2 Bilik Rawat Eire

Kala keluar dari dalam kamar pemuda itu mendapati hamparan padang ilalang luas yang membentang. Beberapa saat kemudian barulah pemuda itu sadari beberapa ruangan kamar selain bilik kamarnya tempat dia dirawat. Lalu, di kanan pandangan matanya si pemuda mendapati adanya sebuah bangunan besar beratapkan kayu usang. Si pemuda menoleh kembali ke arah kiri, dia pun melihat sepetak lahan yang ditumbuhi banyak sayur dan buah-buahan. Sementara itu di seberang padang ilalang nampak barisan pepohonan yang menjulang tinggi ke angkasa.

"Tempat apa ini?"

"Bilik Perawatan Eire," sebut Alvia. "Tempat dimana kami merawat mereka yang terluka karena memasuki hutan terlarang."

Pemuda itu memiringkan kepalanya tak mengerti. Alvia paham akan gestur tubuh si pemuda. Kemudian, dia pun menjelaskan perihal Bilik Perawatan Eire beserta Hutan Terlarang yang tadi dia sebutkan.

"Bilik Perawatan Eire adalah sebuah rumah rawat yang didirikan oleh tuan Flash Eire. Beliau membangun tempat ini untuk menyelamatkan mereka yang terluka ataupun tersesat karena memasuki hutan terlarang."

"Apa hutan yang ada di seberang padang ilalang itu adalah Hutan Terlarang?"

"Tepat sekali." Alvia menjentikkan jari, "Di dalam hutan itu ada Banyak beast liar dan membahayakan nyawa manusia. Tak banyak yang selamat dan keluar hidup-hidup dari hutan itu. Bagi mereka yang beruntung mungkin akan kami selamatkan, seperti dirimu."

"Ah, apa aku memasuki hutan itu dan diserang makhluk bernama Beast itu?"

"Itulah dugaanku kami. Yang jelas, aku bersyukur karena kau bertahan hidup setelah menjalani masa-masa kritis selama seminggu ini."

Masih banyak hal yang pemuda itu ingin tanyakan kepada Alvia. Terutama tentang makhluk bernama Beast yang dia sebutkan sebelumnya.

Dengan senang hati, Alvia paparkan secara singkat mengenai makhluk bernama Beast ini.

Beast adalah sebutan untuk makhluk selain manusia, hewan dan tumbuhan. Itu adalah bentuk generalisasi dari berbagai macam ras yang dilakukan oleh manusia. Baik yang berakal maupun tidak semuanya dipanggil dengan beast.

Akibat supremasi manusia di bidang teknologi, ekonomi dan kemampuan sihir ras-ras tersebut akhirnya tak dapat bertahan dan akhirnya terpinggirkan.

Berabad-abad sudah semenjak kejadian tersebut terjadi. Dan sekarang hanya sebagian kecil yang berhasil bertahan dari gempuran zaman, salah satunya di Hutan Terlarang ini.

"Ah, aku memahaminya sekarang."

"Jika kau sudah paham ayo ikut aku berkeliling sebentar."

Keduanya berjalan-jalan di sekitar rumah rawat tersebut. Sembari berjalan-jalan Alvia menerangkan setiap bangunan yang mereka lewati pada pemuda itu.

Menurut penuturan Alvia selain menjadi rumah rawat, Bilik Perawatan Eire juga merangkap menjadi panti asuhan bagi anak-anak yang terlantar. Bangunan yang paling besar yang pemuda itu lihat tadi adalah gedung panti asuhan. Namun, sampai sekarang pemuda itu masih belum mendapati seorang anak pun berkeliaran di sekitar sana. Hal ini cukup membingungkannya. Bahkan, suasana di Bilik Rawat Eire terkesan sepi dan sunyi.

"Disini sepi."

"Ya, begitulah. Jumlah penghuni Bilik Rawat ini tidak terlalu banyak. Hanya ada aku, tuan Flash, tuan Cater, Raven dan beberapa anak-anak panti."

"Lalu, bagaimana dengan orang-orang sepertiku? Maksudku mereka yang terluka di hutan, kemana mereka?"

"Hanya ada sedikit yang sepertimu. Terlebih saat mereka sembuh biasanya mereka akan langsung pergi dan kembali ke tempat tinggal mereka."

"Ah, orang-orang itu pergi begitu saja? Apa kalian tidak memperoleh imbalan atas pertolongan kalian?"

"Kami melakukan hal tersebut tanpa pamrih. Kami tak mengharapkan imbalan apapun atas apa yang kami lakukan. Asal orang yang kami tolong berhasil bertahan hidup maka kami sudah merasa senang."

