2 Althra Sheen Knighton

–ALTHRA

Tidak ada yang menarik di dunia manusia. Aku tidak heran. Kalau bukan karena perintah Lachlan–ayahku, aku tidak akan mau meninggalkan pack yang nyaman dan penuh kehebohan hanya untuk menghabiskan waktu mencari pasanganku.

Tidak ada alasan yang lebih konyol dari itu. Pasangan. Astaga.

Siapa sangka tidak mengalami Perubahan Pertama saat ulang tahunku yang ke tujuh belas satu setengah tahun yang lalu, bisa membuatku terjebak dalam dunia membosankan ini. Seorang Althra Sheen Knighton, yang kelak akan menjadi pemimpin klan utama, harus disibukkan dengan aktifitas tidak penting melainkan mengundang kegusaran.

Aku pribadi sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan perubahanku yang tak kunjung datang bahkan setelah melewati usia delapan belas. Dulu sekali juga pernah ada kasus seperti ini walaupun tidak ada yang tahu selain aku dan Lachlan. Kakek buyutku yang mengalaminya. Dia akhirnya baru bisa berubah setelah berumur 24 tahun, setelah ia bertemu dengan mate-nya. Tapi ketidakpeduliakanku rupanya tidak membawa dampak positif. Lachlan berpendapat bahwa aku harus mengalami Perubahan Pertama secepatnya.

Bangsa kami, makhluk yang manusia kira hanyalah mitos, sedang berada dalam masa-masa gelap. Sudah seratus tiga puluh tahun ini Greendeal Empire dalam keadaan tidak aman.

Jadi selama beberapa minggu, setelah bulan Perubahan Pertama-ku berlalu, aku dikirim kesana-kemari mengunjungi klan-klan yang terpisah dari klan utama. Benar-benar konyol. Seolah-olah aku adalah pria tua bangka yang seharusnya sudah bertemu dengan pendampingnya berpuluh tahun lalu. Tapi setelah semua kunjungan menyebalkan itu mencapai seluruh kawasan pack, Lachlan dan para tetua lain sampai pada satu kesimpulan bahwa mungkin mate-ku tidak berasal dari Greendeal. Mungkin dia satu dari miliyaran manusia diluar sana, seperti yang sempat beberapa kali terjadi pada sebagian anggota klan. Ritual rumit nan menghabiskan banyak tenaga dan waktu itu pun dilaksanakan, dan para lyracle sepandapat dengan Lachlan. Salah satu dari manusia penghuni London, lebih tepatnya.

Fakta ini awalnya tidak berpengaruh apa-apa padaku, karena jujur saja aku tidak terlalu peduli dengan hal-hal remeh mengenai mate.

Bisa dikatakan aku tidak tertarik bertemu pasanganku.

Pertama, karena aku bukanlah jenis pria romantis yang mengedepankan cinta diatas segalanya. Jadi bisa kubayangkan bagaimana sengsaranya nanti wanita yang menjadi mate-ku. Kedua, aku bukan orang yang senang dengan kata terikat. Aku benci segala bentuk ikatan. Bahkan Roudan, wakilku, sering menceramahiku mengenai ini.

Jadi, dikirim ke dunia manusia adalah sebuah kesialan bagiku. Seolah ini adalah hukuman karena aku tidak mengalami perubahan seperti yang seharusnya. Kalau saja aku tidak ingat bahwa aku tidak suka mencari masalah dengan dad, terutama sekali dihadapan seluruh para petinggi klan, sudah pasti aku akan mengamuk habis-habisan. Sayangnya, kepala dinginku megambil alih, berbisik menenangkan bahwa itu hanya akan menjadi semacam liburan musim panas yang panjang.

Sudah berbulan-bulan kami tinggal dan berbaur bersama manusia. Melakukan segala aktivitas manusia biasa yang sangat membosankan. Dan sebagai tambahan siksaan, kami juga harus pindah sekolah bergabung dengan para manusia. Sebagai keturunan makhluk bertaring, dari lahir kekuatan kami sudah jauh berbeda dari manusia biasa dan akan bertambah berkali lipat setelah mengalami perubahan, jadi menjalani kelas olahraga yang terlalu normal sering membuat kami kesal. Kami tidak terbiasa harus bersikap menahan segala kekuatan fisik. Untungnya kegiatan menyedihkan itu sudah berakhir minggu lalu saat aku dan Roudan lulus dari salah satu sekolah senior swasta di pinggiran kota London.

