4 Deja Vu

–ALTHRA

Setelah melalui tiga tahun yang panjang berperan sebagai tukang intip tidak tahu diri yang terlalu posesif pada objek –atau bisa kukatakan, subjek– intipannya, membuatku bisa menyatakan diri sebagai pengagum rahasia paling professional yang pernah ada. Dan anehnya aku malah merasa bangga menyandang predikat itu. Segala keengganan yang kurasakan bertahun-tahun lalu mengenai sebuah ikatan paling sakral ini seolah tidak pernah ada, tergantikan secara magis dengan perasaan memuja berlebihan yang rasanya nyaris mencekikku namun dengan kebahagiaan tiada tara.

Keniezy Quelle, nama gadisku. Dia seperti magnet dengan gaya tarikan melampui gravitasi bumi, menawanku tepat sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Aromanya yang memabukkan bahkan terasa semakin menjeratku lebih dan lebih lagi, seolah kedewasaan yang sudah menantinya di depan mata adalah alasan kenapa sosoknya menjadi semakin mempesona.

Secara gamblang kusadari bahwa keberadaannya sendiri menjadi hal yang lebih penting daripada apapun. Lalu seolah belum cukup, mengamatinya mendadak sudah berubah menjadi hobiku yang utama, mengalahkan rasa sukaku pada latihan bertarung yang telah kugeluti sejak balita. Berkali-kali kutemukan emosiku dibolak-balik hanya karena banyaknya pria manusia yang juga terpengaruh dengan kecantikannya. Dan seperti biasa sejak pergolakan emosi-bocah-ku yang pertama tiga tahun silam, kutemukan diriku terus bersikap labil hingga membuat Roudan perlu menenangkanku dengan kekuatan Lychan nya.

Ya, memang memalukan. Tapi tetap tak bisa kupungkiri pengendalian diri jadi beribu kali lebih sulit daripada sebelum-sebelumnya jika menyangkut Kenzy.

Beberapa meter dariku, objek obsesiku yang menawan dengan tubuh semampai, warna bola mata dan rambut yang tidak biasa; abu-abu kebiruan, sudah menarik perhatianku begitu saja tanpa aba-aba. Senyumnya merekah saat melewati trotoar yang ramai pejalan kaki. Terkadang aku berpikir bahwa sikapnya itu agak sedikit aneh. Dia seperti mendapat energi baru jika berada di tengah-tengah keramaian, apalagi jika hari itu sedang cerah dimana matahari terlalu bersemangat mengeluarkan sinarnya.

Meski begitu, kudapati diriku ikut tersenyum. Well, senyum amat cantiknya memang biasanya berperan sebagai undangan yang tidak bisa ditolak.

Seperti biasa, Kenzy harus melewati pemeriksaan seragam bersama beberapa murid lain sebelum dapat memasuki gerbang sekolah. Jadi kini ia berdiri manis tanpa terlihat benar-benar peduli. Untuk standarnya, ini adalah hal yang sangat biasa. Tidak bisa kusangkal, Gadisku memang bisa dikatakan sebagai seorang pemberontak kecil yang kelewat imajinatif dalam menjalankan ide-ide ajaibnya. Selama tiga tahun ini, entah sudah beberapa kali ia terlibat berbagai jenis kenakalan remaja yang membuatnya mendapatkan detensi lebih banyak daripada sebagian besar siswi lain.

Suatu hari ia bahkan pernah hampir menyebabkan kebekaran hebat di sekolah hanya karena ia bertaruh dengan teman-teman bandelnya mengenai percobaan kimia di laboratorium kosong yang kuncinya berhasil ia ambil diam-diam dari lemari kunci. Bisa dibayangkan betapa kalutnya aku waktu itu saat mendapati ia berada di tengah kobaran api. Hampir saja aku menerjang masuk lewat jendela –tempat aku mengawasinya– kalau bukan karena para pengajar yang sudah keburu hadir disana dan menyelematkan gadisku.

Sikapnya yang selalu terlihat seolah tanpa beban, tidak sekali dua kali membuatku amat frustasi. Kebebasan sudut pandangnya terhadap segala hal memang hampir selalu mendatangkan bencana, dimana berarti tugasku menjaganya munumpuk berkali-kali lipat. Padahal tanpa ia bersikap demikian, ia sudah cukup sering diikuti bahaya –yang tentu saja sebagian besar tidak ia ketahui karena sudah kubereskan lebih dulu. Aku tidak tahu kenapa bukan hanya aku yang terpengaruh pada magnet pribadinya, tapi juga beberapa makhluk Greendeal yang lain. Misteri kecil yang belum terpecahkan.