Alvia menatap wajah sang pemuda. Senyumnya masih terlukis indah di bibirnya.

"A~ah, kalian begitu baik. Aku harap aku bisa membalas budi pada kalian suatu saat nanti."

"Tidak perlu," tukas Alvia, "Bukankah baru saja kukatakan kepadamu?"

Si pemuda terkesima akan ketulusan yang Alvia tunjukkan kepadanya. Meski demikian dalam hatinya masih terpatri rasa ingin membalas budi kepada mereka yang telah menyelamatkannya.

Beberapa saat kemudian Alvia dan pemuda itu sampai di sebuah rumah kayu kecil yang telah usang. Di depan teras rumah duduklah seorang pria tua berumur sekitar 40-an tahun di atas kursi kayunya. Seekor kucing tidur mendengkur di pangkuannya. Sementara dihadapan pria tua itu tampak beberapa anak kecil yang duduk melingkar memainkan sebuah permainan.

"Oh, Alvia." Pria tua itu menyapa.

"Tuan Flash, aku datang membawa pemuda yang kita selamatkan seminggu lalu."

"Akhirnya dia sadar juga, ya. Perkenalkan, namaku adalah Flash Eire. Siapa namamu anak muda?"

Si pemuda terbata untuk menjawab pertanyaan Flash. Dia nampak kebingungan, sebab pemuda itu tak mengingat siapa namanya sendiri.

"Tuan Flash, biar aku beritahu kondisi pemuda ini. Dia sepertinya menderita Amnesia yang cukup parah. Dia bahkan tidak mengingat namanya sendiri"

"Ah, aku tidak tahu itu. Maafkan aku anak muda."

Flash agak membungkukkan badannya. Si pemuda pun tak tahu harus berbuat apa. Pasalnya, Flash tak berbuat salah dan dirinya juga tak merasa tersinggung.

"Jadi kakak lupa ingatan?"

"Kakak bisa bicara tidak?"

"Apa kakak ingat cara bernafas?"

Rentetan pertanyaan spontan anak-anak itu lontarkan. Mereka tampak cukup menggemaskan, mungkin karena umur mereka yang masih berada pada kisaran 5 - 8 tahun.

"Bagaimana rasanya, kak?"

Pertanyaan ketiga anak kecil itu membuat si pemuda menggaruk kepala belakangnya kebingungan.

"Hesney, June, tanya. Jangan ganggu kakak ini dulu, ya? Dia masih butuh istirahat."

"Ah, tidak apa-apa, nona Alvia."

Pemuda itu lalu tersenyum menghadap anak-anak yang penasaran tentang dirinya.

"Aku baik-baik saja, aku masih bisa bernafas dan berbicara. Seperti yang kalian lihat sekarang."

Anak-anak itu hanya tertegun mendengar jawaban dari pemuda itu.

"Ehem," Flash berpura-pura batuk, "Tanya, Hesney, June kenapa kalian tidak panggil kak Raven kemari?"

"Kak Raven masih tidur, dia bilang masih ngantuk karena kemarin berburu semalaman." Tanya, satu-satunya anak perempuan disana menjawab.

"Bangunkan saja, katakan padanya kalau ada yang ingin aku bicarakan."

"Baik, tuan Flash!" Ketiga anak itu terus berlari serempak meninggalkan teras.

Anak-anak yang berlarian itu mengukir senyum di wajah sang pemuda. Hatinya merasa bahagia melihat pemandangan tersebut– sungguh menyenangkan dalam benaknya.

"Sekarang, kita bisa bicara tanpa gangguan. Maafkan anak-anak asuhku tadi."

"Tidak masalah, tuan Flash. Sejujurnya saya merasa lebih senang saat mereka ada di sekitar saya."

"Begitu, ya." Flash mengindikkan bahu, "Apa boleh buat? Yang lalu biarlah berlalu."

Si pemuda hanya terkekeh kecil menanggapinya. Semilir angin tiba-tiba menerpa wajah si pemuda. Rambut hitamnya tersibak karena hembudan angin yang membawa dedaunan gugur terbang ke angkasa.

"Anak muda, apa kau ingat kejadian terakhir yang menimpamu?"

"Tidak, tuan. Saya tidak ingat apapun."

"Jadi, kau merasa tiba-tiba saja terbangun di bilik rawatku?"

"Iya, begitu yang saya rasakan."

Flash mengelus dagunya yang berjambang lebat itu. Untuk sesaat dia terlihat menatap iba pada pemuda itu. Guratan wajahnya jelas menunjukkan empati yang mendalam.

