1 S A T U

Gadis kecil itu berlari masuk ke dalam rumahnya setelah turun dari atas motor. Rok sekolah itu membuatnya sedikit kesusahan meskipun pendek. Rambutnya yang di kepang dua rapi, di sertai dengan pita berwarna merah putih itu segera di lepas paksa.

Mengganti pakaiannya dengan terburu-buru, dan kembali berlari keluar sambil membawa buku gambar A3 nya berwarna kuning itu.

"Mama?" teriaknya sambil menuruni anak tangga.

Gadis kecil itu berlari dengan cepat, mencari mamanya yang mungkin berada di dalam dapur. Namun, tempat itu kosong, tak ada siapa pun di sana.

Gadis kecil itu menghela, kembali berlari menuju kamar mamanya yang ada di atas. Namun, kali ini langkahnya melamban, ia merasa kelelahan. Terlalu cepat, dan lama berlari membuat kakinya sakit, dan linu.

"Udah beres kan masalah uangnya?"

Suara itu membuatnya mendekati kamar orang tuanya. Berdiri di dekat pintu yang terbuka, dan mulai mencuri dengar perbincangan kedua orang tuanya.

"Kamu yakin mau pindah ke sana? Kerjaan kamu gimana?" ucap Aisyah khawatir.

"Kamu kan pengen rumah yang deket sama masjid, aku cari ini. Nanti kita tetanggan sama adik kamu, jadi lebih bagus lagi kan kalau kita deketan. Masalah pekerjaan itu gampang, aku bisa atur semuanya," sahut Dian.

Alra menghela berat, genggamannya pada buku gambar itu semakin mengerat. Rasanya berat untuk benar-benar pergi meninggalkan sekolahnya yang sangat di cintainya, dan rumah yang memberikan banyak kenangan indah.

Alra tidak mau, tapi jika apa gunanya dia menolak? Tidak akan ada yang mendengarkan. Dia hanya anak kecil yang harus patuh dengan semua perintah kedua orang tuanya.

Gadis kecil itu mulai berjalan menjauh, memasuki kamarnya, dan mengunci pintu itu dengan sekali putaran. Raut mukanya berubah murung. Alra memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Memperhatikan langit-langit kamarnya yang berwarna putih itu dengan senyum tipis.

"Alra, sayang?"

Panggilan itu membuatnya beranjak, dan segera berlari untuk membuka pintu kamarnya.

"Ayo, makan!" ajak Aisyah sambil menggenggam lengan kecil itu.

"Kita mau pindah rumah ya Ma?" tanya Alra.

"Iya, kita pergi ke pulau Jawa. Kampung halaman mama, sama papa," sahut Aisyah tanpa menatap putri kecilnya.

"Berapa lama?"

"Apanya?"

"Tinggalnya."

"Selamanya Sayang, nanti kamu juga pindah sekolah. Sekolah di sana, punya temen baru, rumah baru, sekolah baru, pokoknya semuanya baru."

~o0o~

Pria jakung itu berjalan mengelilingi rumah bersama Aisyah, dan Dian. Mereka berdua menemani calon pembeli rumahnya sambil memberikan sedikit penjelasan soal rumah milik mereka.

Pria itu mengangguk, memperhatikan langit-langit ruang keluar sambil tersenyum senang. Mereka kembali berjalan, menuju balkon yang tak jauh dari ruang keluarga.

"Saya suka, tapi harganya terlalu mahal," ucap pria jakung itu.

"Pak Hamzah, ini udah murah. Gak ada yang ngasih rumah sebesar ini di perumahan elit seharga delapan ratus juta," sahut Dian.

"Iya sih, tapi gimana kalau di kurangin sedikit aja?"

"Gak bisa Pak, ini udah paling murah," sahut Aisyah.

Hamzah terdiam, memikirkan tentang harga rumah yang menurutnya mahal. Namun, memang kisaran harga rumah ini sangat murah. Hamzah bingung, ia ingin rumah mewat, tapi uangnya kurang.

"Pak Dian, uang saya masih enam ratus, gimana kalau minggu depan aja? Gaji saya cair minggu depan soalnya," ucap Hamzah setelah terdiam beberapa lama.

"Oke, minggu depan!" sahut Dian sambil memberikan jabatan tangan.

Pria jakung itu menyambut jabatan tangan Dian dengan ramah, tersenyum senang hingga deretan giginya terlihat.

"Minggu depan saya kabari lagi ya Pak."

"Iya, kami tunggu telepon dari anda!" sahut Dian.

"Kalau gitu saya permisi, harus kerja," ucap Hamzah dengan kekehannya.

