webnovel

Semua Tentang Kita

Pemuda itu sontak membuka mata dengan dada yang berdentum-dentum. Dengan sebelah tangan ia lalu menyeka keringat dingin yang nyaris masuk ke matanya. Sial! Kenapa mimpi yang hadir semalam adalah reka ulang kejadian putusnya dia dengan Sinta, sih?! Jujur saja, mimpi itu ribuan kali lebih seram dibanding mimpi didatangi kuntilanak.

Setelah berhasil menenangkan diri, pemuda itu pun bergegas bangkit lalu berjalan menuju kamar mandi. Masih ada sepuluh menit sebelum ibunya menggedor pintu kamarnya.

Setengah jam kemudian, Raka yang sudah berseragam rapi segera menyambar tas ransel hitamnya yang berada di atas meja belajar. Di saat yang bersamaan, secarik kertas meluncur jatuh ketika ia hendak mencangklongkan tas di pundak. Dahi pemuda itu mengerut dalam. Karena penasaran, ia pun memungut kertas itu.

~Big thanks to Raka!~

~Terima kasih, lho. Gara-gara lo akhirnya gue nggak jadi fakir buat seminggu ke depan. :))

Btw, lo jelek banget kalau lagi galau. So, jangan sering-sering galau. Lupain aja Kak Sinta. Dia emang lebay mutusin lo cuma karena masalah sepele begitu.~

~From: The most beautiful girl in the universe~

Raka melotot lalu buru-buru mengecek isi dompetnya.

Rentetan kata makian spontan keluar dari mulutnya ketika tahu isi dompetnya hanyalah selembar sepuluh ribu. Sial, dia lupa kalau uang mingguan lenyap masuk ke kantung Suri karena dia kalah taruhan bola Sabtu kemarin.

Dengan jengkel pemuda itu meremat kertas di tangannya sambil tertawa frustrasi. Dia bingung harus merasa lega atau kesal. Di satu sisi, ia lega karena Suri berhasil membantunya melewati masa galaunya tanpa harus menjadi anak edgy yang gemar menyampahi timeline sosmed dengan curhatan lebai. Namun, di sisi lain, dia kesal setengah mati karena Suri sukses membuatnya miskin mendadak! Grrh ... awas saja, dia bakal mencubit pipi gadis itu sampai melar!

"Raka, kamu lagi ngapain di kamar, sih? Udah jam setengah enam, kamu mau telat ke sekolah, hah?!"

Raka tersentak karena teriakan ibunya dari lantai bawah. "Ya, Ma! Ini juga mau turun," balasnya sambil bergegas keluar kamar.

Sesampainya di lantai satu, sang ibu yang tengah asyik menonton gosip pagi pun memanggil. "Raka, ke sini sebentar, deh."

"Ya, kenapa, Ma?"

"Nanti kamu ke rumahnya Mama Nita sebelum berangkat, ya."

"Mau ngapain?" tanyanya heran.

"Tadi Mama Nita telepon, dia mau minta tolong. Katanya, Suri pengen berangkat bareng kamu."

Mendengar nama Suri, mood Raka langsung terjun bebas. "Ngapain, sih?! Ogah banget. Emangnya Suri nggak punya kaki? Berangkat sendiri kan bisa," ucapnya kesal.

Rahang sang ibu mengeras. Terlihat sekali kalau dia siap untuk meledak kapan saja. "Raka, mama nggak pernah ngajarin kamu jahat sama orang lain, ya. Kalau Mama Nita sampai minta tolong sama kamu berarti emang ada hal urgent."

Awalnya Raka ingin protes, tapi tidak jadi karena mamanya sudah melotot ganas. Kalau dilanjutkan, bisa-bisa remot tv bakal menghantam mukanya. "Okeee, okeee," ucapnya sambil menggerutu. Ia pun dengan segera menuju dapur untuk menghabiskan jatah sarapannya. Setelah selesai, ia kembali menghampiri ibunya untuk berpamitan. "Raka pamit dulu ya, Ma."

"Sip, jangan lupa pesenannya Mama Nita, lho."

"Iyaaa," sahutnya ogah-ogahan. Diraihnya tangan sang ibu, lalu mendaratkan ciuman singkat pada punggung tangannya. "Raka pergi dulu. Assalamualaikum."

"Wa' alaikumsalam."

Raka kemudian melangkahkan kaki panjangnya menuju teras. Sambil memakai sepatu sekolahnya, ia mengintip sedikit dari balik pagar rumah. Di depan sebuah rumah bercat hijau yang letaknya persis di seberang jalan, kini tengah menunggu dua orang wanita berbeda usia; yang satu tampak masih cantik meski usianya telah memasuki kepala empat, sementara yang satu lagi—ah, Raka malas membahasnya.