Kenzy melangkah memasuki gerbang Barrington High, beberapa meter tertinggal dari kakak angkatnya yang bisa dibilang merangkap sebagai bodyguard gadis itu. Teringat olehku betapa dulu fakta bahwa Kenzy tinggal dengan keluarga angkat yang memiliki seorang anak laki-laki, terasa begitu mengganggu. Yah, jujur saja sampai sekarang pun hal itu masih tetap menggangguku, tapi setelah tiga tahun mengawasi dan mengikutinya, kutemukan diriku sedikit lega karena ternyata kakak angkatnya sedikit banyak berpikiran sama denganku, bahwa Kenzy cukup berbahaya bagi dirinya sendiri.

Selagi menunggu jadwal kelas Kenzy yang akan selesai lebih cepat hari ini –terima kasih pada Roudan karena telah berhasil mencuri jadwal kelasnya beberapa minggu lalu–, aku dan Roudan mengendap-endap mendekati salah satu pohon paling besar di halaman belakang Barrington. Entah ini yang dinamakan takdir atau bukan, tetapi Kenzy selalu mendapat kelas yang terletak berdekatan dengan pohon atau spot-spot strategis tertentu sehingga aku bisa mengamatinya diam-diam tanpa perlu takut ketahuan. Dibandingkan tempat lainnya, aku memang paling suka mengamti Kenzy saat ia berada di sekolah, di kelas lebih tepatnya.

Karena aku tahu gadis itu –meski susah sekali duduk manis, diam di tempat tanpa menoleh kesana-kemari– aman disana, di atas kursinya, tanpa gangguan makhluk lain ataupun bahaya fatal oleh ide-ide kreatifnya.

Sementara itu, di rumah Kenzy sendiri, yang memiliki pekarangan cukup besar dan beberapa pohon tinggi, kutemukan diriku seringkali tidak nyaman. Tempat tinggal gadisku sekilas terlihat normal, tapi entah kenapa ada aura tertentu yang membuatku agak enggan berlama-lama di sana. Bahkan selama tiga tahun ini, aku cenderung menghindari tempat itu jika kakak angkat laki-lakinya ada di rumah. Pria itu beberapa kali bersikap seolah ia bisa merasakan kehadiranku. Ia selalu terlihat seperti prajurit perang yang sedang dikirim untuk menjadi mata-mata super rahasia. Jadi, secara otomatis aku menghindar –bukan karena takut (yang benar saja, mana mungkin aku takut pada manusia fana! Bahkan aku tidak pernah takut pada makhluk Greendeal yang lain) tapi karena aku jengah sendiri berada di dekatnya– walaupun tetap berada di sekitar komplek perumahan. Mana tahan aku lama-lama jauh dari Kenzy tanpa memastikan bahwa ia baik-baik saja.

Roudan memanjat pohon lebih dulu dariku, mengambil satu lompatan ringan dan beberapa detik kemudian sudah dalam posisi nyaman bersandar pada pohon. Mengikutinya, aku melompat lalu menjejakkan sebelah kaki ke badan pohon sebelum kemudian mendorong tubuhku ke depan, seketika mendarat mulus di salah satu dahan. Celah kecil yang terbuka dari rimbun dedaunan di depanku kebetulan sekali memberi pandangan strategis untuk memperhatikan Kenzy sepuasnya.

Ujung bibirku secara otomatis tertarik ke samping saat Kenzy berjalan ke depan kelas untuk mengerjakan satu soal aljabar yang cukup rumit. Aku tahu betapa bencinya gadis itu pada pelajaran aljabar, jadi saat ia diminta berdiri di depan kelas karena tidak bisa mengerjakan soal, tarikan ujung bibirku semakin melebar hingga sebuah kekehan lolos begitu saja.

Aku tahu gadisku tidak bodoh, ia bahkan tidak pernah keluar dari rangking tiga besar, hanya saja ia tidak pernah tertarik untuk memperbaiki reputasinya pada pelajaran aljabar. Ia malah seperti bahagia jika berhasil mendapatkan sebuah hukuman saat pelajaran tersebut berlangsung. Bagiku–dulu–hal ini sedikit-banyak menjadi misteri tersendiri, kenapa ia tetap bisa masuk peringkat kalau memang ia tidak mengerti aljabar? jadi akhirnya kudapatkan kesimpulan bahwa ia sebenarnya mampu, hanya saja tidak ingin terlihat seperti itu. Gadisku yang aneh.