Dian, dan Aisyah ikut tertawa kecil, menemani Hamzah untuk keluar dari rumah mereka. Hanya sampai di depan pintu rumah, pria jakung itu berjalan menjauh, masuk ke dalam mobilnya, dan pergi.

"Rumah kita udah murah, tapi dia mintanya lebih murah," ucap Aisyah kesal.

"Udah sabar, gak akan aku kasih! Kita tunggu aja sampai ada pembeli yang bener-bener paham sama harga rumah."

~o0o~

Gadis kecil itu mulai mengisi lembar jawaban ujiannya. Membaca satu per satu soal dengan teliti, sesekali keningnya bertaut dalam sambil menggaruk kulit kepala yang terasa gatal.

Alra lupa soal materi yang di ujikan, terlalu banyak materi yang harus dia pelajari, hingga melupakan materi ini. Entah apa jawabannya, Alra bingung, tapi karena waktu yang sudah menipis. Segera di isi kolom jawabannya dengan jawaban yang asal.

Menurutnya tidak apa-apa jika harus menjawab asal di satu soal, yang terpenting nilai ujiannya akan terus bagus, tidak turun.

Gadis kecil itu mulai menghela, tersenyum senang karena jawabannya sudah penuh terisi.

"Waktu habis, ayo anak-anak di kumpulkan!" teriak wanita paruh baya yang menggunakan kacamata bulat, "Mulai dari absen paling bawah ya, yang tertib!"

Mereka tidak menjawab, beberapa anak yang memiliki absen paling bawah mulai bermunculan. Memberikan lembar jawabannya, dan segera berlari keluar.

Alra ikut berlari, mengunjungi salah satu kelas tari yang sangat di sukainya. Gadis itu berdiri di sambang pintu, memperhatikan anak kelas enam yang sedang menari tari pendet dengan lemah gemulai.

Mereka terlihat sangat cantik dengan kaos olahraga, dan kain batik yang di gunakan sebagai rok. Alra ingin memakainya, tapi sayangnya menari bukanlah keahliannya. Dia terlalu kaku untuk menari, lebih baik melukis, dan mewarnai.

"Al?"

Panggilan itu membuatnya menoleh, "Eh! Iya, kenapa?"

"Ke kelas yuk!" ajak Alvita.

"Bukannya bu iloh masih ada ya? Nanti bilang ribut, mendingan di luar aja."

"Gak ada, bu iloh udah pergi ke kantor. Kita ke kelas aja, udah sepi!" Alvita mulai menarik lengan kecil itu, dan di ajaknya berlari menuju kelas III A yang jaraknya lumayan jauh.

Masuk ke dalam kelas, dan duduk di salah satu bangku yang ada di depan. Alvita mulai membuka ranselnya, mengeluarkan kotak makan, dan botol minum berwarna pink itu.

"Tumben bawa pizza, biasanya pasta atau burger," ucap Alra.

"Hehe! Sisa semalem, ayo makan!" ajaknya.

Alra hanya tersenyum, mengambil satu potong pizza paperoni itu, dan langsung melahapnya dengan pelan.

"Ini ujian terakhir, besok udah kelas meet. Kamu masuk atau engga Al?" tanya Alvita di sela makannya.

"Gak tau, kayanya sih masuk, aku masih ada satu ujian yang belum selesai soalnya."

"Mata pelajaran apa?"

"Seni, aku masih belum selesai gambarnya," sahut Alra.

"Ya ampun! Aku juga belum, malahan aku belum gambar sama sekali!" ucap Alvita terkejut, raut mukanya berubah menjadi panik kali ini.

"Nanti pulang sekolah kan bisa gambar, lagian temanya bebas. Kamu bisa gambar apa aja yang kamu bisa."

"Gambar apa? Aku bingung."

"Bunga aja, kan gampang."

Alvita terdiam, kemudian mengangguk setuju.

"Oh iya Al, nanti kamu mau lanjutin kuliah jurusan arsitektur? Kamu kan jago gambar," ucap Alvita.

Alra tertawa kecil, menggelengkan kepalanya, dan segera menelan habis pizzanya yang sudah sedikit itu. Gadis itu memberikan lambaian tangan pada Alvita, dan mencoba untuk menelan makanannya.

"Engga, aku pengen kedokteran hewan, jadi ini aku jadiin hobi aja," sahut Alra akhirnya.

"Ih! Padahal bagus loh skill kamu kalau masuk arsi."

"Iya sih, tapi aku gak mau. Emangnya kamu mau ambil jurusan apa nanti?" Alra balik bertanya sambil membersihkan tangannya.

"Hm, bingung sih sebenernya, tapi aku mau ambil psikologi."

avataravatar
Next chapter