webnovel

LINDAP

Lindap mengisahkan tentang Alra, putri dari pasangan suami - istri bernama Dian, dan Aisyah. Kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah dari kota besar menuju kota kecil di pulau Jawa. Awalnya kehidupan Alra berjalan dengan baik-baik saja, hidup dengan sederhana karena pekerjaan ayahnya yang selalu berganti tempat. Akan tetapi, ketika Alra mulai duduk di bangku SMP, perselingkuhan ayahnya dengan Susi mulai terjadi, dan Alra ketahui tanpa sengaja. Hal itu membuat sekolahnya menjadi tidak terarah, Aisyah juga menjadi berbeda, dan lebih memilih untuk mendatangi berbagai dukun agar suaminya kembali pulang. Tak hanya permasalahan keluarga yang dia terima, dampak dari permainan dukun yang dilakukan Aisyah pun dia terima dengan gangguan yang hantu-hantu itu berikan. Alra semakin tidak tenang dengan kehidupannya di rumah, dia lebih suka di sekolah untuk bertemu dengan teman-temannya, tapi rupanya di sekolah pun masih ada konflik yang menurutnya lumayan rumit. Berbagai macam masalah datang secara bersamaan, tapi suasana yang memanas berubah manis ketika dia duduk di bangku kelas 9 semester akhir. Bertemu dengan cowok bernama Hazel merubah dunianya yang terasa hambar, banyak yang berubah menjadi manis, dan lebih berwarna. Alra juga bertemu dengan orang-orang yang sama rasa dengannya, terutama dengan masalah keluarga yang sama. Mereka berbagi cerita, dan memberikan uluran tangan agar gadis itu semakin kuat.

meybulansafitrii · Teen
Not enough ratings
156 Chs

DUA PULUH SATU

Deretan angka pada papan tulis putih membuat Alra menghembuskan napas beratnya untuk beberapa kali. Soal dari nomor satu sampai tiga itu beranak pinak, tak ada satu pun yang bisa dia jawab dengan benar. Terlalu susah untuk di mengerti, padahal sudah ada penjelasannya di samping kiri soal, sudah sangat jelas bagaimana alur menjawab berbagai macam soal yang di hitung ada lima belas.

Namun, Alra masih tak mengerti, dia bertanya pada teman sebangkunya yang ternyata bodoh dengan pelajaran ini. Tak ada yang bisa dia lakukan selain menghela, dan menidurkan kepalanya di atas meja. Beralaskan buku besar matematika miliknya yang terasa lumayan empuk, pengganti bantal intinya.

Mungkin kalian akan bertanya kenapa Alra tak mau bertanya pada pria paruh baya di depan sana? Alasannya karena Pak Narto terkenal begitu garang, nyali Alra menciut, rasanya seperti memiliki trauma untuk mengikuti kelas pria itu.

Helaan napasnya kembali keluar dengan langit cerah yang masih dia perhatikan. Kelas tak kunjung selesai, durasi waktu yang dia lalui hari ini lebih panjang dari biasanya. Padahal hanya dua jam, tapi terasa seperti empat jam di dalam kelas. Dengan materi yang tidak bisa dia pahami, soal yang tidak bisa di jawab dengan benar, dan buku tugas yang masih putih bersih tanpa ads coretan.

Alra tak mengerti dengan cara apa teman-temannya bisa menyukai pelajaran angka ini. Padahal hanya melihat angka saja kepalanya terasa sakit, nyeri yang begitu hebat datang secara tiba-tiba, apa lagi ada kantuk yang datang.

"Alra?"

Suara tegas itu membuat Alra buru-buru menegakkan tubuhnya, menatap Pak Narto yang sekarang berdiri tepat di depannya dengan wajah garang seperti biasanya, tapi kali ini sambil berkacak pinggang. Terlihat lebih garang. Lebih menyebalkannya lagi semua siswa di dalam kelas itu memberikan tatapan tak menyenangkan pada Alra.

Gadis itu menjadi pusat perhatian hari ini.

Gadis itu mengerjap-ngerjapkan kedua netranya beberapa kali dengan perasaan takut, dan detak jantung yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Kedua tangannya ikut gemetar meskipun hanya sedikit.

"Jawab soal di depan!" ucap Pak Narto begitu dingin.

Alra melirik ke arah papan tulis, soalnya sudah berubah, "Kok... Soalnya ganti jadi PBF sama KPK Pak?"

"Materinya udah ganti, kamu kebanyakan tidur!" ketus Pak Narto, "Sekarang berdiri, dan kerjakan soal yang ada di papa!"

Gadis itu sedikit terkejut sambil memendam bibirnya sebelum beranjak. Melangkah pergi menghampiri papan tulis dengan spidol hitam yang sudah dia genggam beberapa saat yang lalu.