Untuk beberapa saat berikutnya kubiarkan diriku bersandar pada pohon sambil menengadah menatap langit, kegiatan yang sudah cukup lama aku tinggalkan sejak bertemu Kenzy. Segelintir awan yang melewati langit dengan gerakan konstan, menarik perhatianku. Sulit sekali menemukan kejadian ini di Greendeal, langit berwarna biru cerah dengan matahari bersinar terik dan kumpulan awan putih. Sudah lima belas tahun lamanya matahari tidak pernah muncul lagi di Greendeal, tertutup langit mendung dan awan hitam. Menurut pengetahuan sejarah yang pernah dijejalkan Tiam pada kami, fenomena muram itu ada hubungannya dengan para Kraulis, dimana artinya aku hanya bisa terus penasaran tanpa akan pernah mendapatkan penjelasan lebih. Kraulis sudah lama mengalami kepunahan.

Bel berbunyi nyaring setengah jam kemudian, menarikku menjauh dari lamunanku yang beberapa saat melayang terbawa angin. Aku menoleh pada Roudan yang mengambil posisi duduk pada dahan yang lebih tinggi dariku. Kelopak matanya tertutup rapat dan dengkuran halus keluar dari celah bibirnya. Pantas bocah cerewet itu diam saja dari tadi, tertanyata ia sudah tertidur begitu nyenyaknya.

"Hei Dan, sudah waktunya pindah!" kutepuk pelan tangan Roudan yang masih bisa kujangkau tanpa perlu pindah ke dahan yang lain. Kelopak matanya langsung saja bergerak-gerak dan sesaat kemudian sudah terbuka, langsung menyorot padaku dengan waspada. Kuakui terkadang aku suka memarahi kebiasaan tidurnya setiap kali aku mengawasi Kenzy, seolah dia bosan atau apa. Yang sialnya, mungkin memang benar begitu tapi apa peduliku.

"Oh, waktunya rapat dewan siswa ya?" tanyanya memastikan saat matanya yang tadi sempat celingukan ke berbagai arah, mendapati Kenzy berjalan keluar kelas bersama teman dekatnya yang bernama Florent.

Aku mengangguk ringan, memastikan keadaan dibawah masih sepi sebelum melompat dengan mudah turun dari pohon. Roudan mengikuti aksiku tanpa banyak bicara.

Tidak seperti kegiatanku sebelumnya, kali ini aku harus puas hanya bisa menunggu Kenzy selesai dari rapatnya yang kuyakin akan membuat ia sangat bosan, sambil duduk di kursi taman tidak jauh dari Barrington. Aku masih bisa dengan jelas melihat satpam sekolah yang berdiri di dekat gerbang kokoh itu. Memastikan gadisku masih dalam pengawasanku. Satu-satunya alasan yang membuatku tidak berada lagi di lingkungan sekolah adalah dikarenakan ruang pertemuan tempat rapat dewan siswa diadakan, tidak memiliki satupun jendela kaca yang mengarah keluar, jadi percuma saja kalau aku bersikeras bertengger di atas pohon semantara aku tidak bisa melihat Kenzy.

Maka kuputuskan untuk menghabiskan waktu dengan cara yang lebih berkualitas, meninggalkan sebentar pekerjaan tukang-intip-ku, dan menunggu gadis itu diluar sementara ia terjebak dalam adu pendapat para manusia yang sama sekali tidak menarik. Kebetulan juga, perutku dan Roudan sudah berontak hebat minta diisi. Jam makan Lychantrope yang tidak tentu.

"Hei Al, aku tiba-tiba kepikiran ucapan Alpha Lachlan waktu itu," Roudan membuka percakapan selagi kami mulai menyantap hidangan yang baru saja datang, yang tentu saja didominasi daging. Manusia serigala anti segala macam sayuran.

Aku melirik Roudan dengan lagak tidak berminat. Ucapan Lachlan yang ia maksud pasti mengenai perubahan wujudku yang tidak kunjung terjadi bahkan setelah melewati tiga tahun pertemuan dengan mateku. Bukan jenis pembicaraan menarik yang bisa menaikkan nafsu makan.

"Kurasa solusi Pirkis yang disetujui ayahmu itu harus kita pikirkan ulang Al. Lagi pula, bukankah kau akan lebih senang kalau Kenzy ikut tinggal denganmu di pack?" suara Roudan saat mengatakannya tidak lebih dari sekedar bisikan. Kusadari dia melakukan itu karena dua hal, pertama, bahwa kami sedang berada di tempat umum; kedua –dan paling utama– karena ia tahu moodku akan turun drastis jika kami kembali membahas hal itu.

