5 Avowal

POV Abi

---

"kita mau kemana?" tanya Dey sambil memainkan Hp nya.

"nah ini, aku mau nentuin dulu takut kamu ngga cocok."

"lah kocak ni anak ngajak nge-date tapi belom tau tujuannya." Cibir Dey

Biasanya pilihan nge-date hanya nonton, makan, pulang. Sedangkan aku tidak suka nonton. Waktu dua jam daripada buat nonton film aja kan mending buat ngobrol di café?

"mau nonton ga?" tanyaku sambil fokus nyetir.

"mauuuu ada film.."

"tapi aku ngga" jawabku memotong jawabannya.

"heeehh sakit woy!" Dhea mencubitku dengan keras dipinggang

"yaudah terserah lah mau kemana, lo tau kan gue suka apa aja." Ucap Dey sambil melihat keluar jendela, sepertinya dia mutung.

"Yah kalo udah gini mah pasti ujung-ujungnya makan." Batinku

Aku berencana membawanya ke café yang berada di pinggiran kota, lebih tepatnya daerah 'atas' kota. Selain view nya yang bagus, makanan disana termasuk porsi besar, cocok dengan Dey. Disepanjang perjalanan kita membicarakan berbagai hal, mulai dari urusan sekolah hingga urusan gapentingpun. Aku juga heran, bagaimana bisa se nyambung dan se-frekuensi dengan Dhea. Dan soal selera musik pun kita bisa satu frekuensi. Ternyata kita mempunya banyak kesamaan. Tak terasa perjalanan selama hampir satu jam kita tempuh dan sampai di tempat tujuan.

"lo belum pernah main kesini kan? Anak baru sih" ucapku sambil mematikan mesin mobil dan turun.

"iye iye, siap bang jago akamsi." Jawab dey sambil berpose 'siap bang jago'

"becanda kak, yaudah ayo. Kita di outdoor aja ya. Soalnya disana viewnya bagus." Aku mengajak Dey sambil mencoba menggandeng tangannya. Tapi keliatannya dia kaget, mungkin belum saatnya.

Aku melepaskan gandenganku dengan Dey.

"sorry." Jawabku sambil berlalu melewati dia

Aku kaget, dia malah menggandengku terlebih dahulu sambil menarik menuju ke café tersebut.

"cepetan, disini panas. Gue laper." Ajak Dey, aku sekilas melihat wajah sampingnya, dia tersenyum? Dan wajahnya memerah. Aku tak tau itu karena dia malu atau karena panas siang ini.

Sesampainya didalam kita memilih tempat duduk didalam café, ternyata diluar panas sekali. Kita berbincang lagi kesana kemari. Ada saja topik bahasan dengan Dhea tanpa merasa bosan.

"eh, lo tadi pesen atas nama siapa?" tanyaku sambil melihat struk pesanan.

"Tarik sis!" jawab Dhea sambil terkekeh

"wah ga beres ni anak, usilnya emang sekeluarga deh fix" batinku

"ntar kalo dipanggil teriak bareng ya SEMONGKO!' gitu ya kayak di tiktok, hehe" jawab Dhea sambil terus melihat ke kasir.

Ngga beres ni anak, untung café ini sedikit sepi siang ini. Gapapalah aku turutin aja ni anak daripada minta jajan.

"pesanan atas nama Tarik Sis!" barista café itu berteriak kencang sekali, padahal suasana café sedikit sepi. Kenapa harus teriak kenceng si?

"SEMONGKO!!!" semua pelanggan dicafe itu serentak menjawab bersama. Dhea yang punya pesanan malah ketawa cekikian tanpa pedulikan wajah malu barista café tersebut.

"PESANAN ATAS NAMA TARIK SIS!!!" barista itu sekali lagi memanggil dan dijawab lagi oleh seluruh pelanggan café itu disana. Akhirnya Dhea bangkit sambil ketawa cekikikan mengambil pesanan dia di sebelah meja kasir. Aku hanya geleng-geleng melihat kelakuannya tersebut.

"mas nya tadi bilang ke gue gini 'tarik sis?' ya gue jawab lagi lah semongko gitu." Dhea kembali sambil membawa pesanannya sambil masih ketawa. Sepertinya untuk kedepan aku bakalan sering mengalami hal seperti ini.

