webnovel

LINDAP

Lindap mengisahkan tentang Alra, putri dari pasangan suami - istri bernama Dian, dan Aisyah. Kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah dari kota besar menuju kota kecil di pulau Jawa. Awalnya kehidupan Alra berjalan dengan baik-baik saja, hidup dengan sederhana karena pekerjaan ayahnya yang selalu berganti tempat. Akan tetapi, ketika Alra mulai duduk di bangku SMP, perselingkuhan ayahnya dengan Susi mulai terjadi, dan Alra ketahui tanpa sengaja. Hal itu membuat sekolahnya menjadi tidak terarah, Aisyah juga menjadi berbeda, dan lebih memilih untuk mendatangi berbagai dukun agar suaminya kembali pulang. Tak hanya permasalahan keluarga yang dia terima, dampak dari permainan dukun yang dilakukan Aisyah pun dia terima dengan gangguan yang hantu-hantu itu berikan. Alra semakin tidak tenang dengan kehidupannya di rumah, dia lebih suka di sekolah untuk bertemu dengan teman-temannya, tapi rupanya di sekolah pun masih ada konflik yang menurutnya lumayan rumit. Berbagai macam masalah datang secara bersamaan, tapi suasana yang memanas berubah manis ketika dia duduk di bangku kelas 9 semester akhir. Bertemu dengan cowok bernama Hazel merubah dunianya yang terasa hambar, banyak yang berubah menjadi manis, dan lebih berwarna. Alra juga bertemu dengan orang-orang yang sama rasa dengannya, terutama dengan masalah keluarga yang sama. Mereka berbagi cerita, dan memberikan uluran tangan agar gadis itu semakin kuat.

meybulansafitrii · Teen
Not enough ratings
156 Chs

E M P A T

Kendaraan beroda empat itu terparkir di depan rumah bercat biru. Sepasang sepatu berwarna putih dengan sedikit goresan hitam keluar dari dalam mobil. Menapak di atas tanah dengan pelan, bersama wanita yang lumayan berisi mereka berjalan memasuki gang yang lumayan besar di dekat sana.

Menelusuri jalanan yang terasa begitu asing. Tempat ini penuh dengan pohon besar yang menjulang tinggi. Ada banyak pohon bambu yang terlihat, pohon kapas mendominasi tempat ini. Alra hanya bisa memandang ke atas. Memperhatikan setiap pohon tanpa berucap sepatah kata pun.

Tempat tinggal barunya akan terasa seperti desa yang sangat asing. Kampung yang berbeda dengan rumahnya yang ada di perkotaan. Alra menghela, ia tidak tahu apakah ia bisa hidup di kampung yang begitu menakutkan ini atau tidak. Terlalu banyak pohon besar yang membuatnya berpikir tentang ambruknya pohon itu secara tiba-tiba.

Langkah Aisyah, dan Aura kini memasuki pagar cokelat besar yang masih belum memiliki tembok pagar di sekeliling rumah. Kening Alra terus bertaut, mencari-cari orang yang mungkin bisa dia kenali di sini.

"Hallo! Cepet banget datengnya, apa kabar?"

Pria gendut yang menyapa ibu, dan adiknya itu membuat Alra memicing. Gadis itu tidak menyukai Damar, tapi dia adalah adik ipar Aisyah yang harus Alra hormati.

Gadis itu mulai mengecup punggung tangan Damar setelah bergantian dengan Yahya yang baru saja tiba.

"Gimana perjalanannya? Seru atau engga?" tanya Damar dengan senyum lebarnya.

"Asyik Om, cuman capek aja harus duduk terus-terusan di dalam mobil," sahut Yahya dengan gembira.

Alra hanya mendengus samar, bola matanya mencari-cari keberadaan ayahnya yang entah ada di mana sekarang. Ia sudah sangat rindu dengan pria itu, ingin sekali memeluknya dengan erat, dan berkata jika Alra sangat merindukannya.

"Papaku di mana Om?" tanya Alra tanpa menatap Damar.

"Ada di rumah."

Kening Alra bertaut dalam, ia tidak paham dengan maksud Damar barusan.

"Di rumah om, nanti kita ke sana," jelas Damar.

"Tante juga ada di sana?" tanya Yahya.

"Iya, sepupu kamu juga ada di sana. Jadi sebentar lagi kita ke rumah om, sampai rumah kamu selesai baru bisa pindah."

"Oh, jadi maksudnya kita tinggal sementara gitu ya?" ujar Alra yang mulai paham.

"Iya."

Sejujurnya Alra tidak suka harus menumpang sementara di sini, tapi apa yang bisa dia lakukan selain menuruti perintah kedua orang tuanya yang sudah di pastikan tidak bisa di ganggu gugat.

Gadis itu kembali menghela samar, mengajak kakaknya untuk pergi duduk di dekat pohon bambu yang tergeletak gazebo. Entah apa motif Dian yang harus meletakkan gazebo di dekat pohon bambu besar ini, padahal jika mencari tahu lebih lanjut, pohon bambu dapat membuat kulit menjadi gatal-gatal.