Kunjungan terakhirku ke pack yang memakan waktu hingga seminggu kemarin, tidak bisa dibilang menyenangkan. Aku dan Roudan memang diharuskan melapor kembali ke pack setiap dua bulan sekali semenjak aku menemukan Kenzy, mate ku. Kegiatan yang sejatinya sangat menyiksaku, karena aku harus berjauhan dengan gadis itu selama seminggu penuh tanpa bisa memastikan ia akan tetap aman, tapi –meski menyebabkan kegilaan sesaat– itu harus tetap kujalani karena aku jelas punya tanggung jawab besar terhadap pack. Meski yang mengejutkan, aku tidak mengira kunjungan itu bisa jadi lebih menyebalkan lagi hingga hampir membuat amarahku meledak.

Nah, begini, awalnya kupikir kunjungan itu hanya akan menjadi sebuah kunjungan formalitas biasa seperti sebelumnya, semacam laporan berkala pada atasan. Tapi kemudian kusadari bahwa Lachlan mengundang seseorang yang benar-benar tidak ingin kutemui dalam waktu dekat, Pirkis –sang penasehat klan yang mempunyai setengah darah penyihir di tubuhnya. Dimana artinya kunjungan tersebut jelas tidak lagi akan menjadi kunjungan ramah-tamah biasa.

Tebakanku seratus persen benar.

Jelas kuingat tatapan tertarik memuakkan yang dilempar Pirkis si tua bangka padaku waktu itu. Ia berjalan tergopoh-gopoh mendekatiku dengan semangat berlebihan, tangannya terulur ke depan, hal itu membuatku otomatis mundur selangkah lebih jauh. Aku tidak pernah suka disentuh tangan keriput ringkih tapi memiliki genggaman amat kuat miliknya. Ia mendelik cemberut saat melihatku menjauh, tapi itu tidak menghentikannya mengatakan apa yang ingin ia sampaikan mengenaiku di depan Lachlan dan beberapa orang penting di pack. Singkatnya, ia berhasil meyakinkan sebagian besar petinggi pack bahwa apa yang kualami mengenai perubahanku yang tidak juga terjadi ini, merupakan suatu hal yang sangat mengkhawatirkan untuk kelangsungan pack.

Sebenarnya tanpa ia mengatakan itu, aku sudah sepenuhnya sadar. Bahkan kejadian yang menimpa kakek buyutku tidak sampai se-ekstrim ini, seingatku ia langsung mengalami perubahan sehari setelah menemukan matenya. Saat itulah kusadari bahwa alasanku bertahun lalu mengenai Kenzy yang masih dibawah umur, tiba-tiba saja menjadi tak berarti.

"Kalau begitu bawa saja dia kesini! Toh seperti katamu dua bulan lalu, gadis itu akan berusia tujuh belas bulan depan. Kalau memang perubahanmu terhambat karena usianya, akan lebih baik jika perubahan itu terjadi saat kau disini."

Tatapan tajam dan ucapan Lachlan yang sarat akan perintah itu kembali melintasi ingatanku. Solusi yang diberikan Lachlan sangat masuk akal dan tentu tidak akan merugikanku, tapi ketakutanku bahwa Kenzy bisa saja menatapku benci jika aku menculiknya untuk tinggal di pack, benar-benar membuatku bertahan menolak usulan itu.

"Al?"

"Apa lagi Dan?! Kau tahu sendiri aku benar-benar belum siap membawa Kenzy ke pack. Damn, she is a human for God's sake! Sedangkan kita hanyalah bagian dari makhluk mitos baginya. Belum lagi akan sangat berbahaya baginya untuk berada disana. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya aku tanpa sengaja bersikap ceroboh lalu dia bertemu... bertemu..."

Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku. Bayangan bahwa ia akan bertemu berbagai macam bahaya yang mengincar nyawa, membuat suaraku yang parau dan bergetar otomatis tertelan bersama semilir angin yang lagi-lagi berhembus kearah kami. Roudan menatapku dengan ekspresi campur aduk, tapi bisa kulihat rasa simpati lebih besar daripada emosinya yang lain. Kuhela nafas dengan kasar sambil meninju ringan pundaknya sebelah kiri.

"Aku belum mau memikirkannya sekarang, sobat. Kalau memang perubahanku akan terjadi saat Kenzy berusia tujuh belas, aku tidak mau hal menyenangkan itu dibayar dengan pandangan benci darinya. Aku benar-benar tidak bisa membawa dia ke pack tanpa dia tahu dan menerima lebih dulu diriku yang asli." Kepalaku menggeleng gusar, jangankan menerimaku, kami bahkan belum pernah berbicara satu sama lain. Salahkan diriku yang terlalu pengecut, takut tidak bisa menahan diri untuk bersikap layaknya manusia fana yang bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis asing amat menarik.

