17 Terbangun

Di dalam kamar hotel...

Setelah meletakkan koper miliknya, Gardnerr mempersilahkan istrinya untuk duduk di seberangnya.

"Baiklah, sekarang mulailah bicara. Aku sudah mengabulkan keinginanmu untuk membiarkan Joy tetap tinggal bersamamu. Rumah yang kita tinggali juga atas namamu, kau tidak perlu khawatir tentang tempat tinggal. Lalu apa lagi yang kau inginkan?"

Semula Gardnerr merasa terheran-heran melihat istri dan putrinya datang menyusulnya sambil berlari.

Bahkan istrinya sama sekali tidak bicara saat berdiri dihadapannya selama beberapa menit.

Dia sudah bertekad untuk pergi dari kota ini; kota yang dipenuhi dengan keluarga istrinya, belum lagi keluarga dari pihaknya. Mereka semua sama meskipun keluarganya tidak seketerlaluan keluarga istrinya.

Melihat istrinya masih tidak mau bicara dan dia harus segera naik pesawat kalau tidak mau ketinggalan, akhirnya dia membelikan tiket untuk mereka berdua.

Dia sama sekali tidak peduli apakah istrinya akan menolaknya atau membuang tiketnya. Yang dia inginkan adalah segera pergi dari kota menyesakkan itu.

Di luar pikirannya, baik istri maupun putrinya tidak menolak. Mereka bersedia mengikutinya hingga di tempat ini.

"Jadi?" sekali lagi Gardnerr berusaha membuat istrinya untuk mulai bicara. Tidak tahu kapan istrinya akan mulai bicara, dia tetap bersabar menunggu.

"Maaf.." ucap istrinya dengan lembut. "Maafkan aku. Kumohon jangan tinggalkan aku. Tidak. Jangan tinggalkan kami."

Gardnerr bisa melihat mata wanita yang dulu pernah dia cintai, berkaca-kaca. Dia bisa saja memeluknya dan menenangkannya, tapi itu dulu. Bukan sekarang.

"Kita sudah bercerai. Tidak ada hubungan apapun diantara kita."

Tubuh Helen menjadi kaku saat mendengar ini.

"Tapi, aku tidak... aku belum menandatanginya."

"Perlu atau tidaknya sama sekali tidak penting. Yang pasti sekarang aku tidak akan kembali ke rumahmu." balas Gardnerr dengan dingin.

"Kau boleh tinggal disini selama kau mau. Beritahu aku jika kau ingin kembali pulang. Aku akan memesan tiket pesawat untuk kalian."

"Gardnerr, apa kau benar ingin bercerai denganku? Joy sama sekali tidak menginginkan perceraian kita."

"Aku sudah lelah. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi."

Harus bekerja dibalik layar hanya untuk membantu usaha istrinya.. bukan.. usaha keluarga istrinya. Setelah itu balasan yang ia dapatkan adalah hinaan, amarah dan pertengkaran yang terjadi hampir setiap hari.

Dia sudah tidak sanggup lagi.

"Kumohon... jangan tinggalkan aku." Helen mengucapkannya dengan terisak.

Gardnerr bangkit berdiri dan menjauh dari istrinya. Dia tidak ingin melihat ekspresi istrinya yang pastinya akan membuatnya luluh jika dia melihatnya walau hanya sebentar saja.

"Kalau tidak untukku, tolong lakukanlah untuk Joy."

"Joy bukanlah anak kecil lagi. Suatu saat nanti dia pasti mengerti."

"Kenapa.. kenapa kau tega meninggalkan kami?"

"Aku sudah menjawabnya. Kalau tidak ada lagi yang perlu dibahas, silahkan keluar dari kamar ini. Aku sudah memesan satu kamar lagi untuk kalian berdua."

Gardnerr membuka pintu balkon kamarnya dan keluar hingga di ujung balkon. Disana dia melihat putrinya sedang duduk di pinggiran kolam renang dengan tatapan bengong.

"Gardnerr.. apa yang harus kulakukan untuk mengubah keputusanmu? Aku akan melakukan apapun. Kumohon..."

Dia bisa mendengar suara yang memohon dengan amat sangat dari arah belakangnya. Tanpa melihat ke arah belakang, pandangannya tetap fokus ke arah Joy.

'Papa, jika seandainya waktu boleh diulang, apakah papa masih memilih mama?'

Dia teringat akan pertanyaan putrinya. Meskipun putrinya menanyakan hal sama berulang kali, ia tetap akan memberi jawaban yang sama.

Hanya saja, jika memang waktu boleh diulang.. dia tidak akan bekerja di tempat itu; dia tidak akan meninggalkan istri dan putrinya selama dua tahun penuh; dia tidak akan membiarkan istrinya kembali merasakan derita yang dialaminya sewaktu masa mudanya.

Terlebih itu semua, dia akan membatasi hubungan istrinya dengan keluarganya. Tapi, jika dari awal mereka tidak makmur.. pastinya tidak akan ada yang 'mencari' istrinya.

