webnovel

Lisya, The Guardian of Nature

Elf, dikenal sebagai ras yang paling dekat dengan alam, bersahabat dengan makhluk hidup, berhubungan baik dengan para roh, juga satu satunya ras di dunia yang mampu menggunakan sihir alam. Selama ini elf telah mengisolasi diri mereka dari dunia luar demi melindungi 'pusaka' yang telah ada sejak dahulu kala. Diberkahi dengan sihir unik, elf tidak mengenal 'teknologi' dunia luar. Hingga... kelahiran seorang anak elf mengubah takdir seluruh rasnya. Dia adalah anak termuda dalam perkumpulan mereka itu telah menjadi kunci utama keselamatan ras mereka dari kehancuran yang akan datang.

Ay_Syifanul · Fantasy
Not enough ratings
14 Chs

Bagian 12 - Memulai Petualangan

"Kau yakin dengan ini, Refaz?"

Usai menjelaskan semua yang ingin mereka ketahui, Refaz kesekian kalinya mendengar Renardo mengatakan hal serupa.

Dibalik wajah garangnya tersebut Refaz sendiri tau bahwa Renardo adalah sosok seorang ayah yang baik hati yang paling memperhatikannya selama ini. Dikhawatirkan orang sepertinya membuatnya senang.

"Tentu. Hanya ini yang bisa ku lakukan untuk membayar hutangku pada mereka."

"Meski mereka telah membuangmu?"

"Aku tidak masalah. Daripada harus menerima sikap yang berbeda jika aku tinggal, lebih baik aku pergi. Dan juga kepergianku ini membuatkan mengenal lebih banyak orang."

Selama ini Refaz tak dapat lepas dari kebaikan hati Sanae juga Renardo yang sudah menerimanya layaknya menjadi bagian keluarganya mereka.

Karena itu dia tak ingin merepotkan mereka lebih dari itu. Terlebih dia juga masih memiliki hal yang harus dia pertanggungjawabkan teruntuk Lisya. Jadi dia tak memiliki pilihan lain selain pergi bersamanya.

Sudah terlalu lama Refaz bersembunyi dalam kebahagiaannya. Sudah saatnya juga dia melakukan tanggung jawabnya sebagai bagian dari ras elf.

Hal yang selalu menjadi motivasinya selama ini. Yaitu, melindungi kebahagiaan semua orang.

"Pergilah. Dan juga... jangan mati."

Setelah mengatakannya, Renardo berbalik memasuki rumahnya tanpa memperhatikan lagi wajah pemuda elf tersebut.

Sedangkan Refaz hanya tersenyum. Dia cukup punya banyak hal untuk di katakan juga terima kasihnya untuk selama ini, namun Refaz akan menahannya untuk saat ini.

Dia belum ingin mengatakan salam perpisahan padanya.

Di samping itu, Sanae yang berada tak jauh dari posisi Refaz terus memegangi kedua tangan Lisya enggan menerima kepergiannya.

Meski dia tau dia tak dapat melakukannya.

"Padahal kita baru saja saling mengenal. Kenapa?"

"Maaf, Sanae. Aku harus menyelamatkan ibuku. Itulah alasanku ada disini. Aku berterima kasih padamu karena mau berteman denganku... juga Refaz."

Lisya sadar ada banyak hal yang telah dia pelajari sejak dia turun ke dunia manusia. Dia belajar bagaimana manusia jauh lebih baik dari yang dia kira.

Untuk dirinya bahkan juga Refaz yang memiliki kekosongan dalam hatinya, gadis itu berusaha untuk mengisinya tak peduli siapa jati diri pemuda elf tersebut. Di mata Lisya hubungan yang dimiliki gadis itu pada Refaz lebih dari sekadar keluarga.

Gadis itu, Sanae terlalu baik untuk pemuda elf itu. Lisya jadi tersenyum menyadari bahwa rupanya Refaz memiliki banyak hal yang tidak dan sangat ingin dimilikinya saat ini.

"Tapi..."

"Hey, aku akan kembali. Tempat ini sudah menjadi rumah yang cocok untuknya. Aku pasti akan mampir."

Lisya mengatakannya dengan menatap ke arah Refaz yang sedari tadi memperhatikan mereka dari kejauhan. Suaranya begitu rendah dan menunjukkan betapa tulusnya gadis itu.

Merasa tak dapat menahan mereka lebih lama lagi, Sanae melepaskan genggaman tangannya. Dia menautkan kedua tangannya di depan dada seraya berdoa atas keselamatan mereka berdua.

"Maaf karena aku tak bisa banyak membantu. Aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan kalian."

"Terima kasih, Sanae."

Melepas kepergiannya, Sanae beranjak dari tempatnya menjauhi mereka berdua. Refaz yang berlalu melalui sisinya juga tersenyum padanya berusaha mengurai rasa cemasnya.