"Baiklah kalau memang itu yang kau mau Althra. Aku ikut saja," kata Roudan sambil memberikan senyum tipis bersahabatnya padaku. Sebelum sempat memberikan tanggapan, bel yang berbunyi nyaring dari arah sekolah menjadi pertanda sudah waktunya bagi kami untuk menyelusup masuk lagi ke Barrington. Masih ada satu jam pelajaran lagi yang harus diikuti Kenzy sebelum gadis itu bebas dari sekolah.

***

Pemandangan beberapa meter di depan sedikit menggangguku, Kenzy melangkah ringan sambil sesekali melompat kecil dan bersenandung, jelas terlihat sedang berada dalam suasana hati yang sangat baik. Tapi bukan hal itu yang membuatku bingung, melainkan fakta bahwa ia berjalan sendiri tanpa si kakak-angkat-bodyguard. Kejadian langka. Sepertinya aku melewatkan sesuatu saat menunggu Kenzy di luar Barrington selama rapat tadi pagi. Karena hal ini sebelumnya tidak pernah terjadi. Di luar maupun di dalam rumah –walaupun sedikit aneh– biasanya Kenzy selalu dijaga oleh salah seorang anggota keluarga angkatnya. Tidak pernah sekalipun kudapati ia sendirian seperti saat ini semenjak aku menyelamatkannya tiga tahun lalu.

Aku baru saja mau menebak apa yang akan gadis itu lakukan untuk merayakan momen bebasnya saat ia tanpa ragu berbelok kearah yang berlawanan dengan rumahnya. Senyum geli langsung menghiasi wajahku. Seperti yang kuduga, ia pasti akan memanfaatkan segala hal yang bisa memuaskan rasa ingin tahunya.

"Ya ampun, tentu saja dia tidak langsung pulang!" celetuk Roudan sambil menggelengkan kepala. Tingkahnya mendadak tampak seperti orang tua yang sedang gusar pada anak gadisnya, seketika memancing tawaku. "Seperti kau tidak tahu saja," godaku.

Kami berjalan beberapa meter di belakang Kenzy, mengikuti gadis itu memasuki areal pusat perbelanjaan. Pada jam-jam seperti ini lalu lintas memang relatif sepi, tapi agak berbeda dengan trotoar pejalan kaki yang lumayan ramai. Aku dan Roudan harus benar-benar memperhatikan langkah Kenzy agar tidak kehilangan jejaknya, karena ia berkali-kali mengambil jalan secara acak, atau berhenti untuk sekedar melihat-lihat isi toko, beberapa kali malah sempat bergabung dengan kerumunan para pemburu barang diskon.

Roudan sudah kembali menjadi pria cerewet, ia terus protes padaku setiap perubahan arah langkah Kenzy yang mendadak atau ketertarikan gadis itu pada benda tertentu yang membuatnya mengambil keputusan untuk berhenti sejenak. Tapi aku tidak mengindahkan satu pun gerutuannya. Hampir semua indra di tubuhku sepenuhnya terarah pada Kenzy; mataku terpesona pada gelenyar semangat dari kedua mata indahnya, telingaku sibuk menangkap potongan percekapan yang ia lakukan dengan beberapa penjual toko, sedangkan bibirku tidak berhenti tertarik membentuk senyum sayang setiap kali ia tersenyum senang.

Oh, kuharap aku bisa sering-sering melihatnya seperti ini. Berada ditengah banyak orang entah bagaimana membuatnya bersinar.

Tapi kesenangan itu tidak berlangsung lama. Aku bisa merasakannya, perubahan suhu udara yang ekstrim –walaupun tidak berpengaruh terhadap manusia–, bau busuk yang menjijikkan dan rasa tersengat yang membuat bulu kuduk merinding. Dari pengalaman bertahun-tahun menghadapi makhluk itu, bisa kupastikan tidak kurang dari tiga vampir baru saja memasuki areal perbelanjaan. Sial, kuharap mereka tidak sedang dalam keadaan haus, karena mereka akan lebih berbahaya saat sedang dalam kondisi seperti itu, tapi mustahil aku akan mengambil resiko bergantung pada seberapa besar rasa haus si penghisap darah sementara Kenzy ada disini.

Kepalaku bergerak ke berbagai arah, mencoba menemukan ketiga sosok pengganggu itu. Di sampingku tanpa perlu kuberitahu, Roudan juga melakukan hal yang sama. Di sana, hanya berjarak sepuluh meter dari Kenzy, tiga sosok pucat –memakai baju yang hampir tampak seperti jubah, topi lebar menutup kepala hingga batas alis serta kacamata hitam; membuat ketiganya mendapat tatapan aneh dari para manusia– berdiri sambil mengedarkan pandangan. Tanpa perlu meminta para vampir itu melepaskan kacamata yang menyalamatkan mereka dari kemungkinan buta akibat sengatan sinar matahari, kusadari bahwa mereka berada dalam kondisi cukup buruk. Mereka haus dan sedang mencari mangsa untuk dipikat pergi ke lorong gelap.