"Gardnerr, kumohon.. beri aku kesempatan. Aku tahu aku sering minta cerai, tapi aku sama sekali tidak menginginkannya. Aku sama sekali tidak ingin berpisah darimu. Aku akan berubah jika kau mau, aku akan melakukan apapun yang kau inginkan."

"..."

Padahal dia sudah menahan diri untuk tidak luluh. Dia sudah yakin dia tetap bisa bertahan pada pendiriannya selama dia tidak melihat wajah wanita itu.

Tapi kenapa hanya mendengar suaranya yang sedih membuat hatinya perih?

Terlebih lagi wanita itu mengatakan dia akan berubah, bahkan rela melakukan apapun yang diinginkan. Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat wanita itu memohon dengan merendahkan dirinya.

Bahkan saat mereka hidup dalam kekuranganpun, Helen tetap tidak akan memohon bantuan dari keluarganya.

Sekarang, wanita itu merendahkan dirinya dan memohon dengan putus asa. Apalagi yang dia inginkan?

Dia melihat Joy yang tadinya termenung sambil menunduk, kini menghadap kearah langit. Meskipun sangat kecil, dia masih bisa melihat senyuman tipis pada wajah putrinya.

Saat itu dia tersadar... Kini dia tahu apa yang dia inginkan. Tapi keinginannya tidak akan terwujud jika istrinya masih memikirkan harga dirinya terhadap keluarganya.

Karena itu... Dia memberi jawaban atas permohonannya.

"Apa kau benar akan melakukan apapun yang kuinginkan?"

"Benar. Apapun."

Gardnerr tersenyum mendengar ada nada berharap pada suara istrinya. Kemudian dia memutar tubuhnya untuk melihat wajah istrinya.

"Aku ingin kau melepaskan semua tanggung jawabmu terhadap usaha yang kau kelola. Jika kau memiliki saham disana, aku ingin kau memberinya pada saudaramu secara cuma-cuma atau menjualnya dengan harga berapapun. Apa kau bisa melakukannya?"

Pertanyaan apa ini, tentu saja wanita dihadapannya tidak akan rela melepaskannya.

Sementara itu Helen merasa bimbang dan sedang bergumul didalam hatinya.

Selama ini Helen membangun usaha yang dipegangnya dari titik nol. Dialah yang membuatnya bisa bertahan hingga sekarang. Sebagian dirinya bahkan sudah sangat menyukai pekerjaannya.

Sekarang, demi agar mereka tidak bercerai, suaminya ingin dia melepaskan semuanya? Bagaimana mungkin dia bisa melakukannya? Dia tidak bisa. Dia terlebih tidak rela.

Dia tidak ingin kembali direndahkan ataupun ditindas oleh keluarganya. Dia tidak ingin dirinya kembali seperti dulu. Tidak.. Dia tidak ingin.

Helen menelan ludah saat sedang memilih jawabannya. Dia mengangkat kepalanya untuk melirik kearah pria yang sedang menunggu jawaban darinya.

Begitu matanya bertatapan dengan mata itu, hati Helen berteriak...

Apa yang telah ia pikirkan? Kenapa dia tidak ingin melepaskan pekerjaannya? Karena ia takut akan perlakuan saudara-saudaranya.

Tapi, kenapa ia harus takut? Bukankah suaminya selalu memberinya perlindungan dan kenyamanan disaat dia dihadapi situasi sesulit apapun?

Sebelum suaminya pergi untuk bekerja di pertambangan minyak selama dua tahun, suaminya selalu membentenginya terlindungi dari cacian saudara-saudaranya.

Suaminya dengan caranya sendiri memberikan kesan yang menakutkan pada saudara-saudaranya, sehingga mereka semua tidak berani menyinggungnya.

Jika ada suaminya disisinya, apa yang harus dia takutkan? Jawabannya... tidak ada.

Karena itu, dia bisa menjawabnya dengan keyakinan yang besar.

"Baik. Aku akan melepaskan semuanya."

Helen tidak melewatkan tatapan tak percaya pada suaminya.

"Apa lagi yang kau inginkan? Katakan semuanya, kali ini aku akan mendengarkan apapun yang kau katakan." Helen memberanikan dirinya untuk berjalan mendekati suaminya.

Melihat wanita yang dikasihinya berada dihadapannya, Gardnerr memasukkan jari-jarinya diantara rambut pendek istrinya.

"Aku ingin kau memanjangkan rambutmu. Kau terlihat lebih cantik dengan rambut panjang."

"Baik. Ada lagi?"

"Aku ingin kau juga mengatakan apa yang kau inginkan dariku."

Hati Helen terasa terenyuh mendengar itu.

"Aku harap kau tidak menyerah padaku. Aku harap kau terus menjelaskan isi hatimu padaku. Aku harap tidak ada lagi salah paham diantara kita, aku harap tidak ada lagi jurang pemisah diantara kita." Helen mengucapkannya dengan lembut sambil memegang pipi suaminya.

Gardnerr menggenggam tangan dipipinya dengan penuh rasa sayang. Dia membawa tangan istrinya ke arah bibirnya sebelum memberi kecupan pada tangannya.

"Iya. Mari kita lakukan itu."

Untuk pertama kalinya baik Gardnerr maupun Helen tersenyum lepas saat kedua dahi mereka bersentuhan.