Setelah selesai memakai sepatu, ia kemudian mendorong pintu pagar rumahnya dengan malas, lalu mengeluarkan motor matic-nya dari garasi.

"Raka! Ke sini, deh."

Mendengar panggilan Mama Nita, Raka pun menoleh dan tersenyum. "Pagi, Mama Nita," sapanya kepada wanita berkacamata yang tengah menggendong seekor kucing ras gendut. Namun, mendadak senyumnya hilang dan tergantikan dengan lirikan sebal saat dirinya beradu pandang dengan Suri.

"Hola, Mr. Bruce Banner ," sapa Suri jenaka sambil mengelus-elus kepala kucing yang tengah digendong mamanya.

Raka mendelik jengkel. Suri memang selalu mengolok-olok ukuran badannya yang tinggi besar. Katanya, dia jadi mirip Hulk. Cih, mana mau dia disamakan dengan saudara jauhnya Buto Ijo begitu. Lagi pula, kalau dilihat pun yang besar dari tubuhnya cuma bagian bahu dan punggung saja.

Tadinya Raka ingin melemparkan hinaan balasan. Akan tetapi, ekspresinya seketika berubah saat ia baru menyadari kalau tangan kiri Suri digendong dengan arm-sling biru. "Itu tangan kenapa lagi?" tanyanya tanpa sadar sambil menunjuk tangan Suri.

Bukannya menjawab, yang ditanya malah cengengesan sampai-sampai matanya yang kecil hilang ditelan pipinya yang mirip bakpao.

"Dia cedera pas latih tanding kemarin. Cuma keseleo aja, kok," jelas Mama Nita.

Dasar cewek barbar, batin Raka gemas. Kapan sih Suri bisa sadar kalau dia itu perempuan? Harusnya dia lebih memperhatikan diri dan bertingkah manis layaknya perempuan seperti Kak Sinta. Eh ... Kak Sinta? Raka mendadak gloomy. Sepertinya dia salah mengambil contoh. Kenapa harus nama Kak Sinta yang muncul begitu saja di kepalanyaaa?!

"Raka, hari ini Suri berangkat bareng sama kamu, ya," pinta Mama Nita.

"Lho, emangnya Mas Jun ke mana?" tanya Raka heran. Setahunya jika Suri tak bisa berangkat sendiri, dia selalu menumpang pada motor kakak lelakinya itu.

"Jun tadi berangkat duluan. Katanya ada meeting," jawab Mama Nita sambil melepaskan kucing gendut itu dari gendongannya. Kucing itu kemudian berlari masuk rumah.

Dahi Raka mengerut dalam. "Kenapa nggak naik ojol aja?"

"Bawel banget lo!" sambar Suri. "Intinya lo mau bareng gue apa enggak? Kenapa jadi interogasi gini, sih?"

"Hush!" Mama Nita refleks mencubit perut putrinya sebelum perang antara dua remaja itu pecah pagi-pagi. "Jadi begini, sebenarnya tadi mama sudah mau pesan ojol, tapi Suri bilang nggak mau. Katanya, dia trauma, soalnya dia pernah digodain sama abang ojeknya"

Dusta, cibir Raka dalam hati. Suri itu anak karate pemegang sabuk cokelat, masa dengan mas-mas ojek saja dia takut? Raka yakin betul bahwa gadis itu bisa mematahkan hidung si tukang ojek dalam sekali pukul.

"Karena kebetulan hari ini papa sama Mas Jun sudah pergi duluan, Tadinya Mama Nita bingung Suri mau naik apa ke sekolah. Nggak mungkin kan dia naik Busway? Nanti yang ada tangannya kesenggol orang terus tambah parah," kata Mama Nita lagi. "Tapi, tadi Suri bilang kalau dia bisa pergi sama kamu. Ya sudah, mama izinkan. Suri boleh kan numpang motor kamu?"

"Iya, boleh," jawab Raka setengah tidak ikhlas.

"Nanti pacar kamu nggak marah kan kalau kamu boncengan sama Suri—"

"Ma, Raka itu jomlo. Dia baru diputusin pacarnya," sela Suri sambil cekikikan. "Habisnya dia ketahuan—aduh!" gadis itu mengaduh keras setelah mendapat injakan dari Raka. Suri balas melotot dan menyikut pinggang pemuda itu. Untungnya saja di sana masih ada Mama Nita, jadi Raka masih bisa menahan diri untuk tidak memiting leher Suri.

"Sudah, sudah, kalian ini." Mama Nita geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya yang sebentar akur, sebentar bertengkar. "Mending sekarang kalian berangkat. Nanti telat, lho."