Kedua tanganku mengepal erat saat menyadari salah satu dari mereka sepertinya mengarahkan tatapan pada Kenzy.

"Kita harus menjauhkan mereka dari sini Dan!" desakku pada Roudan.

Roudan mengangguk lalu berlari kencang –tapi masih dalam kecepatan normal untuk manusia– ke arah para penghisap darah. Beberapa detik kemudian ia sudah menerobos melewati dua vampir yang berdiri bersisian, menilai dari tubuh kedua vampire itu yang terdorong beberapa langkah, Roudan pasti dengan sengaja menggunakan sedikit kekuatannya. Rencana sederhana itu berhasil, para vampir langsung berbalik arah, dengan marah mengejar Roudan yang sudah beberapa meter di depan.

Aku menatap Kenzy sekilas sebelum mengikuti mereka. Meski menurutku vampir-vampir itu sepertinya masih sangat muda, tiga lawan satu, tetap agak mengkhawtirkan. Jadi kuputuskan Roudan akan butuh sedikit bantuan.

Saat sampai di salah satu ujung gang yang terletak antara dua gedung pencakar langit, kulihat Roudan sudah berubah menjadi serigala besar dengan bulu berwarna cokelat keemasan. Di hadapannya –membelakangiku– para vampire sudah tidak lagi memakai topi konyol dan kacamata hitam mereka. Gang sempit yang dipilih Roudan memang cukup strategis; ujung tempat kami berada tidak akan dapat dilihat manusia karena terhalang kardus-kardus besar yang menumpuk menutupi sebagian besar jalan masuk gang, lalu kedua gedung tinggi yang berhasil menghilangkan pasokan sinar matahari, tidak memiliki jendela kaca yang mengarah ke tempat kumuh ini sehingga jelas tidak akan ada yang iseng mencuri lihat.

Ketiga vampire itu sepertinya terlalu bernafsu untuk segera menghabisi Roudan, karena tidak ada satupun dari mereka yang menyadari kedatanganku. Dengan satu kerlingan kode dariku, Roudan langsung melompat tangkas, menyerang salah satu vampir yang bertubuh paling tinggi. Vampir kedua segera bergabung, berusaha menjatuhkan usaha Roudan mencabik tubuh vampir pertama, yang mana tidak berhasil karena kini satu potongan lengan penuh cucuran darah sudah tergeletak begitu saja di aspal. Teriakan kesakitan memecah udara. Kuharap tidak sampai terdengar keluar gang.

Melirik sekilas pada potongan lengan menjijikkan yang masih bergerak liar itu, segera kupacu tubuhku menuju vampir ketiga yang hendak melompat bergabung melawan Roudan. Kejutan menyenangkan rupanya, karena si vampir ketiga benar-benar tidak berkutik saat kakiku menapak tepat pada punggungnya dan membuatnya jatuh tersungkur.

Tanpa pikir panjang segera kucapai lehernya sebelum ia sempat tersadar dari keterkejutannya. Satu pitingan kuat sebelum memutar keras berhasil membuat lehernya tercabik, mengumpulkan segaian besar tenagaku di kedua tangan, beberapa detik kemudian derik mengerikan kembali memecah udara. Kepala si vampir ketiga terlepas begitu saja tanpa si pemilik sempat melakukan perlawanan berarti.

Darah si vampir ketiga yang mengalir keluar dari lehernya yang sudah terpisah dengan tubuh menggelepar itu, merembes mengenai lengan jaket yang sedang kupakai. Inilah yang paling kubenci jika harus berhadapan dengan vampir. Mencopot kepala adalah salah satu dari segelintir cara untuk menghabisi keabadian para vampir, cara tercepat untuk menyelesaikan pertarungan. Tapi itu juga berarti kau harus bersedia berkenalan dengan darahnya yang berbau amis juga berwarna merah pekat kebiruan nyaris hitam. Percayalah, tidak yang lebih menjijikkan dari itu. Tapi menyiksa vampir –meski sepertinya menyenangkan– bukan satu dari hal yang membuatku tertarik, jadi aku lebih suka langsung mengincar lehernya daripada mencabik-cabik lengan dan kakinya.

