18 JOY

Pertama kali yang dia lihat adalah langit-langit atap berwarna putih, aroma di ruangan seperti bau obat-obatan menusuk hidungnya.

Saat dia mencoba untuk bangun, dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Apalagi pada bagian kepalanya, dia merasa seperti telah dihantam sesuatu dengan keras pada kepalanya.

Dia merasa berat untuk menggerakkan tangannya seolah ada gravitasi yang menahannya untuk bergerak.

Akhirnya dia hanya menggunakan matanya untuk mengamati ruangannya. Dia melihat meja putih dengan segelas air putih diatasnya. Tidak jauh darinya, ada sebuah sofa panjang dengan selimut yang acak-acakan membuktikan ada orang yang tidur disana sebelumnya.

Dia bisa melihat cairan bertuliskan IV di atas bagian kanannya. Cairan tersebut terhubung dengan selang kecil menuju ke arah tangannya. Dia melihat tangan kanannya dimasukkan sebuah jarum yang menyambung dengan selang kecil.

Barulah dia sadar... dia berada di rumah sakit dan diberi infus.

Joy berusaha mengingat kembali apa yang terjadi padanya. Hal pertama yang dia ingat adalah dia terjatuh di kolam renang... Bukan. Dia terpeleset dan terjatuh di sungai.

Bukan. Sepertinya juga bukan. Lalu apa yang terjadi padanya? Kenapa dia berbaring di rumah sakit? Bayangan-bayangan di kepalanya bercampur aduk antara ingatan dengan mimpinya.

Dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada kedua orangtuanya sejak saat itu? Apakah mereka masih memutuskan bercerai ataukah sebaliknya?

Atau apakah ibunya sudah tiada? Joy sama sekali tidak mau memikirkannya.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan dia melihat seorang wanita berambut panjang dengan usia sekitar lima puluh tahunan menghampirinya dengan penuh sukacita.

"Joy, kau sudah sadar. Syukurlah. Mama pikir mama tidak bisa melihatmu lagi."

Mama? Tapi seingatnya ibunya memiliki rambut yang pendek. Beliau tidak suka memanjangkan rambutnya karena selalu menghalangi aktivitasnya untuk bergerak lebih cepat.

Semula Joy masih belum terbiasa dengan penglihatannya seolah dia telah tertidur dalam waktu yang lama. Kini dia bisa melihat dengan jelas.

Wanita yang sedang membungkuk disisinya memang ibunya.

"Mama.. mama.." tanpa sadar Joy memanggil ibunya sambil terisak.

"Iya, mama disini." Helen menepuk tangan putrinya dengan lembut.

Sekali lagi pintu kamar terbuka dan kali ini ayahnya muncul.

"Joy, kau sudah sadar." ayahnya masuk kedalam setelah memanggil dokter. Tidak lama setelah itu, dokter masuk ke ruangan beserta dua suster untuk mengecek keadaannya.

Joy tidak memperdulikan dokter yang merawatnya, dia melihat kedua orangtuanya dengan seksama.

Ayahnya merangkul pundak ibunya sambil menatapnya yang sedang diperiksa. Dia merasa familiar dengan sikap mereka tapi juga merasa aneh.

Dia merasa dia masih belum kembali ke masa yang sebenarnya atau apakah mungkin dimasanya yang sebenarnya dia sudah mati? Sehingga dia tidak bisa kembali dan menetap di masa lalunya.

"Baiklah. Kau akan baik-baik saja. Selain benturan di kepalamu, tidak ada masalah yang serius. Jika berjalan dengan baik, dia bisa pulang besok sore." jelas sang dokter pada ayahnya.

"Terima kasih dok."

Helen segera kembali kesisinya sementara ayahnya berdiri disisi lain.

"Apa yang terjadi?" tanya Joy masih belum mengerti kondisi yang terjadi saat ini.

"Kau terjatuh di kolam. Sayangnya, saat kau terjatuh, kepalamu terbentur lantai dengan keras."

Barulah dia merasakan sesuatu yang mengikat kepalanya. Kepalanya telah diperban dengan kain perban.

"Tenang saja, kau hanya mengalami gegar otak ringan dan kau sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari." kali ini ayahnya yang memberi penjelasan

Dia mulai menjadi yakin dia belum kembali ke masa yang sebenarnya. Mengapa dia tidak kembali? Apakah benar dia sudah mati?

Dia tidak peduli lagi, selama dia bisa hidup bersama dengan kedua orangtuanya dia sudah puas.

"Papa, mama, Joy ingin selalu bersama dengan kalian."

Kedua orangtuanya tertawa geli mendengar itu.

"Joy sayang, tentu saja kita akan sering bersama. Tapi akan ada waktunya kita tidak bisa selalu bersama."

"Mengapa?"

"Berapa lama lagi kau harus membuatnya menunggu?" pertanyaan ayahnya membuatnya bingung. "Papa mama juga sudah tidak muda lagi. Kami harap, kami bisa segera milhat cucu-cucu kami."

"Benar sekali."

"Tapi, Joy bahkan belum lulus SMA, kenapa kalian memikirkan cucu?"

