6 Crumple

Hari minggu adalah family time untuk keluarga Abi. Setiap minggu seluruh anggota keluarga Abi walaupun hanya tiga orang pasti menyempatkan untuk pergi ke suatu tempat entah itu restoran atau café atau tempat wisata. Hal ini menjadi kegiatan rutin yang dilakukan keluarga Abi. Sebenarnya walaupun sekeluarga hanya tiga anggota tapi keluarga Abi sudah bahagia dan lebih dari kecukupan. Tapi jika dibanding keluarga Dey soal 'keramaian' suasana rumah jelas jauh. Karena ibu Abi orangnya sangat kalem sedangkan Ayah Abi orangnya jaim.

"bunda, hari ini mau kemana?" tanya Abi antusias dari lantai dua. Ia melihat ibunya sudah siap di ruang tamu menunggu ayahnya menyiapkan bekal makan siang. Ayah Abi memang hobi memasak, beliau setiap weekend atau waktu senggang pasti menyempatkan memasak dan masakan ayahnya Abi belum pernah mengecewakan ibu dan Abi sendiri. Selalu enak.

"mau piknik di kebun the gimana? Mau?"

"wah, boleh tuh bun. Ayah masak apa yah??" teriak Abi sambil turun menghampiri ibunya diruang tamu.

"dessert box nih." jawab ayah Abi dari dapur. Abi dan ibunya bingung saling pandang. Kok dessert box?

"Ayah mau makan diluar dulu, ntar pas piknik kita makan manis manis aja ya hehehe." Heran, Ayahku sudah kepala 4 masih tau cara membuat dessert box yang notabene anak muda jaman sekarang yang tau, mereka hanya geleng-geleng melihat kelakuan Ayah Abi tersebut.

Ketika perjalan baru lima belas menit tiba-tiba ibu Abi merasa kesakitan di dadanya. Ayah dan Abi langsung panik dengan keadaan itu, Ayah Abi langsung putar balik menuju ke arah kota untuk kerumah sakit.

"Bunda, tenang ya, sabar. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit kok. Tahan sebentar lagi ya." Ucap Abi dari kursi tengah sambil memegang erat tangan ibunya. Abi baru pertama kali melihat ibunya dalam keadaan ini, tapi tidak dengan ayahnya. Ibu Abi sebenarnya sudah tau jika di payudaranya ada benjolan dan belum tau itu tumor ganas atau jinak. Rencana memang minggu depan untuk operasi pengecekan apakah itu tumor ganas atau tidak, tetapi malah hari ini hal itu merusak semua rencana piknik ini.

Setibanya di rumah sakit, Ayah Abi langsung menuju ke UGD dan memapah istrinya kedalam UGD. Abi bertugas untuk mencarikan parkir mobilnya lalu ia berlalu masuk kedalam UGD. Ibu Abi sudah ditangan oleh perawat disitu dan ayahnya menitipkan pada Abi karena akan mengurus administrasi rumah sakit.

"Bunda, kenapa? Sudah sakit seperti ini dari lama?"

Ibu Abi memalingkan wajahnya, tak ingin anak semata wayangnya melihat ibunya sedah keadaan lemah seperti ini.

"Gapapa dek, Bunda Cuma kecapekan kok. Maaf ya kita malah gajadi piknik ke kebun teh." ucap bunda Abi sambil mengusap pipi anak semata wayangnya itu. Abi tau jika itu bohong.

"yaudah bunda istirahat dulu ya. Abi tunggu diluar dulu ya mau beli minum." Ibu Abi hanya menjawabnya dengan senyuman dan anggukan pelan. Lalu dia keluar dan pamit ke ayahnya untuk beli minum.

Diluar rumah sakit Abi bingung, apa yang harus dia lakukan disaat seperti ini. ia mencoba menelepon kekasihnya saat itu tapi tak ada jawaban. Abi semakin bingung, akhirnya ia mencoba menenangkan diri untuk duduk di ruang tunggu rumah sakit.