"Oke, Ma!" Suri menyengir lebar. Sambil bersiul-siul ia mengangkat rok abu-abu panjangnya dengan tangan kiri sebelum naik ke atas motor Raka, sementara sang ibu masuk ke dalam rumah.

"Helm lo mana? Pakai helm, dong!"

"Nggak, ah. Nanti kunciran rambut gue rusak. Susah buat betulinnya lagi."

"Heh, gue nggak mau kena tilang, ya!" seru Raka sewot.

"Itu sih derita lo," ucap Suri dengan muka sengak.

Raka menggeram sebal.

"Hush, kalian ini ribut terus, sih." Mama Nita kemudian menyerahkan helm warna merah muda kepada sang anak. "Betul kata Raka. Nih, pakai helmnya dan jangan banyak protes."

Suri berjengit jijik melihat permukaan helm yang dipenuhi stiker bentuk hati berwarna merah mentereng. "Yah, kenapa yang ini sih, Ma? Punya Mas Jun aja."

"Ini kan helm punya kamu."

"Tapi Suri nggak mau yang ituuu. Stikernya ngejreng banget. Bikin sakit mata."

"Jahat kamu, ya. Helm ini kan hadiah dari kakakmu. Kalau Jun tahu kamu benci hadiah pemberian dia, dia bisa nangis, lho."

"Dasar Mas Jun alay." Suri mencebik. "Tapi Suri nggak mau pakai yang itu, Maaa," rengeknya lagi.

"Heh, Cepet pake. Kita telat, nih!" Raka yang sudah tak sabar pun menoleh ke belakang.

"Nggak!"

Raka nyaris tertawa, tapi bukan karena ekspresi merajuk Suri, melainkan karena Suri kini sedang dipakaikan helm oleh ibunya. Ekspresinya itu, lho, persis seperti orang sembelit tiga hari.

"Kenapa lo ketawa?" seru Suri keki.

"Nggak ada apa-apa. Cuma lo lucu aja. Lo jadi kayak—aduh!" Raka berjengit saat punggungnya dipukul tiba-tiba oleh Suri. "Kok mukul, sih?!" sentaknya sambil mengusap punggungnya yang terasa nyeri. Suri sebenarnya memukul tanpa tenaga. Tapi, yang namanya pukulan anak karate, meski cuma main-main tetap saja menyakitkan.

"Berisik lo! Buruan berangkat. Nanti gue telat." sentak Suri jengkel.

"Lo yang bikin lama!" Raka mendengkus dongkol. Karena sudah terlalu malas untuk berdebat, ia kemudian menstarter motornya, lalu pamit kepada Mama Nita sebelum melaju menuju sekolah.

Di tengah perjalanan, diam-diam Raka memerhatikan gerak-gerik Suri melalui kaca spion. Gadis itu berusaha keras untuk melepaskan ikatan rambutnya dengan satu tangan. Dalam hati Raka bertanya-tanya, apa keseleonya kali ini sangat parah sampai-sampai tangannya tak bisa digerakkan begitu? Dia tahu sih kalau Suri langganan cedera, tapi seingatnya tidak pernah separah ini.

"Apa lo lihat-lihat? Gue tahu, gue itu cakep banget, tapi please lo lihat depan. Gue nggak mau kita ketabrak," kata Suri judes ketika mata mereka tak sengaja bertemu lewat pantulan kaca spion.

Raka berdecak. Salah apa dia sampai bisa bertetangga dengan manusia urakan satu ini. Sialnya lagi, nasib seperti mempermainkan dirinya karena mereka harus bersekolah di tempat yang sama selama bertahun-tahun. Entah disengaja atau tidak, mereka berdua selalu masuk ke sekolah yang sama; mulai dari TK bahkan sampai SMA. Pemuda itu sampai muak karena harus terus-menerus melihat wajah Suri. Untungnya, semenjak masuk SMP mereka selalu beda kelas. Dan sekarang di SMA pun mereka mengambil jurusan yang berbeda.

Ah, tiba-tiba ia jadi rindu masa-masa ketika mereka kecil dulu. Masih jelas diingatannya kalau Suri yang ia kenal adalah bocah manis yang selalu menempelinya ke mana-mana. Mereka selalu menghabiskan waktu berdua. Mulai dari mengenakan popok dengan merk yang sama, makan dan minum dari tempat yang sama, bahkan mereka berdua pernah tidur berdua dalam satu kasur. Entah hal apa yang menyebabkan Suri berubah menjadi seperti ini, Raka tak tahu pasti, tapi yang jelas sikap Suri mulai berubah semenjak kejadian yang membuat dirinya harus berkali-kali mengunjungi terapis.

Next chapter