Sementara itu, Roudan agak berbeda dariku. Setelah selesai membuka jaketku dengan kasar dan membuangnya begitu saja, kulirik beta-ku, berusaha memutuskan apakah ia butuh pertolongan. Tapi yang kudapati adalah seringaian lebarnya sebelum kemudian meloncat menerjang si vampir kedua yang telah kehilangan tangan kirinya. Dari sudut mata, kudapati si vampir pertama sudah tidak lagi bergerak dan hanya memekik mengerikan, karena kedua lengan serta kedua kakinya sudah terpisah sejauh beberapa meter.

Kepalaku sontak menggeleng pelan. Disetiap pertarungan, Roudan selalu seperti ini, lebih suka meninggalkan korbannya menjerit-jerit tak karuan setelah tercabik-cabik dengan sangat menyedihkan daripada langsung dibunuh.

Setelah beberapa kali helaan nafas, akhrinya kuputuskan untuk mengkhiri lengkingan memekakkan si vampir pertama dengan cara melempar pemetik api yang baru saja kunyalakan ke arahnya. Asap hitam pekat memenuhi udara, dan tubuh yang tergeletak tak berdaya itu perlahan-lahan berubah jadi abu. Api adalah senjata ampuh paling mematikan untuk vampire. Sebelum api menghabiskan seluruh tubuh si vampire pertama, dengan sigap kucapai potongan tubuhnya yang berserakan dan melemparkannya ke dalam api, mempertahankan api itu tetap menyala sementara aku berjalan menggapai kepala dan tubuh si vampire ketiga.

Proses ini sudah biasa kulalui, jadi bau busuk yang memberi efek kering kerontang ditenggorokanku dengan mudah kuabaikan. Perseteruan antara lychantrope dan vampir memang sudah berlangsung sejak ratusan abad yang lalu, musuh alami, begitu semua makhluk Greendeal menyebutnya. Walaupun sudah pernah ada perjanjian damai yang dibuat para pendahulu beberapa dekade yang lalu, tetap saja hal itu tidak otomatis menjadikan lychan dapat berteman dengan vampir. Dan rasanya tidak akan pernah terjadi, mengingat kami hampir setiap saat saling membunuh jika dihadapkan pada kondisi-kondisi seperti hari ini.

Tubuh si vampir ke dua bergabung dalam api beberapa saat kemudian tepat sebelum potongan tangan terakhir berubah seluruhnya menjadi abu. Roudan memberikan cengiran puasnya padaku yang kutanggapi dengan satu kekehan ringan. Aku lupa, berbangga diri memang selalu menjadi sifatnya.

"Kurasa aku memberitahumu untuk menjauhkan mereka, bukan membunuh?" sindirku pada Roudan yang sudah kembali ke wujud manusianya dan berdiri di sebelahku sambil menatap puas api yang mulai mengecil karena tidak ada lagi potongan tubuh yang harus diubah jadi abu. Ketelanjangannya tidak mengusikku, sudah terlalu biasa bagi manusia serigala mendapati teman dekatnya telanjang akibat pakaian mereka yang lenyap tercabik saat perubahan terjadi.

"Mereka sudah kusuruh pergi, tapi kau pasti ingat bagaimana sombongnya si batu-es-bejalan kan? Mereka memutuskan mencoba apa rasanya jadi abu tak berguna, jadi sekalian saja kusanggupi," ejek Roudan sambil mengangkat sebelah alisnya dengan sinis. Kurasa menghabiskan hampir setiap detik selalu di dekatku membuatnya tertular sikap sinisku yang tinggi.

"Kalau begitu lain kali selesaikan sebelum kau perlu aku untuk menyalakan pemetik," balasku. "Oh, dan kurasa kau butuh pakaian kalau tidak ingin terlihat sebagai model telanjang untuk majalah dewasa."

Aku berjalan mendahului Roudan untuk mengambil ransel yang tadi kubuang begitu saja sebelum bergabung dalam pertarungan. Satu setel pakaian santai kutarik keluar dari ransel dan melemparnya dengan tangkas pada Roudan. Hal biasa lainnya yang selalu dilakukan manusia serigala adalah membawa pakaian cadangan di dalam ransel berpergian mereka.

"Aku duluan," kataku tanpa melirik Roudan.

Melompat tinggi melewati kardus-kardus usang, aku segera menajamkan insting untuk menangkap aroma Kenzy yang memang lebih tajam bagiku. Kudapati ia ternyata sudah bergerak menjauh beberapa toko dari tempat kutinggalkan tadi. Aku menyusuri trotoar sambil mengecek ulang penampilanku, karena jaket yang kupakai sebelumnya lumayan tebal, tidak kutemukan ada noda darah yang terciprat di kaos atau tempat lainnya. Telapak tangan dan jari-jariku sendiri juga tidak terlihat buruk, memang ada bekas darah si vampire, tapi dimata manusia itu hanya akan terlihat seperti aku baru saja makan sesuatu yang berwarna merah. Bukan masalah besar.

