3 T I G A

Gadis kecil itu berjalan dengan lesu sambil menggenggam tali ranselnya dengan erat. Kedua netranya mulai mengerjap-ngerjap dengan perlahan. Memperhatikan jalanan yang ramai itu. Semuanya terlihat asing, jemputannya belum juga terlihat.

Gadis kecil itu menghela samar, kembali melanjutkan langkah kecilnya sambil memperhatikan jalanan yang sangat padat.

Keningnya bertaut dengan mata memicing, seseorang tengah memberikan lambaian tangan dengan senyum yang begitu lebar. Alra ikut tersenyum, dan berlari dengan kencang. Tubuh mungilnya memeluk wanita yang lumayan berisi itu dengan erat.

"Mama, kapan dateng?" tanyanya setelah melepas pelukannya itu.

"Baru aja sampai, barang-barang kamu yang di diah udah mama bawa pulang," sahut Aisyah.

"Terus aura gimana? Aku gak liat aura."

"Udah di rumah, di anterin sama suaminya diah tadi. Ayo, pulang!"

Alra tersenyum sambil mengangguk. Ia segera naik ke atas motor, memeluk Aisyah dengan sangat erat, seakan-akan tak mau lagi di pisahkan meskipun hanya sebentar.

Sepanjang perjalanan yang di temui hanya kemacetan. Di depan sana sekumpulan orang tengah membawa jenazah. Alra hanya memperhatikan kegiatan ngaben itu tanpa mengatakan apa pun. Meskipun matahari terasa sangat menyengat, membuat kulit putihnya menjadi panas, dan gatal. Namun, gadis itu tetap sabar untuk terus menunggu hingga kemacetan menghilang.

Lima belas menit lamanya, jalanan kembali normal. Motor milik Aisyah kembali melaju dengan cepat, dan terparkir di depan rumah yang lumayan besar itu.

Gadis kecil itu segera berlari masuk menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Cepat-cepat ia ambil buku gambar besar itu, dan membawanya pada Aisyah.

"Ma?" panggilnya.

Wanita itu menoleh, dan kembali membersihkan dapur yang mulai kosong.

"Ini, bagus kan?" tanya Alra sambil menunjukkan lukisan keluarganya.

Aisyah yang melihat hasil karya seni putrinya itu tersenyum senang, mengusap puncak kepala Alra lembut seraya berkata, "Bagus banget! Itu siapa aja? Coba jelasin!"

Alra tersenyum senang, membawa lukisannya ke atas meja, dan mereka mulai duduk sejajar.

"Ini yang baju biru aku, baju merah ini aura, terus yang ini acha, ini kak yahya, terus yang ada di tengah ini papa sama mama," jelas Aura sambil menunjukkan lulisan indah yang tiga dimensi yang belum sempurna itu.

Aisyah tersenyum lagi, "Bagus banget, cantik semua. Ini proyek sekolah atau gimana?"

"Ini tugas akhir, bu iloh ngasih tema bebas. Jadi aku gambar keluarga kita aja, soalnya aku cuman bisa gambar tiga dimensinya orang aja. Kalau temen-temenku yang lain kebanyakan tumbuhan, sama hewan."

"Harus tiga dimensi?"

Gadis kecil itu mengangguk semangat.

"Wah! Keren banget, terus nilai kamu berapa jadinya?"

"Tadi aku lihat sih delapan," sahutnya sambil berpikir.

"Itu bagus, nilai sempurna. Sebagai hadiah, kamu mau makan apa hari ini?"

"Beliin pizza dong Ma! Aku pengen pizza, udah lama gak makan pizza."

***

"Kak, kapan selesai makannya sih? Aku pengen main!" ucap Aura dengan raut muka kesalnya.

Alra yang masih asyik menikmati pizza sambil menonton chalkzone. Ia hanya melirik adiknya sekilas, dan kembali asyik pada kegiatannya siang ini.

"Kakak, aku bosen. Ayo, main lompat tali, atau monopoli. Aku bosen, ayo!" ajaknya sambil menarik lengan kecil Alra.

Gadis kecil itu menghela kesal, menarik kembali lengannya dengan kasar. Menatap Aura dengan tatapan sinisnya, ia tidak suka di ganggu, dan di paksa bermain ketika dirinya tengah sibuk menonton kartun kesukaannya.

"Aduh! Nonton tv aja yuk! Aku bosen main, nanti sorean aja," sahut Alra.

"Bener ya nanti sore, aku tunggu! Awas sampai Kakak bohong lagi kaya waktu itu!"