Joy merasa aneh dengan tatapan kedua orangtuanya. Ada yang tidak beres.

"Joy, apa kau ingat berapa usiamu sekarang?" tanya ayahnya membuatnya semakin bingung.

"Enam belas?"

Dia melihat mata kedua orangtuanya membelalak. Dia sadar dia sudah bukan anak SMA lagi. Dia segera merubah jawabannya.

"Maksud Joy, Joy berumur dua puluh tujuh sekarang."

"Aku akan memanggil dokter."

"Aku akan menemaninya disini."

Joy semakin bingung dengan sikap kedua orangtuanya. Dia merasakan elusan lembut di kepalanya. Dia melihat ibunya menatapnya dengan sedih.

"Mama, ada apa?"

"Tidak ada."

Setelah menunggu selama beberapa menit, dokter masuk dengan membawa sebuah file.

Ibunya membantunya untuk bangun dan duduk dengan nyaman di ranjangnya. Begitu dia duduk, kepalanya terserang sakit yang luar biasa. Berbagai macam gambaran muncul di kepalanya. Lebih tepatnya ingatannya yang sebenarnya.

Saat itu juga dia menyadari apa yang tidak beres. Dia ingat terakhir kali dia merayakan ulang tahunnya. Pastinya bukan usia enam belas ataupun dua puluh tujuh.

Dia juga mengingat hubungan kedua orangtuanya sangat harmonis bahkan perceraianpun tidak pernah terjadi.

Meskipun begitu, dia ingat dengan jelas.. kedua orangtuanya memang sering bertengkar dan hampir bercerai sepanjang masa-masa sekolahnya.

Namun karena bantuan seseorang, dia bisa mengenal sisi ayahnya yang tidak pernah diketahuinya. Bersama dengan orang itu mereka berhasil menghancurkan jurang pemisah antara kedua orangtuanya.

Ibunya melepas semua usaha dan saham yang dimilikinya. Ayahnya memiliki usaha properti sendiri. Meskipun ayahnya masih memberikan semua kendali atas keuangan keluarga pada ibunya, namun ibunya tidak akan menggunakan uang tersebut tanpa sepengetahuan ayahnya.

Ayahnya tetap membantu keluarga ibunya, namun bukan dengan bantuan 'dana', melainkan bantuan pengetahuan dan koneksi yang dimiliki ayahnya.

Semenjak saat itu tidak ada yang berani menindas atau menghina mereka bertiga. Bahkan mereka juga tidak mendengar anjuran cerai dari mulut keluarga ibunya.

Tadinya dia masih belum bisa membedakan yang mana yang mimpi atau kenyataan. Ternyata apa yang dilihatnya tadi memang adalah mimpi. Lebih tepatnya kenangan yang sudah lama dia kubur; entah kenapa timbul kembali bercampur dengan imajinasinya di mimpinya.

Baru-baru ini dia sedang menyukai sebuah drama tentang mesin waktu. Seorang tokoh utama yang melakukan kesalahan fatal di masa lalunya. Kemudian menggunakn mesin waktu untuk kembali memperbaiki kesalahannya.

Mungkin inilah penyebabnya dia mengalami mimpi yang bisa kembali ke masa lalu. Sepertinya dia harus berhenti menonton drama itu atau kalau tidak, entah mimpi seperti apa lagi yang akan muncul di tidurnya.

"Pertama-tama, apa yang kau ingat terakhir kali?" tanya sang dokter.

"Kita sedang menginap di sebuah hotel bersama keluarga besar papa dan mama. Lalu aku bermain kejar-kejaran dengan saudara sepupu di dekat kolam. Saat itulah aku terjatuh."

"Apa kau ingat usiamu sekarang?"

"Dua puluh sembilan."

"Pekerjaanmu?"

"Kepala departemen marketing di perusahaan papa."

"Apa kau ingat nama ayahmu?"

"Gardnerr."

"Ibumu?"

"Helen."

"Tunanganmu?"

"...."

Tunangan? Dia memiliki tunangan??

Sesi pertanyaan berjalan dengan lancar. Anehnya dia bisa mengingat segalanya mengenai dirinya ataupun keluarganya, tapi dia tidak bisa mengingat apapun mengenai tunangannya.

"Kau sudah menghubunginya?"

Joy mendengar ayahnya bertanya pada ibunya.

"Dia dalam perjalanan disini."

"Mama, orang yang menjadi tunangan Joy tidak ikut menemani disini?"

"Jangan salah paham Joy. Dia menemanimu disini, selama tiga hari dua malam. Terkadang dia akan tidur di sofa itu selama beberapa jam. Lalu mama memaksanya untuk cari makan siang di luar. Akhirnya dia menurut. Dia selalu makan di kantin rumah sakit yang kurang mengenyangkannya. Karena itu mama memaksanya keluar sebentar. Dia pasti sudah dekat."

Ternyata benar, tepat ibunya selesai bicara, terdengar ketukan di pintu kamarnya.