"Hei sobat, kenapa kau melamun seperti orang bodoh begitu?" sebuah tinju pelan terasa pada lengan kananku bersama suara yang sudah sangat kukenal. Hanya dia satu-satunya yang bisa bersikap begitu tidak sopan padaku.

"Pergilah, kau mengangguku Dan!" kataku datar, mendelik sekilas padanya. Teman baik sekaligus orang yang menjadi tangan kananku itu terkekeh, "Jangan malu, aku tahu kau merindukanku!" katanya yang langsung kujawab dengan dengusan. Roudan kemudian duduk di sebelahku dan ikut memandang matahari yang mulai terbit di kejauhan. Satu lagi hari manusia yang harus kami lalui.

"Belum juga, Al?"

Well, Aku memang masih belum menemukan tanda-tanda keberadaan mate-ku, padahal kami sudah beberapa kali pindah sekolah dalam kurun waktu amat singkat dan menjelajah beberapa wilayah di sekitar kota. Benar-benar menyusahkan saja.

"Entahlah, kurasa kita harus pindah lagi. Mungkin sedikit lebih dekat ke pusat kota, jadi aku bisa mengedip pada lebih banyak gadis," kataku sinis. Roudan terkekeh, mungkin merasa geli dengan tingkahku –yang kutahu beberapa waktu ini– cukup kekanakan. Tidak seperti diriku yang biasanya cenderung lebih banyak diam dan bersikap tenang daripada menggerutu.

"Jangan begitu. Aku yakin saat kau bertemu dengannya, kau akan bersyukur sudah dikirim ke sini." Aku mendengus sembari mengangkat bahu tidak peduli. Aku tahu dia berusaha membesarkan hatiku. Tapi apa yang diucapkannya sama sekali tidak memberikan efek tertentu selain rasa jengah.

"Ya sudah, bagaimana kalau kita hari ini coba berkeliling di pusat kota seperti saranmu?" saran Roudan langsung kuterima dengan anggukan singkat. Kuharap kali ini aku bisa menemukannya, mate. Aku sudah sangat bosan berada di sini, memalukan mengakuinya tapi aku rindu semua huru-hara yang terjadi di pack.

Pusat kota tidak terlalu ramai oleh kendaraan, karena memang ini masih dalam jam kerja. Trotoar pejalan kaki pun tidak jauh beda, membuat kegusaranku meningkat. Bagaimana mungkin aku sempat mengharapkan pencarian kami kali ini akan membuahkan hasil? Tidak ada tanda-tanda keistimewaan sama sekali di kota ini selain beberapa landmark yang terletak berdekatan, yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan tujuanku yang sebenarnya. Rasanya sudah seperti dua turis brengsek hidung belang yang sibuk melirik para gadis lokal. Astaga.

Belum sampai setengah jam kami memulai pencarian, Roudan mendadak mengeluh kalau ia kehausan. Kuberi ia tatapan membunuh paling menyeramkan yang kupunya, segera ia mengambil satu langkah mundur sambil tersenyum gugup. Sebelah tangannya terangkat menggaruk belakang tengkuknya.

"Please...," katanya dengan wajah memelas.

"Oh baiklah, jangan lama-lama!" balasku akhirnya, merasa lebih dan lebih gusar lagi.

Sementara menunggu Roudan, malas-malasan kutolehkan kepala ke kiri. Beberapa gadis yang tatapan matanya kebetulan tertangkap olehku tiba-tiba saja mengedip nakal. Rasa syukur menyelimutiku begitu saja saat tersadar kalau bukan salah satu dari mereka yang ditakdirkan menjadi mate-ku. Maka tanpa mengindahkan para gadis agresif itu, kepalaku menoleh ke arah yang berlawanan. Seketika instingku yang tajam menangkap sesuatu yang melaju dengan cepat dari arah belokan di ujung jalan. Bisa kutebak pengendaranya pasti tidak terlalu berhati-hati mengenai pejalan kaki ataupun lampu merah yang ada di sisi jalan tepat di seberangku.

Nah apa peduliku, lagi pula kecil kemungkinan akan terjadi kecelakaan pada jam yang tidak terlalu ramai seperti ini. Tapi tepat saat aku berpikir begitu, mataku menangkap sosok berseragam sekolah yang sedang terlalu asik menoleh kesana-kemari seolah semua hal saling berteriak menarik perhatiannya.