"Tolong jaga Paman Ren."

"Tentu."

Setelah Refaz mempersiapkan semuanya, dia bersama Lisya berjalan meninggalkan toko roti keluarga Aylmer tersebut menuju pelabuhan.

Karena perbatasan antar benua Atherdia dan Aressia dijaga ketat oleh prajurit Kerajaan Merlia, mereka tidak bisa melaluinya bahkan jika mereka melakukan penyamaran sekalipun.

Karena itu satu-satunya jalan yang dapat mereka lalui adalah melalui jalur laut agar pergerakan mereka tak terdeteksi oleh para demon di wilayah kegelapan.

Demon yang tinggal di wilayah kegelapan memiliki kekuatan yang sulit untuk mereka hadapi berdua. Lagipula tujuan mereka adalah Heimdall. Mereka memilih untuk menyelesaikan semuanya secara langsung.

"Menurut peta, kita akan berlabuh di sebuah kota..."

"Itu peta lama. Sekarang, setelah wilayah kegelapan terus meluas wilayah tersebut telah hancur dan menjadi sebuah reruntuhan."

"Tidak mungkin."

Mereka berlayar di pagi hari menggunakan perahu pemberian Renardo. Refaz yang dalam posisi mengayuh kapal berujar menjelaskan keadaan mereka.

"Kota itu hancur beberapa bulan sebelum perang besar pecah. Pihak kerajaan saat itu berusaha untuk memulihkan kota, tapi tidak banyak kota di wilayah kegelapan yang dapat bertahan."

"Apakah karena 'pemburukan' tanah yang terus terjadi?"

"Benar. 'Pemburukan' tanah menandai wilayah kekuasaan demon. Hanya kekuatan suci dari ras elf yang dapat menyelamatkan tanah itu. Akan tetapi selagi demon yang menguasai wilayah itu belum di bunuh, 'pemburukan' tanah akan terus terjadi."

"Dan peperangan tak akan pernah berakhir."

Lisya merenungkan kondisi sulit yang kini dihadapi ras manusia dalam menghadapi ras demon. Jika demon terus menekan wilayah mereka ada kemungkinan perbatasan akan ditaklukkan dengan mudah.

Lalu jika perbatasan dihancurkan.... Lisya enggan untuk memikirkannya.

Selagi perjalanan mereka yang terasa begitu lama, Lisya berulang kali merasa bosan. Ditatapnya wajah Refaz yang terlihat lelah mendayung perahu mereka hingga saat ini.

"Kenapa kau tidak membiarkanku menggantikanmu."

"Karena aku tau kau akan menggunakan sihir untuk menggerakkan perahu. Dan saat kau melakukannya posisi kita akan mudah di temukan demon. Bertarung di daratan saja merepotkan, sekarang kau minta bertarung di lautan."

Omel lelaki elf tersebut seperti telah menyadari apa yang ingin Lisya lakukan. Gadis elf itu hanya menghela napas merasa tak enak.

"Bersabarlah. Di laut ada makhluk teritorial yang tak suka diganggu, mereka serpent. Bisa gawat jika kita mengganggu mereka dengan sihirmu."

Sontak Lisya membulatkan matanya karena terkejut. Dia memandangi setiap sisi perahu seolah mencaritahu keberadaan makhluk tersebut.

Gelagatnya tersebut membuat Refaz tertawa pelan.

"Kau takut?"

"Ta-takut?! Hanya dengan ular air itu? Itu tidak mungkin."

Meski begitu...

"Aku dengar cara menenangkan serpent yang mengamuk adalah dengan memberikan tumbal seorang gadis muda yang nantinya akan di tenggelamkan di tengah samudra."

"Ka-ka-kau mengatakan itu untuk menakutikukan?! Benar kan?!"

Bagaimana mungkin Lisya tidak merasa takut pada makhluk tersebut. Serpent sendiri mampu hidup berabad-abad lamanya dan juga setiap masa hidupnya serpent terus bertambah besar dan tinggi. Disamping itu mereka juga dapat menggunakan sihir air yang semakin membuat ketakutan semua orang bahkan para demon.

Karena itulah para demon dan manusia tak pernah mencoba membuka perang di atas lautan untuk menghindari amukan serpent.

Dengan begitu rasa kecemasan gadis elf itu berkurang meski juga bertambah dengan hal lainnya.

Setelah mengayuh cukup lama di atas lautan tenang, Lisya mulai dapat merasakan energi sihir yang cukup kuat di dekat mereka. Dia berbalik untuk memastikannya, namun yang dia lihat hanyalah sebuah kabut tebal.

"Sepertinya informasinya benar."

"Apa maksudmu, Refaz?"

Mempertanyakan alasan mengapa Refaz terlihat mengkhawatirkan sesuatu, Lisya justru mendapatkan jawaban yang tak terduga.

