7 Hars

POV Abi

Operasi ibuku dijadwalkan selesai jam 2 siang bersamaan dengan jam pulang sekolahku, selama dikelas aku hanya diam dan terus berdoa untuk ibuku. Dhea paham apa yang terjadi padaku dan dia memilih diam tidak menggangguku hari ini.

Bell pulang pun berbunyi, aku langsung bergegas tanpa mempedulikan apapun dan langsung keluar menuju parkiran.

"woy, tungguin gue!" kejar Dey hingga parkiraan, ia terlihat ngos-ngos an setelah mengejar kekasihnya.

"eh sorry, aku ga tau kalo kamu pengen ikut ke RS." Jawab Abi sambil menawarkan minumnya ke Dey

"kemaren kan gue udah bilang ke mamamu kalo mau kesana lagi. Gue ikut pokoknya!" jawab dey menggeser tubuhku dan langsung masuk ke dalam mobilku.  Akupun bergegas masuk ke mobilku juga dan bersiap ke rumah sakit.

"trus mobilmu gimana? Kenapa ga bawa mobilmu sendiri sih?"

"udah biar disini aja dulu, lagian di sekolah kan aman. Cepetan nyalain mobilnya! Gerah banget ni." Dey membuka satu kancing seragamnya lalu mengibas-ngibaskan kerahnya karena memang hari itu sedang panas sekali. Aku langsung melaju ke rumah sakit untuk melihat keadaan ibuku.

Ayahku mengabarkan kalau ibuku sudah masuk ke ruang rawat dan sekarang beliau menunggu di ruang rawat. Aku pun bergegas menuju ruang dimana bundaku dirawat sambil menggandeng erat tangan Dey. Sesampainya di ruangan, ayahku sudah duduk menunggu bundaku disana, aku melihat raut muka ayah yang cemas, tapi raut itu hilang ketika aku dan Dhea mendekatinya.

"eh siapa nih? Wah ga bilang-bilang ya sekarang dah punya cewe." Goda ayahku sambil menyenggol bahuku.

"permisi om, saya Dhea temen sekelasnya Abi."

Temen?!?!

Aku menyikut pinggang Dey pelan

"his!" lirik Dey tajam kepadaku.

"hahaha, yaudah yaudah. Kalian udah makan belum? Belum kan? Pulang sekolah langsung kesini pasti. Yaudah kalian makan dulu aja dibawah. Dhea mau makan apa bilang sama Abi ya ntar biar dia yang jajanin." Ucap ayahku sambil memberikan beberapa lembar uang.

"yes!! Makan!" bisik Dhea yang sedikit kencang, ayahku bisa dengar kalau gitu.

"eh maaf om hehe."

"yaudah kita makan dulu ya yah, nanti gantian jaganya." Ayahku hanya mengangguk, aku lalu mengajak Dey untuk turun dan mencari makan, Dhea memilih fast food ketika aku tawari, kebetulan didekat rumah sakit ada restoran fast food. Kami berjalan menuju restoran tersebut.

"Dey, kalo seumpama hasil dari operasi itu kanker gimana ya?" tanyaku sambil melihatnya makan

"Berdoa aja, semoga Tuhan dengerin doamu." Jawab Dey sambil melihatku lalu berhenti makan

"aku gabisa sok tegar terus didepan bundaku." Jawabku sambil memainkan minuman soda yang aku pesan

"gimana bisa aku tegar kalo bundaku kesakitan? Kenapa bunda ga bilang dari lama soal sakitnya ini sih?"

"Abi, Tuhan tau apa yang terbaik buat mamamu. Sebaik-baiknya manusia merencanakan. Rencana Tuhan lebih baik. Jadi percayalah." Ucap Dey dan mengusap pipiku.

Tapi tunggu, dia tadi makan pakai tangan kan?!?!

"Dey!! Tanganmu kotor hiss, main pegang pegang aja!" jawabku sambil menepis tangannya, dia hanya terkekeh melihat kelakuanku lalu melanjutkan makannya.

***

Siang itu ketika pelajaran bahasa inggris, hp ku bergetar menunjukkan ada panggilan dari ayahku. Tak seperti biasanya ayahku menelepon di jam sekolah akupun meminta ijin guruku untuk menjawabnya lalu keluar kelas.

"Halo, gimana yah?" Tanya Abi

"Nanti kamu pulang langsung kesini ya, ayah tunggu di loby." Ucap ayahku diseberang sana

"Iya yah, nanti Abi langsung kesana. Tapi Dhea kayanya mau ikut lagi yah." 

"Yaudah nanti biar Dhea nemenin bundamu aja." 

Aku bingung, nada bicara ayahku tak seperti biasanya. Ia terdengar bergetar menahan sesuatu, membuatku cemas.

Aku kembali ke kelas dan menuju tempat dudukku. Dhea mengamatiku sejak aku memasuki kelas, ia sepertinya tau jika aku sedang cemas. 

"Ppssttt.. siapa?" Tanya Dey berbisik dari bangkunya

"Ayahku." Dhea menjawab dengan membulatkan mulutnya menandakan ia paham

"Nanti aku ikut lagi ya?" Pinta Dhea sambil berbisik, aku hanya menjawabnya mengangguk sambil memperhatikan kembali guruku di depan. 

"DHEA! jangan berisik!" Tegur guruku dari depan kelas, seisi kelas pun menoleh kebelakang melihat Dhea

"Hehe maaf bu." 

***

POV Pembaca

Sesampainya di loby rumah sakit, ayah Abi sudah berada disana. Abi dan Dhea pun segera menghampiri. 

"Dhea, kamu langsung aja ke ruangan bundaku ya aku mau ngomong dulu sama ayahku"

"Oh, oke. Permisi ya om." Pamit Dhea. Ayah Abi mengajak Abi duduk di kursi ruang tunggu.