Tidak lama kemudian, Gardnerr merangkul pundak istrinya sementara kedua tangan Helen melingkar dipinggangnya.

Mereka berdua sama-sama menatap Joy yang sedang melamun di pinggir kolam.

"Kau ingat saat pertama kali Joy lahir?" tanya Gardnerr pada istrinya.

"Tentu saja. Dia membawa tawa dalam kehidupan kita."

"Benar. Aku berencana mengembalikan tawanya, tidak hanya tawanya.. aku juga ingin memgembalikan tawamu. Aku ingin mendengar tawa kita bertiga bersama-sama."

Helen mendongakkan kepalanya dan menatap suaminya dengan rasa penuh kekaguman. Selama ini dia mengira suaminya sudah tidak lagi mencintainya, karena itu dia tidak bisa sepenuhnya percaya pada ucapan Joy yang mengatakan bahwa Gardnerr masih menyayanginya.

Namun disaat dia melihat gambar itu, gambar yang dilukis oleh Gardnerr, dia menjadi lebih yakin.. pria ini memiliki perasaan yang sama dengan dirinya.

Gambar itu adalah adegan enam belas tahun lalu disaat Joy lahir. Dia menggendong Joy yang sedang tertidur sementara suaminya merangkulnya dan bersama-sama mereka menatap Joy dengan senyuman bahagia.

Jika pria itu sudah tidak menyayanginya lagi, maka tidak mungkin gambar seindah itu bisa tercipta. Terlebih lagi suaminya menggambarnya belum lama ini.

"Gardnerr.. kau adalah satu-satunya pria yang kucintai seumur hidupku."

Gardnerr tersenyum mendengar pengakuan istrinya,

"Cintaku... aku yang terlebih dahulu menemukanmu.. Kau satu-satunya wanita yang kuinginkan di dunia ini."

Gardnerr mengecup dahi istrinya tanpa mengetahui putrinya telah menyadari kemunculan mereka.

Joy segera bangkit berdiri dan larut dalam adegan romantis kedua orangtuanya. Disaat yang sama dia merasa pernah melihat adegan itu.

Tapi dimana? Dia berusaha mengingat-ingat sambil berjalan mendekati mereka untuk melihat dengan lebih jelas.

Joy masih terus berpikir tidak memperdulikan langkah kakinya. Setelah beberapa langkah, kakinya terpeleset dan dia terjatuh di kolam.

Kali ini dia tidak berusaha berenang ke atas karena dia melihat bayangan lain.

'Lihat, bukankah dia sangat cantik?'

'Benar, dia sangat cantik. Dia persis dengan dirimu.'

'Benarkah? Tapi bentuk hidungnya sama persis sepertimu.'

Seorang pria tertawa mendengar rajukan istrinya.

'Sayang, percayalah padaku. Dia lebih mirip denganmu daripadaku.'

'Baiklah, aku akan mempercayaimu. Kita masih belum memberinya nama.'

'Hm.. sebaiknya kita kasih nama apa?'

'Aku sama sekali tidak tahu. Aku hanya berharap anak ini bisa bertumbuh dengan baik dan penuh dengan tawa didalam hidupnya.'

'Helen, apakah kau bahagia?'

'Tentu saja. Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Kau?'

'Aku juga.'

Mereka berdua saling tersenyum bahagia.

'Kalau begitu, mari kita panggil dia Joy. Dia adalah sumber bahagia kita, dan kelak dia bisa bertumbuh sesuai dengan harapanmu.'

'Joy.. aku menyukainya. Selamat datang ke keluarga kami Joy kecilku.'

Kemudian sang suami merangkul istrinya dan mereka berdua menatap bayi mereka dengan bahagia. Adegan itu persis seperti yang digambar ayahnya beberapa hari lalu saat mereka di oasis.

Ternyata.. itulah asal muasal namanya diberikan. Ternyata... gambar itulah membuat ibunya mengejar ayahnya di bandara.

Ssperti yang diduganya.. ayah dan ibunya sama-sama masih memiliki kasih diantara mereka.

Mengetahui akan hal ini Joy memejamkan matanya sambil tersenyum, membiarkan tubuhnya ditarik ke bawah dasar kolam.

Semakin jauh dia tenggelam semakin gelap pula penglihatannya.

'Saatnya kembali.'

Iya. Dia sudah bisa kembali dengan tenang. Tidak peduli apakah dia terbangun kembali di masa depan yang kelam atau di masa depan yang telah berubah, Joy yakin... dia akan menjadi pribadi yang lebih baik.

Joy kembali berdiri di tengah kegelapan. Hanya saja kali ini dia tidak merasa sedih ataupun takut. Dia terus berjalan dengan langkah kaki yang mantap.

Dia yakin dia pasti menemukan jalan keluar dari dunia kegelapan ini. Dan akhirnya.. dia melihat sebuah titik cahaya. Tadinya dia berjalan dengan santai kini dia berlari ke arah cahaya tersebut.

Semakin dekat cahaya itu semakin membesar dan tangannya meraih menyentuh cahaya.

Saat itulah, matanya terbuka.

avataravatar
Next chapter