Lalu seorang pria masuk kedalam memandangnya. Begitu matanya bertatapan dengan mata pria itu, sakit di kepalanya mulai timbul tiba-tiba sebelum akhirnya menghilang secepat kedatangannya.

Bagaimana mungkin dia bisa melupakan pria ini? Orang inilah yang membawanya untuk melihat sisi baik ayahnya.

Orang inilah yang terus membantunya dan memberinya kekuatan untuk bertahan. Orang inilah yang terus memberinya dukungan dan ide-ide untuk membuat hubungan kedua orangtuanya menjadi lebih baik.

"Apa benar kau tidak ingat padaku?" tanya pria itu dengan suara yang lembut, namun juga terdengar sedih.

Joy memberikan senyuman terlebar yang pernah ia berikan saat menjawabnya.

"Aku ingat. Kau adalah John."

John ikut tersenyum bersamanya dan berjalan kearahnya.

Meskipun Joy tidak melihat, namun dia yakin kedua orangtuanya merasa lega. Sepertinya dia hanya mengalami amnesia untuk sesaat.

Setelah selesai makan yang disediakan rumah sakit, Joy membujuk tunangannya untuk membawanya jalan-jalan.

John menurutinya dan menemaninya duduk di taman belakang gedung rumah sakit.

"Kau yakin kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja. Lagipula aku tidak tahan dengan bau rumah sakit. Kau juga tahu itu."

John tersenyum, "Aku tahu."

Setelah menutupi tubuh Joy dengan jaketnya agar tidak masuk angin, John duduk disampingnya dengan tangannya diatas senderan kursi merangkul pundak Joy.

"Aku.. saat aku tidak sadarkan diri, aku bermimpi."

"Mimpi apa?"

"Papa mama yang sering bertengkar, tante Febe yang selalu menganjurkan agar papa mama bercerai. Mama yang hampir setiap hari minta cerai. Dan aku yang membenci papa.. juga mengharapkan perceraian mereka."

"..."

"Namun, saat beberapa saat aku terbangun dari mimpi itu, aku tersadar. Mungkin itu memang mimpi, tapi mimpi itu terbentuk dari ingatan yang ingin kulupakan. Aku tidak ingin mengingat masa-masa itu, karenanya aku menguburnya dalam-dalam. Tapi, gara-gara mimpi ini aku jadi mengingat hal yang tidak ingin kuingat. Rasanya... membuat rasa bersalahku, penyesalanku, muncul kembali. Membuatku tidak bisa bernapas. Aku..."

"Joy," panggil John sebelum perasaan Joy semakin terpuruk. "Tidak ada yang menyuruhmu untuk melupakan masa lalumu. Masa lalu tidak akan pernah hilang atau dilupakan. Tapi bukan berarti kau harus selalu mengingatnya. Masa lalu hanyalah seperti sejarah, kita bisa mengingatnya untuk menjadi pembelajaran bagi kita. Tapi itu tetaplah masa lalu. Yang sudah berlalu biarlah berlalu, yang penting adalah sekarang dan yang akan datang."

Joy menatap tunangannya dengan pandangan kagum tak terucapkan. Pria itu selalu bisa memberikannya jawaban, selalu bisa membawanya keluar dari jalan buntu, dan selalu bisa memberinya kedamaian.

"Apa kau tahu? Di tengah-tengah mimpiku, kau muncul disana." Dia ingat ada pria misterius yang memberikannya roti dan segelas susu. Pria misterius itu jugalah yang mengubah cara pandangnya terhadap ayahnya.

"Benarkah? Seperti apa aku yang ada dimimpimu?"

"Sama seperti saat ini. Kau memberikanku jawaban keluar untuk semua masalahku. Kau memberikan cahaya saat aku berada dikegelapan. Kau yang mengubah kehidupanku."

John sama sekali tidak mengharapkan serangan ini. Bukan kalimatnya yang membuatnya detak jantungnya berdegup dengan kencang. Tapi cara wanita tersenyum dan sinar matanya yang lembut nan bersinar membuatnya tak bisa memalingkan pandangannya.

"Apa kau tahu apa artimu bagiku?"

"Apa?"

"Bahkan saat semua orang yang kusayangi akhirnya berubah dan meninggalkanku, kau satu-satunya yang kuharapkan untuk tidak berubah. You are my Joy~Kau adalah sukacitaku."

Joy... nama itu diberikan oleh kedua orangtuanya karena dia membawa sukacita bagi mereka.

Tapi baginya, nama itu merupakan bentuk kasih yang besar dan harapan dalam dirinya. Bukan karena dia membawa sukacita, tapi dia bisa bersukacita bersama dengan orang-orang yang dikasihinya.

Dengan matahari yang semakin lama semakin menurun, tercipta sebuah sinar yang indah menyinari mereka berdua.

Segalanya terasa sempurna dengan suara burung berkicauan di atas pohon, aroma harum bunga yang tumbuh disekitar mereka, suara orang-orang bicara tidak jauh dari mereka... Tidak ada lagi yang dimintanya saat John mengecup dahinya dengan penuh kasih sayang.

Fin.

avataravatar
Next chapter