*ting* pesan masuk dari Dey.

"maaf sayang, tadi aku masih ibadah. Ini barusan kelar. Gimana? Aku telepon balik ya?"

Belum sempat abi membalas pesan itu Hpnya sekarang berbunyi, ada nama Dey di panggilan itu.

"halo, kamu kenapa Bi? Ada apa jam segini telpon? Tumben?" Abi mengangkat telepon itu sambil mencar I tempat sepi untuk menjawab panggilan Dey.

"nggapapa kok, tadi Cuma panik. Oh iya, kalau aku ngga ngabarin maaf ya ini aku lagi dirumah sakit."

"hah?! Kenapa? Siapa yang sakit? Jawab!." Jawab Dey kaget dan sedikit teriak.

"gapapa Dey, bundaku yang sakit. Ini udah dirumah sakit kok, aman. Nanti aku kabarin ya di rawat di rumahsakit mana." Jawabnya sambil mematikan telepon sepihak karena ada panggilan masuk lain di HP nya, ternyata ayah Abi mengabari kalau ibunya sudah dipindah ke ruang rawat inap. Abi segera naik keatas ke ruangan ibunya di rawat. Sebelum sampai diruangan Abi sempat mengabari Dhea posisinya sekarang.

"Abi, maaf. Kamu bisa jagain bunda dulu ga? Ayah mau ke rumah om Ichwan karena ada urusan penting. Bundamu udah gapapa kok. Tolong jagain bentar ya." Pamit ayahnya lalu keluar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu.

"bun, bunda sakit apa sih sebenernya? Kok sampe kayak gini?" tanya Abi sambil menggenggam tangan ibunya erat.

"Abi, Bunda mau ngomong tapi jangan kaget dulu ya. Bunda juga masih belum pasti juga. Bunda dirawat karena besok mau operasi"

"ha? Kok operasi bun? Emang sakit apa?" Abi semakin cemas dengan jawaban ibunya itu.

"Di dada bunda ada tonjolan, dokter belum tau itu tumor jinak atau ganas. Untuk memastikan, bunda besok harus operasi"

Abi kaget dengan jawaban ibunya tersebut. Ia sebagai lelaki dan anak satu-satunya berusaha tegar dan mencoba memberi semangat kepada ibunya untuk meyakinkan kalau itu bukan tumor ganas atau kanker.

"tenang Bun, Abi yakin bukan apa-apa. Semoga besok dokter bisa memastikannya kalau itu bukan kanker ya bun." Jawabnya tenang, ia tak ingin keliatan kacau di depan ibunya. Ia sebagai anak satu-satunya harus tegar di depannya. Abi memilih keluar ruangan itu daripada terlihat sedih didepan ibunya.

"bun, Abi kedepan dulu ya sebentar. Bunda istirahat aja dulu." Ibunya hanya menjawab dengan senyum dan anggukan pelan.

"jangan jauh-jauh ya Abi."

Ketika pintu ruang rawat inap itu dibuka Abi kaget karena Dhea sudah berada dibalik pintu itu hampir mengetuk kepala Abi.

"Heh, kamu ngapain kesini." Tanya Abi

"mana mamah kamu?" Dhea nyelonong masuk ke ruangan rawat inap itu.

Karena Dhea tipikal orang yang sangat supel, baru setengah jam mengobrol dengan ibu Abi mereka sudah akrab. Bahkan ketika ia tinggal sebentar membeli jajan untuk Dhea, mereka sudah kompak menggosip tentang Abi. Abi tak lagi melihat ekspresi takut dan cemas lagi di raut wajah ibunya. Malah sekarang mereka ketawa lepas bersama, entah apa yang dibahas. Seketika perasaan cemasku juga hilang saat itu.

"Gosipin apa sih, seru banget." Abi mencoba masuk ke obrolan mereka

"Ish minggir minggir, omongan cewe nih. Cowo gaboleh ikutan hussh!" Usir Dhea sambil tangannya mendorongku. Abi tertawa melihat kelakuannya dan ibuku juga tertawa geli melihat kelakuan Dhea.

