkan, belasan turunan pun juga takkan menipis. Hal itu menyebabkan istri dan anak-anaknya semakin menyombongkan diri.

Mereka beranggapan uang seperti mesin yang dapat dicetak hanya dengan menjentikkan jari. Uang tidak pernah menjadi masalah yang rumit. Salah satu anak yang memiliki 50% dari sifat otoriternya adalah Keenan.

Mungkin, karena anak pertama menjadikannya hampir mirip seperti sang ayah. Jangan pernah menyinggungnya, jika tidak mau bernasib sial seperti Kyra. Jika dari awal ia tak menentang Keenan, mungkin Kyra takkan bernasib seperti itu.

Mungkinkah ia membenci Keenan karena dialah penyebab dari penderitaannya? Kenyataannya, Kyra bukan hanya membenci Keenan saja, melainkan seluruh penghuni green house.

Walau ia menangis darah, tak membuat penderitaannya berhenti begitu saja. Takdir memang begitu kejam terhadap wanita itu. Tak ada satu orang di dunia ini yang menginginkan penderitaan. Segala kesedihan Kyra mungkin bukanlah satu-satunya di dunia.

Namun, penderitaan yang ia alami akan tetap membekas sampai kapan pun. Viena tak pernah lelah menemaninya. Walau rasa lapar menggerogoti perut Kyra, tak memungkinkannya untuk makan di saat seperti itu.

Hatinya lebih sakit ketimbang perutnya yang lapar. Viena mengusap punggungnya, seraya memberikan pakaian pelayan untuknya karena hanya pakaian itu yang ada.

"Pakaian itu cocok untukmu." Suara khas itu membuat Kyra bergerak mundur.

"Tuan muda Keenan!" sapa Viena sambil menundukkan kepala.

"Kamu boleh pergi. Biar dia jadi urusan saya."

"Baik, Tuan."

"Ma-mau apa kamu?"

"Tenang, aku enggak akan berbuat seperti Harrison lakukan kemarin. Aku hanya ingin melihat keadaanmu saja."

"Kamu senang melihatku seperti ini? Kamu merasa puas dengan hidupku?"

"Itu bukan salahku. Itu semua salahmu. Andai kamu bersikap lebih lembut sedikit terhadapku, mungkin itu tidak akan terjadi dan Harrison tak akan seliar itu," bisik Keenan bernada dingin.

Kyra menampar Keenan dengan berani. Ia menatap tajam. "Kamu sampah! Pergi dari hadapanku! Kamu begitu menjijikkan!" seru Kyra.

"Gadis kecil, permainan baru saja dimulai, aku masih belum mendapatkan klimaksnya. Kamu tahu seperti sebuah film, takkan seru jika alurnya seperti itu-itu aja atau jika langsung tamat dengan cepat. Kamu harus bisa mengikuti permainan kami sampai tuntas," bisik Keenan. Pria itu seperti iblis yang takkan pernah melepaskan Kyra.

"Kenapa harus aku? Dari awal aku tidak menginginkan hal ini dan juga tidak pernah menyinggung kalian sebelum itu. Ke-kenapa?"

"Soal itu kamu harus tanyakan pada seseorang yang menggerakkan catur itu."

"Apa maksudmu?"

"Apa menurutmu, aku yang membawamu ke tempat ini?"

"Bukankah kamu suka mempermainkan hidup seseorang? Jika bukan kamu, lalu siapa?"

"Soal itu aku juga tidak tahu. Kami hanya melihatmu berjalan kesini seorang diri. Lalu, Harrison berpikir untuk mempertahankanmu dan sejak saat itu kamu menjadi mainan kami," ungkap Keenan sambil tersenyum miring.

"Lalu, bagaimana tadi? Apa kamu juga tidak tahu?" tanya Kyra. Keenan menggelengkan kepala.

"Kamu harus tanyakan pada dirimu sendiri, mungkin kamu punya musuh yang ingin menghancurkanmu dan dia tahu tentang tempat ini dan semua aturannya."

"Aku tidak berpikir punya musuh. Aku enggak tahu!" seru gadis itu.

Siapa orang yang berani mempermainkan hidupnya? Bahkan, ia tak ingat berjalan sendirian ke green house. Memikirkan itu, membuat Kyra memegang kepalanya. Ia merasakan sakit kepala yang cukup hebat. Tiba-tiba Kyra tak sadarkan diri. Kennan meraihnya ke dalam pelukannya.

"Dasar merepotkan!" kesal Keenan seraya menggendong Kyra.

avataravatar
Next chapter