Bodoh. Apakah manusia itu memang sebodoh ini? Tidak bisakah dia merasakan kalau ada sebuah mobil yang sedang melaju ke arahnya? Oh yeah, tentu saja tidak bisa. Manusia adalah makhluk yang paling tidak peka. Waktuku hanya beberapa detik. Aku harus memutuskan apakah aku akan menolongnya atau membiarkan takdir merenggut hidupnya.

Tetapi sebelum otakku sempat berpikir lebih jauh, kakiku sudah berlari ke arahnya yang berjarak beberapa meter di depan. Ada sesuatu yang sangat kuat seolah menarik diriku pada gadis itu. Sesuatu yang tidak rasional. Sesuatu yang membuatku tidak bisa berpikir dengan akal sehat. Kegilaan sesaat, putusku. Aku sadar pasti ada beberapa orang yang melihat kecepatan lariku yang sedikit terlalu cepat untuk ukuran manusia normal. Tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tetap diam di tempat dan membiarkan kejadian buruk menimpa gadis itu.

Tubuhnya yang sangat mungil berada dalam dekapanku. Dia bergetar hebat. Tapi detik itu juga bukan rasa takut dan tubuh menggigilnya yang mengusikku. Melainkan sebuah getaran lain serta wangi amat memabukkan yang menerpaku tiba-tiba bagai badai topan. Bumi yang kupijak di bawah kakiku rasanya tidak berarti lagi, karena akal sehatku sudah terbang diantara bayangan indah tentang surga. Pikiranku kacau. Tetapi dengan sesuatu yang membuatku merasa seperti diselimuti kehangatan yang damai.

MINE!

Sesuatu menjerit dalam kepalaku. Dan dalam sedetik dramatis paling lama yang pernah berlangsung dalam hidupku, kesadaranku kembali. Sebelum aku sempat melakukan sesuatu yang gila, aku melepaskan pelukanku lalu berjalan menjauh dengan tergesa. Setiap jengkal tubuhku seolah memberontak, tidak ingin dipisahkan dari gadis itu. Tapi aku harus. Jika aku tidak bisa mengendalikan diri, aku sadar aku akan melakukan sesuatu yang buruk pada gadis itu. Jika insting buas-ku menggila, bisa-bisa aku menandainya di sini, di depan semua orang.

Aku tidak akan membiarkan diriku melakukan hal itu.

Aku tidak seceroboh itu.

Wanginya masih memenuhi penciumanku, mengacaukan isi kepalaku yang sedang berusaha menjernihkan diri. Tidak ada hal lain yang semematikan sekaligus seampuh itu. Efeknya seperti racun tipe baru, menjanjikan kematian konstan tapi dengan kedamaian panjang yang menanti selama prosesnya berlangsung. Tidak ada rasa sakit, hanya kepastian tentang kebahagiaan yang melimpah. Nyaris membuatmu tenggelam kehabisan nafas, tapi sensasinya tidak bisa kau tolak meski harus mengalaminya selama seribu tahun yang akan datang.

"Althra? Ada apa?!" Suara panik Roudan terdengar dari arah belakang. Rupanya dia tahu ada yang tidak beres denganku. Aku menghela nafas dengan keras sebelum membalas tatapan Roudan. Kudapati wajahnya terkejut. Mungkin karena melihat warna mata hazel-ku yang menggelap. Aku tahu bagaimana reaksi awal saat para Lychanthrope bertemu dengan pasangannya. Beruntung aku mengalami ini saat aku belum mengalami Perubahan Pertama, karena kalau sudah, aku pasti akan langsung kehilangan kendali lalu berubah dan mengejar mobil yang hampir saja merenggut nyawa gadisku. Aku tidak akan bisa mengendalikan emosiku seperti saat ini.

"Kau menemukannya!" Tebak Roudan seketika saat aku masih diam berusaha mengatur nafas dan meredakan inti primitive dalam diriku.

"Ya," kataku akhirnya, menggeram.

Kepalaku berpaling, mengarah pada gadisku yang kulihat perlahan sedang berjalan mundur mendekati bangku taman. Matanya mengerjap lucu, mungkin berusaha menghilangkan keterkejutannya pada apa yang baru saja terjadi. Kurasakan dorongan besar agar berjalan ke arahnya, memeluknya, menenangkannya, menyalurkan rasa aman padanya. Tapi kakiku yang baru saja akan melangkah langsung terhenti saat Roudan mencengkram pergelangan tanganku.

Kutatap ia dengan pandangan tidak suka.