"Abi, kenapa gapernah cerita kalo kamu punya pacar se cantik dan se seru ini ke bunda? Bunda kan juga mau punya temen gosip gini kalo dirumah. Besok kapan-kapan ajak Dey main kerumah ya. Sering-sering malahannya." Ucap ibu Abi sambil tertawa. Ibu Abi sebenernya sudah lama ingin punya anak perempuan. Tapi ya belum rejeki juga Abi diberi adik.

"Ah, ya gitu bun. Aku belum sempet cerita ya soal Dhea? Nanti deh kalo bunda udah pulang aku ceritain semua soal dia. Jelek jeleknya dia juga aku ceritain semua bun hahaha" jawabku sambil mengejek Dea. Dhea mengejekku balik sambil menjulurkan lidahnya

"Jangan dengerin dia tante, fitnah dia kalo tau soal aku yang jelek. Aku di sekolah kan pendiem"

Pendiem???

"Pendiem apaan lu nerocos mulu kayak bebek" jawabku sambil memberikan gestur mulut bebek.

"huss udah udah, sama pacarnya sendiri kok ga akur sih" lerai ibunya dan Dhea menjulurkan lidahnya ke Abi mengejeknya. Dey dan ibu Abi terus mengobrol hingga sore hari. Ia heran bagaimana bisa baru pertama kali bertemu tapi sudah se akrab ini?

"tante, maaf udah sore nih, Dhea ijin pulang dulu ya." Pamit dea sambil bersalaman dengan Ibu Abi

"Dhea doain besok hasilnya bukan apa-apa ya tante. Besok Dhea kesini lagi boleh kan?" beliau menjawab dengan anggukan antusias dengan tawaran Dey tadi, bagaimana tidak? Dalam waktu beberapa jam saja Dey sudah seperti anak kandungnya.

"yaudah bun, Abi anterin Dhea ke bawah dulu ya sebentar." Pamit Abi sambil menggandeng Dey untuk keluar ruangan.

Abi seketika diam ketika keluar dari ruang rawat ibunya. Ia tetap menggenggam erat tangan Dey tanpa berkata apapun lalu menariknya menuju ke lift. Dhea bingung dengan situasi seperti itu, ia memilih diam daripada takut salah berbicara. Ketika menunggu lift terbuka Dhea memilih untuk membuka obrolan.

"Abi..." panggil Dey lirih, ia tau jika kekasihnya ini sedang hancur. Tapi ia juga takut jika salah bicara disaat seperti ini.

"Abi, kalo pengen nangis, nangis aja keluarin sekarang."

Seketika kaki Abi lemas, dia tak sanggup berdiri di depan lift, lelaki tinggi dan tegap bagai benteng masada itu hari ini runtuh didepan kekasihnya. Ia tak dapat membendung tangis yang ia tahan dari tadi siang.

Dey memegang pundak Abi "gapapa, nangis aja yang kenceng sekarang. Inget kamu anak laki-laki bundamu, bahumu lebar, karena tanggung jawab semuanya akan dilimpahkan ke kamu. Menangislah sekarang. Jangan didepan bundamu." Dea membantunya berdiri, lalu Abi memeluknya erat.

Benar-benar erat.

"Hmm, jangan ditahan. Kamu gapapa keliatan lemah depanku hari ini aja. Tapi besok jangan pernah gini di depan bundamu ya?" Ucap Dea sambil mengelus belakang kepalaku seperti adiknya sendiri.

Ucapan Dea tersebut dapat menenangkan Abi yang sedang menangis sesenggukan, Abi tak tau jika Dea tak menyusulnya ke rumahsakit saat itu, entah ia akan seperti apa di depan ibunya. Paling tidak ia takmenunjukkan tangisnya di depan ibunya, jika itu terjadi ibunya pasti akan ikuthancur melihat anak semata wayangnya juga hancur.

avataravatar
Next chapter