"Kita bakalan di sini ya?" ujar Alra sambil memperhatikan rumah tetangganya yang begitu jauh, hanya di tempat Damar yang memiliki tetangga jarak dekat. Tempatnya hanya bertetangga dengan pepohonan rindang yang menakutkan.

"Aku gak suka di sini, jelek tempatnya," sahut Yahya.

"Orangnya ramah sih emang, tapi tempatnya gak banget. Aku pengen pulang ke rumah kita yang dulu, di sana lebih nyaman."

Yahya mengangguk setuju, "Meskipun bangunan rumah kita yang di sini lebih besar, sama luas, tapi di sini serem. Aku takut kalau ada maling, kalau lihat acara tv kan di kampung banyak maling."

Alra semakin setuju dengan pendapat kakaknya kali ini. Tempat ini sangat menyeramkan, tidak ada tempat untuk merasa aman di tempat ini. Yang paling dia takutkan adalah orang gila, hantu, dan binatang melata yang tinggal di pepohonan sebelah rumahnya.

"Mama?" panggil Alra kencang.

Aisyah, dan Aura yang baru keluar dari dalam rumah besarnya itu segera menghampiri Alra, dan Yahya.

"Kenapa?" tanya Aisyah.

"Senja udah keluar, kapan kita pergi ke rumahnya om damar? Aku udah gak betah di sini, banyak nyamuk, gatel juga gara-gara pohon bambu ini," keluh Alrah.

"Sebentar lagi, nunggu om damar selesai ya!"

"Ma, kalau malem di sini serem sama gelap kan ya?"

"Iya, emangnya kenapa?"

"Ih! Ma, kasih lampu ya nanti, aku takut kalau nanti malem-malem mau keluar buat ke dapur. Lagian papa aneh banget, masa buat dapur ada di luar rumah sih."

Aisyah tertawa kecil, ikut duduk di sebelah Alra, dan berkata, "Papa gak suka aroma masakan masuk ke rumah, makanya di atur di luar rumah kaya gitu. Emang nyeremin sama pemandangan ini, tapi kan kalau kita deket sama Tuhan sama baca doa terus, gak ada hantu yang berani ngusik kita."

***

Rumah yang lumayan besar dengan cat putih itu terlihat tidak asing. Sedikit cerita yang bisa di ingat selama dia datang ke sini. Semuanya nampak sama, tidak ada yang berbeda sejak umurnya masih empat atau mungkin lima tahun.

Pintu rumah yang terbuat dari kayu itu terbuka lebar. Menampakkan wanita yang masih sedikit muda dengan rambut pendek tersenyum lebar. Memberikan lambaian tangan ramah, dan segera membantu untuk membawakan tas sebelum selesai mencium punggung tangan Aisyah.

"Kenapa lama datengnya? Udah di tunggu daritadi," ucap Wiwin.

"Tadi nunggu tukangnya pulang dulu, baru kita pulang," sahut Damar sebelum berlalu pergi.

"Oalah, ayo masuk!"

Aisyah, dan anak-anaknya itu masuk ke dalam rumah. Meletakkan barang bawaannya yang sedikit di dalam salah satu kamar yang dia gunakan. Setelah meletakkan semua barangnya, segera di ajak ketiga buah hatinya menuju ruang keluarga.

Alra tersenyum lebar, berlari menghampiri Dian, dan memberikan pelukan yang begitu erat. Beralih pada gadis kecil yang memiliki kulit hitam di sana, hanya pemberian jabatan tangan, dan tos.

"Kangen aku gak?" tanya Alra pada gadis kecil itu.

"Iyalah," sahut Acha cepat.

Alra tertawa sebelum ikut duduk di atas kasur yang tergeletak tepat di depan tv. Acara sore ini tetap sama seperti di rumahnya dulu, kartun anak-anak yang membuatnya bosan.

"Udah liat rumahnya?" tanya Acha.

"Udah, rumahnya gede. Kamu suka?"

"Suka, tapi lebih bagus rumah kita yang ada di kota dulu. Di sini desa, banyak orang yang terus-terusan pergi ke sawah. Terus banyak pohon juga, aku waktu itu beli jajan lewat pohon-pohon di situ loh," jelas Acha.

Kening Alra bertaut dalam, ia baru tahu jika di sana ada toko. Padahal tempatnya dekat dengan pohon yang bisa di sebut dengan hutan kecil.

"Kok bisa ada toko sih?" tanya Aura yang ikut penasaran dengan cerita adik bungsunya itu.

"Jadi sana ada banyak rumah juga, deket sama SD. Waktu aku ke sana kan lewat pepohon itu ya, terus tiba-tiba ada ular warna merah campur hijau lewat tiba-tiba."

"Hah?! Kamu gak takut Cha?" tanya Alra kaget.

"Engga, udah biasa. Papa juga kadang tiba-tiba dapet ular yang aku liat, kata papa tempat itu emang habitatnya."

"Ih! Makin gak suka aku sama tempatnya," sahut Aura takut.