"Apapun yang sedang ada dalam pikiranmu saat ini, sebaiknya tidak kau laksanakan Al," katanya dengan pelan dan hati-hati, seolah ia sedang berbicara pada seseorang yang gampang meledak. Dan memang benar, aku merasakan kembali gejolak itu, amarah mendalam untuk menyakiti seseorang.

Dia Roudan. Beta-ku. Sahabatku.

Kutekankan kata-kata itu berkali-kali dalam kepalaku. Berusaha keras mengendalikan emosi. Roudan pasti bisa mengalahkanku–meski sulit–jika aku melawannya. Karena dia sudah menjadi Lychan dewasa, kekuatannya secara logis jauh di atasku. Tapi aku tahu dia tidak akan membela diri jika hal itu benar terjadi. Dia tidak akan mau melawanku. Dan aku tidak akan memaafkan diriku jika sempat melukainya. Jadi kupaksa diriku menghela nafas. Menekan kuat-kuat segala amarah yang sempat melanda.

"Sudah tenang?" tanya Roudan dengan santai, seolah dia tidak sadar bahwa dialah yang sesaat lalu ingin kuhancurkan. Aku mengangguk kecil.

"Akhirnya kita menemukan gadis beruntung itu, eh?" Roudan sudah menemukan kembali jenaka dalam suaranya.

Aku mengalihkan pandangan, kembali menatap gadisku yang kini sudah tampak lebih rileks. Ya, gadisku.

Dia cantik. Tidak. Dia sangat cantik. Rambut abu-abu kebiruannya yang agak bergelombang, hanya beberapa centi melewati bahu. Angin meniup helainya, seolah mengejekku karena berada terlalu jauh untuk dapat membelai kepala gadis itu. Matanya juga bewarna abu-abu kebiruan nyaris hitam, warna yang anehnya mempesona. Tatapannya lembut tapi dalam, membuatku seakan terpenjara padahal dia tidak sedang menatap ke arahku.

"Althra..."

Suara Roudan menyadarkanku. Dengan enggan kualihkan pandangan dari sosok indah itu. Aku menaikan sebelah alis, memberi isyarat bahwa dia sedang mengganggu kesenanganku. Roudan terkekeh lagi, tahu bahwa aku sudah sepenuhnya terkendali dan tidak akan langsung menerjangnya.

"Jadi bisa kau jelaskan kenapa kau menahanku?!"

"Tidak bisakah kau menebak berapa kira-kira umur gadis itu?" Roudan menjawab dengan sebuah pertanyaan lain, membuat keningku mengernyit berusaha menangkap apa yang ingin ia sampaikan.

Aku beralih lagi menatap gadisku. Kulihat dia sedang mengotak-atik ponselnya, mungkin meminta seseorang menjemput. Dia pasti sangat ketakutan. Sekali lagi kurasakan keinginan besar untuk mendekat padanya, tapi kali ini bisa kutahan tanpa harus diberhentikan Roudan. Lagipula aku penasaran dengan jawaban sahabatku itu.

"Cobalah perhatikan baik-baik," pinta Roudan.

Aku memperhatikan gadisku yang kini sedang berbicara dengan seseorang dari dalam ponselnya dengan seksama. Aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka karena pendengaranku belum setajam para Lychanthrope dewasa. Baru kali ini aku merasa kesal karena keterbatasan itu.

Diluar kekesalanku pada diri sendiri, pertanyaan Roudan tadi membangkitkan minatku. Berapa kira-kira umur gadis itu? Dia tampak sangat muda. Wajahnya memancarkan keluguan, dan ekspresinya begitu polos walaupun ada percikan jahil dari kedua matanya. Bahkan tubuh mungilnya yang semampai jelas terlihat sedang dalam masa pertumbuhan.

"Aku rasa dia masih sekitar 13 atau 14 tahun, Al." Benar. Aku tahu kalau tebakan Roudan benar adanya. Gadisku belum mencapai usia kedewasaan.

"Kau mengerti 'kan? Kalau kau kesana sekarang dan memperlihatkan gelagatmu seperti seorang kekasih, dia pasti akan takut dan mengira kau bukan orang baik." Aku mengangguk singkat, sadar bahwa penjelasan Roudan seratus persen benar walaupun sebenarnya tidak ingin kuakui.

"Jadi, kita harus menunggu," tandasku sebelum Roudan sempat menanyakan apa yang sebaiknya kami perbuat. Dia mengangguk kecil, tapi aku melihat kerutan di keningnya yang membuat kedua alisnya menyatu menjadi garis lurus.