Menemukan Kenzy ternyata cukup sulit. Dari indra penciumanku yang tajam, aku jelas sudah berada dekat sekali dengan gadisku. Tapi ramainya pejalan kaki dan pembeli yang makin sore semakin memadati toko-toko dan trotoar jalan, sepertinya menjadi alasan utama kenapa gadis itu tidak juga tertangkap dalam pandanganku. Seolah belum cukup, kadar kekesalanku seperti diuji saat mendapati beberapa manusia perempuan berkali-kali sengaja menyenggolkan sedikit anggota tubuhnya pada lenganku, rasanya aku ingin berteriak agar para manusia itu menyingkir dari trotoar jadi aku bisa dengan bebas mencari Kenzy.

Tapi sebelum aku sempat melakukan apapun, sesuatu menabrak punggungku cukup keras. Tidak sakit, hanya saja aku sedang berada dalam mood yang buruk, jadi kubalikkan tubuhku kasar berniat memarahi siapapun itu yang beraninya menabrakku.

Aromanya menamparku begitu keras, seperti déjà vu. Dalam sepersekian detik, hysteria kenangan pertemuan pertama kami berputar dengan cepat di kepalaku. Sementara itu tubuhnya yang limbung tanpa sadar segera kuraih dalam dekapanku. Gadisku, berada dalam dekapanku. Coba kuingat, mimpi apa aku semalam hingga bisa mendapatkan hari istimewa ini? Jantung sialan, tetap ditempatmu!

Tangan Kenzy mencengkram lenganku dengan erat, menahan tubuh limbungnya agar tidak jatuh. Wajah cantiknya yang sedikit menunduk, berada begitu dekat dengan wajahku. Kedua mata indahnya tertutup rapat, yang mana merupakan sebuah ancaman besar bagi hatiku yang gemetar. Aku bisa mencapai bibir ranumnya dalam hitungan kurang dari satu detik kurasa. Tidak, tidak! sial, tenangkan dirimu Althra!

Kenzy membuka mata sambil perlahan menengadahkan kepala. Untuk pertama kalinya, tatapan kami bertemu. Tapi sebelum aku sempat mengagumi momen langka ini, sesuatu yang sangat aneh tiba-tiba saja terjadi. Kurasakan suhu udara disekitar Kenzy naik secara dramatis, panas dari pancaran sinar matahari yang menimpa tubuhnya, sesaat seolah menyengat seluruh bagian tubuhku. Mataku yang terpenjara dalam tatapannya, terbelalak ketika mendapati sesuatu berwarna perak menimpa kedua bola matanya.

Tanpa perlu berpikir dua kali, kusadari bahwa ia bukan manusia fana. Aku mengenali jenis perubahan suhu yang terlalu mendadak dan rasa menyengat ini. Ia makhluk Greendeal, sama sepertiku. Pertanyaannya adalah, kenapa selama ini aku tidak pernah merasakannya?

"M-ma..." sial, hampir saja aku memanggilnya mate. "Ng... apa kau baik-baik saja?"

Kenzy tidak menjawab pertanyaanku. Wajahnya tampak lebih merah daripada biasanya, tapi itu bukan jenis wajah gadis yang sedang merona. Bibirnya yang bergetar terlihat sangat pucat, dan ada bulir-bulir keringat dingin mulai membanjiri keningnya. Apa dia mendadak sakit?

"Kau tidak baik-baik saja." Tandasku seketika saat ia masih tidak merespon dan hanya terus menatapku. Menyadari posisinya yang tampak agak tidak nyaman, kueratkan dekapanku, membawa tubuhnya bersandar padaku. "Aku akan mengantarmu," bisikku tepat di telinga Kenzy. Ia tidak mengangguk ataupun menggeleng, tapi tepat saat itu kusadari bahwa kepala dan tubuhnya terkulai lemas dalam dekapanku.

Gadisku pingsan. Berarti benar sepertinya ia tiba-tiba sakit.

"Damn it! Aku akan mengantarmu pulang dengan cepat sayang. Kau akan baik-baik saja, aku janji."

Dengan tangkas kuubah posisi tubuh Kenzy hingga kedua tanganku kini berada di belakang leher dan lipatan lututnya, menggendong gadis itu dengan hati-hati. Dari ujung mata kudapati Roudan berlari mendekat sambil terbelalak ngeri, sepertinya ia menyaksikan seluruh kejadian yang hanya berlangsung tidak lebih dari dua menit itu.

avataravatar
Next chapter