***

Jam sudah menunjukka pukul 4 sore, tak terasa aku dan Dey di café itu sudah hampir 4 jam. Akhirnya aku ajak dia untuk pulang, kami bergandengan tangan lagi sampai ke mobil. Lalu kami langsung pulang menuju rumah Dey.

"lo mau langsung pulang apa mampir dulu dirumah gue?" tanya Dey

"hmm, mampir dulu aja deh bentar. Malam minggu juga, masak jam segini udah balik. Diketawain kucing." Jawabku sambil fokus menyetir.

"beneran mau mampir? Siap siap tapi ya hehehe"

Perasaanku ngga enak nih, melihat tadi ayahnya saja seperti itu dan juga anak keduanya seperti ini. Akhirnya jam 6 sore kita sampai dirumah Dey, mobil orangtuanya sudah terlihat ada di teras rumahnya yang artinya kedua orang tuanya sudah kembali dari acara tadi siang.

"Dey, perasaan gue ga enak." Ucapku sambil menahan Dey turun dari mobil.

"lo takut kan dikerjain bokap gue lagi? Tenang aja, kalo ada pawangnya pasti aman."

Pawang?

"udah ayo turun cepetan." Dey turun dari mobil dan aku menyusulnya masuk kerumahnya.

"permisi!! Paket!!"

Dey mengetuk pintu dan berteriak, tak selang lama ibunya membukankan pintu.

"his, kirain paket beneran. Ngeselin banget ni anak!" cibir ibunya Dey sambil akan memukul Dey. Sepertinya tingkat keusilan keluarga ini paling tinggi Dhea tapi siapa tau? Aku baru hari ini kesini. Ngga seperti dikeluargaku, sepi. Kami sekeluarga lebih ke pendiam dan kalem. Walaupun aku sering cerita soal masalahku dengan bundaku tapi jarang sekali ada kegaduhan dirumah.

"masuk sini Abi, udah anggep aja kayak rumah sendiri ya." Ucap ibu Dhea

"heh jangan mah, ntar dia ngelunjak. Beneran dianggep rumah sendiri kan repot." Jawab Dey lalu disambut dengan postur tangan ibunya Dey akan menyentil dahinya.

"ngga ngga canda boss. Mau minum apa lo? apa mau pesen martabak aja?" tawarnya. Makan lagi?!?!

Akhirnya kita memesan martabak manis dan telur malam itu untuk menemani kita ngobrol diruang tamunya. Sudah sejam lebih aku tak melihat sosok ayahnya Dey, aku dapat bernapas lega jika memang tak ada ayahnya dirumah.

"permisi, paket." Hmm baru diomongin nongol kan

"eh papah, ada martabak ni mau ga? Darimana pah?" tawar Dey sambil mencoba menyuapi ayahnya yang duduk di depanku.

"dari toko, biasa. Eh ini ada pegawai asuransi kok malah kamu yang nerima? Mamah mana? Maah!!" edan, aku dikira pegawai asuransi.

"maaf om, saya temen Dhea." Jawabku sambil tersenyum kecut. Rajanya jail dirumah nih kayaknya.

"ah ga percaya. Bentar saya panggilin istri saya dulu ya." Dhea hanya tertawa cekikian sambil melihat ayahnya masuk kedalam.

"Dey itu dipanggilin beneran apa ngga woy." Bisikku ke Dhea, kalo beneran dipanggilin fix kita musuhan om.

"ngga lah yakali, emang usil tuh orang. Sabar aja kalo disini ya emang gini semua orangnya." Jawab Dey masih tertawa.

Aku ketika melihat keluarganya yang akrab dan sering becanda seperti ini membuatku iri, dibanding keluargaku yang sepi. Bukan berarti aku dan orang tua ku tak dekat, tapi keluargaku lebih ke pendiam dan berbicara seperlunya saja. Jarang ada becandaan seperti ini dirumahku.

Malam itu aku pulang jam 10 malam, karena sudah lumayan malam jadi aku pamit ke orangtua Dey. Lalu dia mengantarku hingga ke mobil.

"makasih ya buat hari ini Dey."

"ngga kok aku yang makasih, udah bisa kabur dari acara emak-emak tadi siang."

"Dey..."

"kenapa Bi?"

avataravatar
Next chapter