"Sebentar lagi kita akan memasuki wilayah 'Kabut Sihir'. Kau seharusnya dapat merasakan sekumpulan sihir yang kuat di depan sana."

"Memang benar aku merasakannya, tapi itu hanya kabut."

"Bukan hanya sekadar kabut. 'Kabut Sihir' memancarkan energi sihir yang bertugas untuk menciptakan penghalang sekaligus mengacaukan aliran sihir. Anomali ini belum dapat dijelaskan, tapi satu hal pasti bahwa demon membenci tempat seperti ini."

Memang benar Lisya dapat merasakannya dari para roh yang terlihat tidak begitu menyukai keberadaan kabut tersebut. Dan jika Lisya boleh berspekulasi, sepertinya kabut itu bukan kabut sihir biasa.

Berhubungan dengan para roh, ada kemungkinan seseorang menciptakan penghalang kabut itu dengan sengaja seperti untuk menyembunyikan sesuatu.

Lisya terus menghabiskan waktunya untuk berpikir mengesampingkan perasaan takut sebelumnya tentang keberadaan makhluk sekuat serpent yang mungkin saat ini mengawasi mereka di bawah air sana.

"Kita akan masuk, tetap waspada."

Kabut itu semakin dekat hingga mereka tak memiliki pilihan lain selain menerobos masuk untuk mempersingkat waktu. Disamping itu juga Refaz sedikit membagi informasi yang telah didapatnya melalui bantuan para burung.

Setelah memahami situasi mereka, Lisya menghela nafas berat.

"Jadi kita benar-benar tak memiliki banyak waktu."

"Benar. Para burung sepertinya telah mengkonfirmasi keadaan ibumu yang masih baik-baik saja, tapi ada yang membuatku khawatir."

Meski hanya dugaannya semata, namun burung-burung yang Refaz kirim untuk memantau lokasi Heimdall saat ini hampir mengatakan hal yang sama.

'Demon itu merasakan keberadaan mereka dan hanya menatap dengan senyum yang sulit ditebak. Apakah mungkin dia sudah tau kalau Lisya akan mendatanginya?'

Spekulasi itu tidak terlepas dari kenyataan bahwa demon itu sedang menunggu sesuatu selain malam bulan purnama merah.

"Kita akan berlabuh. Aku peringatkan sekali lagi, jangan pergunakan sihir disini."

"Ya, ya, aku tau."

Mereka segera menepikan perahu mereka lalu meninggalkannya dengan menutupinya menggunakan dedaunan kering.

Barang bawaan mereka tak cukup banyak karena hanya akan menghambat mereka, jadi Refaz dan Lisya hanya memilah barang mereka yang benar-benar dibutuhkan.

Tak beberapa lama berjalan Lisya merasakan sesuatu bergerak tak jauh dari posisi mereka ditambah kabut yang mengurangi jarak pandang mata mereka sehingga Refaz selalu berada di dekatnya.

Jadi Lisya tak habis pikir bahwa sepertinya ada yang mengikuti mereka.

"Refaz, sepertinya aku baru saja.... Refaz?"

Langkah gadis elf itu terhenti. Saat dia menyadarinya Refaz sudah tak berada di sampingnya.

Lisya mencarinya dengan pandangan yang berkeliling, namun dia tak menemukan apa pun.

"Refaz, di mana kau? Jangan bercanda denganku."

Memang pikiran pemuda elf itu sulit ditebaknya, namun Refaz tidak akan setega itu meninggalkannya seorang diri. Lisya yakin ada sesuatu yang membuat mereka terpisah.

Saat itulah dia mendengar suara menyerupai derit ular.

"Disana!"

Memperhitungkan asal kemunculan suara tersebut, Lisya melepaskan anak panahnya. Tembakannya menembus kabut lalu terdengar suara seperti anak panah itu tertancap pada sesuatu.

Saat itulah bayangan hitam muncul dari balik kabut tempat dimana Lisya menembakkan anak panahnya.

Lisya membulatkan matanya mengetahui keberadaan yang di kenalnya.

"Apakah mungkin... Siren?"

Sosok itu kemudian memperlihatkan wujudnya yang berupa setengah ikan dengan tubuh dan wajah yang menyeramkan yang menatapnya dengan haus darah.

Sosok yang menjijikkan dan merupakan keberadaan yang menjadi musuh bebuyutan suku mermaid itu kini berdiri dihadapan Lisya berniat membunuhnya.

Siren mengangkat kedua tangannya dengan kuku tajam kemudian menerjang ke arah gadis itu tanpa peringatan.

Karena tak dapat menghindar, Lisya tanpa sadar merapalkan sebuah sihir.

"Berikan aku perlindunganmu!"

Tanpa sadar akan peringatan yang Refaz tujukan sebelumnya, Lisya baru saja memulai hal mungkin akan menjadi kemungkinan terburuknya.