"Hasil operasi bundamu udah keluar." Ucap Ayah Abi, mendengar itu Abi mulai cemas dengan hasilnya.

"Benjolan itu benar kanker." Mendengar itu seketika lidah Abi kelu, ia tak bisa menatap ayahnya. Pandangannya terus kebawah menunduk tak berani memperlihatkan wajahnya yang sedang rapuh.

"Tapi dokter bilang itu belum begitu parah, ibumu bisa sembuh dengan kemoterapi." Abi masih tak bisa menerima kenyataannya, ia berada di tempat ramai tapi ia merasa sendiri. Ayahnya yang berada di hadapannya seakan orang asing. Ia hanya memikirkan ibunya.

"Tolong kasih semangat ke bundamu ya, jangan nakal lagi biar bundamu ga banyak pikiran dan biar fokus ke penyembuhannya" ucap Ayahnya Abi sambil menepuk pundaknya.

Setelah itu Abi pamit, ia langsung bergegas menuju ruangan ibunya dirawat. Ia sekuat tenaga menahan tangisnya karena ia tak ingin ibunya melihat anak kesayangannya ini runtuh. 

Sesampainya di depan pintu ruang rawat, Abi hendak mengetuk pintu itu tapi tertahan, ia mendengarkan obrolan Dhea dengan ibunya dari luar, obrolan itu begitu seru, entah membahas apa dan Abi dapat mendengar tawa keduanya. 

*Ckleekk* 

Pintu dibuka dan abi langsung menghampiri ibunya dan langsung memeluk erat ibunya.

"Hmm keliatannya aja galak kalo disekolah, kalo dirumah jadi anak manja ya" ucap Dey. Abi hanya memberikan gesture tangannya seperti sedang cuap-cuap yang artinya 'bacot' untuk Dey.

"Minggir lo, bunda gue nih." Ucap Abi sambil mendorong Dey dari kursi sebelah kasur ruang rawat itu. 

"Eehh sudah, jangan ribut dong. Abi juga masa sama pacarnya kaya gitu sih. Pacar beneran bukan??" Ucap bunda Abi sambil mencoba melerai mereka berdua. 

Sore itu mereka bertiga berbincang tentang apapun, mungkin karena ada Dey disana menjadikan suasana ruangan itu menjadi ramai. Jika hanya Abi dan ibunya saja mungkin tak akan seramai itu. 

Di luar ruangan tersebut sebenarnya ada om Bima ayah Abi yang berniat masuk kedalam tapi mengurungkannya. Ia sebenarnya juga rapuh, tak ingin keadaan ini diketahui anaknya apalagi dengan pacar anaknya. Ia hanya menunggu diluar sambil bersandar dibalik pintu ruangan itu. 

"Tante, Dey pulang dulu ya. Udah sore juga. Tante istirahat yang banyak ya. Ini biar anak tante saya yang jagain kalo disekolah hehe." Ucap Dey sambil menepuk-nepuk pundak Abi. Ia lalu berkemas untuk pulang 

"Iya, tolong jagain Abi ya. Dia sebenernya manja tapi muknya ga mendukung hihihi" ejek ibunya Abi, mereka berdua lantas tertawa melihat muka Abi yang merah karena malu. 

"Males ah ajak Dey kesini lagi bun, dibuka semua aib nya Abi." Gerutu Abi sambil mengemasi barangnya. 

"Tuh tante liat deh, mutungnya keluar hihi" ucap Dey lagi, anak ini emang bikin gemes pengen nyubit ginjalnya.

Abi dan Dey pun pamit, ketika membuka pintu ruangan itu Abi sedikit terkejut karena ayahnya sudah ada dibalik pintu itu. Ayahnya hanya tersenyum, sambil menepuk pundaknya dan beelalu kedalam. Dey mengetahui itu dan dia memilih untuk diam saja karena takut jika dia salah bicara.

"Dey…" ucap Abi setelah menutup pintu ruangan itu dari luar, Dey paham dengan situasinya ia lantai menarik tangan Abi dengan cepat untuk menuju ke parkiran. Sepanjang perjalanan menuju parkiran Abi hanya bisa terdiam, ia menahan sekuat tenaga agar air matanya tak keluar di tempat umum.

Sesampainya di parkiran mereka langsung menuju ke mobil Abi, didalam mobil itu Dey hanya diam dan terus mantap Abi.

"Sayang, aku gatau tadi ayahmu ngomong apa aja ke kamu, aku gatau juga harus apa sekarang. Maaf kalo aku ga guna di saat kaya gini." Ucap Dey sambil memegang erat tangan Abi. Seketika Abi memeluk Dey dengan sangat erat, ia tak bisa menahan lagi air matanya. Abi menangis tersedu di pundak Dey dan terus memeluknya. 

"Maaf…" ucap Abi sambil sesenggukan di pundak Dey, ia belum mau melepaskan pelukannya sampai baju dipundak Dey sudah basah.

"Gapapa, kalo emang kamu belum mau cerita." 

"Cerita aja kalo bisa diceritain, aku tetep ada buat kamu kok" sambung Dey sambil mengelus belakang kepala Abi.

Abi sebenarnya bingung, apa ia harus membagi cerita ini ke kekasihnya? Ia takut jika ini membebaninya juga, tapi jika ia tak cerita pada siapapun, apa yang bisa ia lakukan selain menangis? Diumur yang belum genap 17 tahun ia sudah diberikan kenyataan seperti ini, umur dimana seorang anak benar-benar membutuhkan sosok sebagai acuan dan pendamping sebagai penuntun untuk menuju kedewasaan.

avataravatar