Alra tidak yakin bisa mengerjakan soal-soal ini sekarang, pasalnya dia memilih untuk tidur ketika Yahya sudah bersemangat untuk mengajarinya. Entah kenapa banyak sekali cobaan di hari ini, dia tidak bisa merutuki kebodohannya, bagaimana caranya sekarang untuk melarikan diri?

Hembusan napas berat keluar begitu dia menatap papan tulis yang lebih tinggi, dan lebar darinya.

"Ini adalah contoh murid yang tidak baik. Sukanya tidur waktu ada guru yang lagi jelasin materi, bilangnya gak paham kan harusnya berusaha atau gak gitu bertanya biar paham, tapi ini engga! Tidur, di suruh maju malah plonga-plongo!" teriak Pak Narto dengan suara yang begitu menggelegar.

Anak-anak kelas itu masih membisu dengan wajah tegang, sedangkan Alra terus saja berdoa pada Tuhan agar mendapatkan hidayah berupa bell istirahat atau mungkin Pak Narto berbaik hati untuk tidak memberikannya hukuman seperti ini.

Namun, rupanya pria itu tidak berbaik hati, masih mengomel, dan sekarang mengambil penggaris kayu yang sangat panjang di atas lemari. Memberikan pukulan ringan pada kedua betis Alra, tidak begitu sakit, tapi memberikan ingatan kelam untuknya nanti, di masa depan.

"Duduk!"

Alra mengangguk, dan berlari untuk segera duduk. Tak lama kemudian bell istirahat berbunyi, pria tua itu mulai membersihkan barang-barangnya, dan berjalan keluar di barengi dengan menghilangnya para siswa.

Namun, Alra masih di tempatnya dengan hembusan napas panjang. Bibirnya dia pendam sejenak sebelum memasukkan semua alat tulisnya di dalam tas, meninggalkan satu buku tak terpakai dengan pulpen tinta merah.

Gadis itu memilih untuk menggambar sesuatu, mencoret-coret bagian kepala, dengan hembusan napas kesal yang kembali keluar. Rasanya ingin segera pergi, dan menghapus pelajaran matematika atau mungkin lebih gila dari hal itu.

"Alra!"

Suara itu membuatnya menoleh, mengernyitkan dahi ketika melihat cowok tinggi itu menghampirinya. Duduk tepat di kursi depan dengan senyum yang begitu lebar, kali ini dia tidak membawa tangan kosong. Berbagai macam makanan ringan diletakan di atas meja.

"Buat kamu. Kata tina kamu gak mau ke kantin gara-gara abis di hukum sama pak narto, ketiduran apa emang tidur?" ucap Hendrik.

Alra hanya tersenyum tipis, mengambil satu bungkus chocholatos, "Kenapa beli banyak?"

"Buat kamu, buat kita, makan berdua. Di kelas empat, berdua doang, suka kan?"

"Dih! Engga, biasa aja."

Hendrik tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Alra yang terlihat tidak nyaman dengan wajah semerah kepiting rebus, "Pak Narto tuh galak, gak suka sama orang yang bego matematika. Aku aja tiap kali kelasnya pak narto milih buat bolos sih, gak mau kena hukuman, apa lagi wajah yang di coret spidol."

"Spidol? Itu pas bagian apa?"

"Maksudnya bagian apa?" kening Handrik bertaut.

"Maksudku pas kamu buat salah apa sampai pak narto ngasih spidol kaya gitu?"

"Ah! Itu, ini apa tu namanya... Terserah pak narto aja sih, mau pake penggaris atau pakai spidol. Aku pernah berkali-kali kena spidol, bisa di itung jari sih, itu pun kalau masuk kelas."

"Kenapa masuk kelasnya? Kan katanya gak suka."

Cowok itu menghela sambil membenarkan posisi duduknya yang terasa tidak nyaman, "Pas bab yang aku suka aja sih, atau mungkin pas lagi masuk di otakku aja. Pagi tuh kan selalu ada PR ya, jadinya aku minta tolong temen buat ajarin materinya."

"Terus?"

"Terus kalau paham aku masuk kelas, tapi kalau engga bolos sama temen."

"Biasanya kalau bolos ke mana? Gak mungkin pulang ke rumah kan?"

Lagi-lagi Hendrik tertawa mendengar pertanyaan dari Alra, kepalanya menggeleng ringan dengan air mata yang keluar saking lucunya mungkin, "Gaklah Al, gila apa ya? Bisa-bisa ayah marah, terus aku di pukul pakai sapu karena gak sekolah. Jadi sama temen pilih tempat yang asyik buat bolos, kaya... warung di depan gang mawar itu. Tau kan?"

"Ah! Itu, iya-iya aku tau, tapi aku gak pernah tau kalau di pakai buat bolos."

"Nah! Itu bagusnya Al, kita kalau bolos perginya ke dalem rumah pemilik warung, main PS, main catur, makan, tidur, gitu deh pokoknya," jelas Hendrik, kembali menikmati makanan ringan yang dia bawa, "Kamu mau ikut?"