"Apa?" tanyaku.

"Bukankah sebaiknya kita kembali ke pack dan melapor pada Alpha?"

Usulan Roudan mengusikku. Kembali ke pack bukan perkara gampang. Butuh beberapa hari perjalanan–jika berjalan kaki, mengingat keterbatasanku–menuju perbatasan gerbang sihir, dan beberapa hari lagi untuk melewati Greendeal hingga sampai pada kawasan bangsa Lychan. Jelas bukan jenis perjalanan yang ingin kutempuh saat ini. Aku lebih memilih berada di sini, dimana aku bisa dengan bebas menatap gadisku. Apalagi setelah kudapati bahwa ia gadis ceroboh yang sepertinya gampang tertimpa bahaya. Aku jelas lebih suka tetap berada di sini. Aku harus memastikan dia aman dibawah pengawasanku.

Kurasakan Roudan menghela nafas di sebelahku. Mungkin dia sudah melihat keengganan yang menyelimuti diriku. Dia pasti sadar bahwa aku tidak akan menyetujui usulannya.

"Althra..." Roudan memulai tapi langsung kupotong ucapannya dengan mengangkat tangan kananku ke udara.

Senyum cerah gadis yang sedari tadi hanya memandang pada kejauhan itu langsung saja membuat tubuhku diselimuti kehangatan. Tidak ada yang lebih penting daripada terus menatapnya. Tapi tubuhku seketika kaku dan pandanganku menggelap dengan kabut amarah saat melihat apa yang memicu senyum gadisku. Sosok itu berjalan mendekati gadisku dengan tatapan kesal tapi penuh kekhawatiran, seolah dia berhak melakukannya. Seolah mereka cukup dekat untuk saling berkomunikasi dengan mimik wajah.

Tanganku mengepal erat. Aku tidak tahu kenapa emosiku jadi sangat labil dalam satu jam terakhir. Tidak biasanya aku cepat panas seperti ini. Tapi sosok yang kini memeluk gadis itu, aku benar-benar ingin meremukkannya.

Aku akan meremukkannya.

"Astaga Althra, tolong kendalikan dirimu!" Roudan menahan tubuhku ke dinding dengan kedua tangannya sekuat tenaga. Bisa kurasakan ia mengarahkan tenaga Lychan-nya untuk membuatku tetap terkunci dan tidak bisa beranjak. Aku memberontak hebat, tetapi tidak berhasil melepaskan diri.

"ROUDAN," desisku berbahaya, berbicara dalam suara alpha-ku yang kasar dan dalam. Roudan sontak menunduk, tubuhnya bergetar terintimidasi dengan aura pemimpin-ku, tapi masih cukup kuat untuk tidak melepaskan cengkramannya.

"Maafkan aku Alpha, tapi aku harus menahanmu sekuat yang aku bisa. Percayalah padaku, membunuh pria itu tidak akan membuat mate-mu berterima kasih dan menyukaimu."

Gemuruh dalam dadaku masih belum berhenti. Emosi dan logika saling berperang dalam kepala. Insting Lychan-ku tidak bisa menerima begitu saja, tapi aku tahu apa yang dikatakan Roudan benar adanya. Gadisku belum mencapai kedewasaan. Dia belum bisa merasakan ikatan mate denganku walaupun aku menemuinya, menceritakan segala hal, atau berlutut di depannya sekalipun. Dia pasti akan membenciku seketika jika aku melakukan sesuatu yang mengerikan pada sosok di hadapannya itu. Meski gadisku suatu hari tetap akan merasakan ikatan mate kami –walaupun tidak sekuat yang kurasakan– tapi aku pasti tidak akan tahan jika harus mendapatkan tatapan kebencian darinya sampai saat itu tiba.

"Mungkin itu kakaknya, bukan seseorang seperti dalam pikaranmu Al."

Ya, mungkin itu kakaknya. Gadis seumuran dirinya pasti masih manja pada keluarga. Tapi wajah mereka tidak mirip. Bantahan lain dalam kepalaku kembali membangkitkan rasa marah yang sudah mulai menghilang. Tanganku mengepal erat, berusaha mengendalikan diri. Aku bukan orang lemah yang gampang terpancing emosi. Selama ini semua orang memuji bagaimana kepala dinginku menyelesaikan berbagai masalah. Sekarang adalah waktu yang pas untuk membuktikan bahwa aku berhak menerima pujian-pujian itu.