Alra tertawa kecil, memberikan anggukan, dan lambaian tangan menyuruh Aura untuk segera pergi.

Aura mendengus, menatap kakak perempuannya dengan sinis sebelum akhirnya melenggang pergi. Meningglakn Alra yang kini tengah tertawa dengan acaranya sendiri.

Aura terus melangkah pergi, menuruni setiap anak tangga sambil memperhatikan lukisan yang di buat Alra. Semuanya nampak cantik, membuatnya senang untuk terus memperhatikan setiap lukisan yang di buat.

Setiap goresan memiliki makna yang berbeda katanya. Meskipun memiliki makna, Aura tidak paham dengan setiap maknanya.

"Mama?" panggilnya sebelum berlari menghampiri Aisyah yang sedang membereskan barang-barang.

"Kenapa Ra?" tanya Aisyah.

"Kenapa di rumah kita cuman ada lukisan yang di buat kak alra aja sih? Kenapa gak ada foto keluarga?"

"Hm... kita gak foto keluarga karena papa sibuk. Mungkin nanti kita punya, waktu papa udah gak sibuk lagi," jelas Aisyah.

"Emangnya papa gak pernah gak sibuk ya Ma? Bukannya kita sering keluat buat jalan-jalan, makan, itu bukannya papa ngeluangin waktu buat gak sibuk?"

Wanita itu tertawa kecil, mencubit pipi putrinya gemas, dan berkata, "Iya sayang kamu bener, cuman.. kalau buat foto keluarga itu makan waktu yang banyak, makanya gak sempet."

"Terus kapan kita fotonya?"

"Nanti ya, nanti mama kasih tahu papa. Sekarang mama lagi sibuk ngurusin barang-barang ini, kamu main aja ya sama kakak, atau pergi ke depan buat nunggu kak yahya pulang sekolah!"

****

Wanita itu bangun dari tidurnya dengan tergesah-gesah. Melihat jam dinding, dan segera berlari ke dapur. Menyiapkan beberapa bahan makanan untuk sarapan yang mungkin akan terlambat, tapi dia pastikan agar tidak memakan banyak waktu ketika memasak.

Aisyah mulai mengupas bawang merah, bawang putih, dan memotong beberapa cabai. Semua bahan di campur menjadi satu ke dalam cobek, di haluskan secara manual menggunakan tangan dengan suara yang khas.

Ia segera memanaskan kompor, menumis bumbunya sebelum memasukkan satu mangkok besar nasi dingin ke dalam wajan. Di aduknya dengan cepat, dan segera di beri bumbu penyedap. Aroma nasi goreng mulai tercium, membuat seulas senyuman pada wajahnya yang mulai lelah.

"Mama masak nasi goreng ya?"

Suara itu membuatnya menoleh sekilas, dan berkata, "Iya, Sayang. Kamu panggil aura, sama kak yahya ya! Kita makan nasi goreng sama-sama."

Alra mengangguk, dan segera pergi berlari memanggil kedua saudara kandungnya untuk bergegas menuju dapur.

Ketiganya datang dengan berlari kecil, duduk berseberangan di meja makan sambil menyiapkan piring saji, beserta gelas untuk wadah air mineralnya.

Aisyah masih sibuk dengan kompor, kemudian membagikan nasi goreng pada tiga buah hatinya, dan satu piring untuknya sendiri.

"Ayo, makan!" titahnya sebelum duduk, dan menikmati sarapannya kali ini.

"Rumah kita udah kosong, emang kita bakalan pindah hari ini?" tanya Yahya di sela makannya.

"Iya, nanti agak siangan, mungkin sekitar jam sepuluh atau sebelas pak junaidi dateng buat angkut beberapa barang. Kita pergi naik bus, terus nanti di jemput sama papa," jelas Aisyah.

"Kenapa harus pindah sih Ma? Emangnya kenapa sama rumah kita yang ini?" kali ini Aura  yang bertanya.

"Papa sama mama pengen ngabisin masa tua di kampung halaman, makanya kita pindah."

"Sebenernya aku gak mau pindah, tapi papa gak mau dengerin aku," sahut Alra sedikit kesal.

"Alra, ikutin aja ya! Jangan terlalu banyak minta, mama sama papa juga udah pikirin semua tentang kalian. Jangan ada yang ngambek, ataupun demo buat minta pindah ke rumah ini lagi!" jelas Aisyah tegas.

Alra hanya mendengus, dan kembali melanjutkan makannya tanpa mempedulikan apa yang di ucapkan Aisyah pagi ini.

avataravatar
Next chapter