Kuhela nafas berkali-kali. Berusaha memfokuskan diri pada bayangan bahwa aku, apapun yang terjadi, pada akhirnya akan memiliki gadis itu. Dia milikku. Hanya aku.

"Aku baik-baik saja, Dan." Roudan segera melepaskan cengkramannya tanpa harus kuyakinkan dua kali. Tatapannya padaku bahkan tidak terlihat curiga ataupun waspada. Seperti biasa, dia sepenuhnya percaya padaku.

Setelah mengulang kalimat yang baru saja kuucapkan pada Roudan tadi di dalam kepalaku sendiri, aku kembali mengalihkan pandangan pada gadisku. Dia tertawa gugup pada pria di hadapannya, seperti seseorang yang berusaha meminta maaf. Aku tidak suka melihatnya, tapi kutenangkan diriku sendiri sebelum mulai bertingkah seperti bocah lagi.

Gadisku perlahan melangkah menjauhi bangku taman, mengikuti sosok yang berjalan beberapa centi di depannya. Pemandangan itu membuat hatiku sedikit lebih tenang. Mereka tidak terlihat seperti sepasang kekasih atau sejenisnya.

"Ayo! Aku harus tahu dimana rumahnya." Segera kulangkahkan kaki mengikuti dua sosok yang sudah berjalan agak jauh di depan. Roudan menyamai langkahku dalam diam. Mungkin tahu bahwa aku tidak akan bisa dibantah untuk satu hal ini.

***

Seberkas cahaya matahari masuk melalui celah gorden kamar, menandakan telah datang satu hari baru yang cerah. Kutatap cahaya itu dengan tatapan mendamba. Tidak, bukan hangat dari berkas cahaya sang pusat tata surya yang kurindukan, tapi dia. Hari ini akhirnya aku akan dapat melihatnya lagi. Seminggu tidak berada didekatnya rasanya benar-benar membuatku gila. Belum lagi mimpi tentang pertemuan pertama kami yang baru saja berhasil membangunkanku. Aku benar-benar tidak sabar untuk melihatnya.

Beranjak dari tempat tidur, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri. Ada seorang gadis yang sedang menunggu untuk kutatap sepuasnya, jadi aku mandi secepat yang aku bisa.

Hanya lima belas menit waktu yang kubutuhkan untuk selesai dengan semua kegiatan pagiku dan kini sudah berdiri di depan pintu kamar Roudan. Segera kuketuk pintu kamarnya dengan brutal, bukan karena sedang kesal atau apa, tapi karena aku tahu betul kebiasaan Roudan yang susah sekali dibangunkan jika jam belum menunjukkan pukul 8 pagi.

"Ada apa Al?" tanya Roudan dengan mengantuk. Betul dugaanku, ia belum bangun dan tetap tidak akan bangun jika aku tidak menggedor keras pintu kamarnya tadi. Matanya masih tertutup rapat, sembari tubuhnya bersandar pada pintu.

"Bangun pemalas! Ini hari senin, kita harus segera berangkat," kataku datar sambil melayangkan sebuah pukulan ke kepalanya.

Kedua mata Roudan mengerjap terbuka dan segera mendelik padaku. Melihat tatapannya, sebelah alis mataku langsung saja terangkat. Tatapan mataku berubah dingin, entah karena mengantuk tapi dia sepertinya lupa kalau aku tidak suka jika ada orang yang mendelik padaku.

"Sorry Al..." bisik Roudan pelan setelah berdeham singkat. Aku mengangguk dan segera menunjuk pintu kamar mandi dengan dagu. Kali ini dia mengerti tanpa harus mendapatkan tatapan dinginku terlebih dulu.

"Kalau tidak salah, hari ini dia hanya sekolah setengah hari kan?"

Pertanyaan Roudan sebelum ia memasuki kamar mandi membuat sudut-sudut bibirku terangkat. Aku kembali tidak sabar untuk segera pergi. Kalau bukan karena paksaan Roudan semalam agar aku beristirahat setelah perjalanan jauh yang kami tempuh, aku pasti sudah melihatnya dari tadi malam.

"Al? benarkan kalau hari ini Kenzy hanya sekolah setengah hari?"

Roudan mengulang lagi pertanyaannya karena sebelumnya tidak kutanggapi. Tapi kali ini, yang menarik perhatianku adalah nama itu. Mendengar namanya disebut-sebut, mendadak membuat perasaanku menghangat. Gadisku.

avataravatar
Next chapter