Flash hanya mampu menghela nafas selanjutnya, kemudian dia memilih untuk menceritakan bagaimana pemuda itu diselamatkan olehnya.

"Seminggu yang lalu kami mendengar raungan beast dan erangan seseorang dari dalam hutan. Kami pun bergegas menuju sumber suara iu. Begitu kami sampai kami mendapatimu tertelungkup dengan tubuh penuh luka. Setelah itu kami segera membawamu kemari dan merawat luka-lukamu."

Si pemuda menenggelamkan dirinya dalam ekspresi mengernyit yang intens. Dia berusaha memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

Kenapa dia bisa ada di hutan terlarang? Kenapa dia datang ke hutan terlarang? Semua pertanyaan itu terngiang di pikirannya.

Kucing di pangkuan Flash merentangkan tubuhnya. Tubuh kucing itu cukup panjang untuk seekor kucing kampung. Bulunya berwarna abu-abu yang lembut. Cukup untuk membuat siapapun yang melihatnya merasa gemas. Kucing itu membuka matanya perlahan dan menatap wajah si pemuda.

"Salam, orang asing."

Pemuda itu terhentak kala kucing di pangkuan Flash menyapanya.

"K-kucingnya bicara!"

"Hahaha, tentu aku bicara. Aku ini Beast yang berakal."

"K-kau mengagetkanku."

"Pfft, jangan jadi penakut. Ngomong-omong, perkenalkan namaku Salem Chencho Gylethsen, tetapi kau bisa memanggilku tuan Cater."

"S-salam kenal, tuan Cater. Aku tidak ingat namaku."

"Ho~ begitu, hmm."

Cater menyipitkan matanya terhadap si pemuda. Sesaat kemudian pupil matanya melebar seolah melihat seekor tikus di depan mata. Ekstasi kebahagiaan memacu semangat Cater dan membuatnya kegirangan.

"Puji sang agung," serunya menegakkan badan. "Aku akan memberitahukannya pada dewan hutan!"

Dewan hutan ialah sekelompok Beast yang berakal dan dipilih untuk mengawasi segala hal yang ada di kawasan Hutan Terlarang.

Cater melompat dari pangkuan Flash. Dengan gesit dia berlari menuju rerimbun pepohonan di belakang rumah kayu tersebut. Semuanya memandang kebingungan, termasuk si pemuda.

"Ada apa dengannya?"

"Ahaha, anak muda, jangan pikirkan tuan Cater. Dia hanya terlalu bersemangat saja."

Tawa Flash terdengar kikuk di telinga si pemuda. Kemudian, tibalah momen hening yang canggung diantara mereka bertiga.

"Bagaimana, kalau kita pikirkan nama panggilan untukmu?" Alvia memecah canggung diantara mereka bertiga.

"Nama? Ah, itu ide bagus."

"Hmm, kira-kira nama apa yang cocok untukmu, ya?" Flash memegang dagunya.

"Hikaru, bagaimana dengan itu? Artinya adalah cahaya, aku mengetahuinya dari buku yang ditulis oleh seseorang di benua Timur." tutur Alvia.

"Apa kau suka dengan nama 'Hikaru' anak muda?" tanya Flash padanya.

Pemuda itu berpikir sejenak sebelum menyetujui usulan nama yang Alvia berikan kepadanya. Setelah itu dia pun mengambil keputusan.

"Baiklah, aku kira nama itu akan cocok untukku."

Alvia dan Flash tersenyum senang mengetahuinya. Kini, pemuda itu bernama Hikaru. Dia bukan lagi pemuda tak bernama yang hilang ingatan.

"Baiklah, Hikaru. Selamat datang di keluarga kecil kami." Flash menyambut kedatangan anggota baru bernama Hikaru itu.

Senyum tipis pemuda itu tampilkan, bahagia yang dia rasakan.

"Tuan Flash, kami membawa kakak Raven!"

Seruan June menggema dari kejauhan. Dia datang bersama Tanya dan Hesney– ketiganya selalu bersama kemanapun mereka pergi.

Kini tak hanya mereka bertiga, seorang pemuda pun juga ikut bersama tiga anak kecil itu. Rambutnya hitam legam, tatapannya tajam dengan manik ungu yang menyala.

"Oh, Raven. Kau akhirnya bangun juga."

"Cih, padahal aku mau tidur seharian."

Raven memandang ketiga anak kecil di belakangnya. Mereka tersenyum manis menanggapi tatapan mata Raven yang tajam. Raven hanya bisa menghela pasrah kepada senyuman manis mereka. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya terhadap Flash.

"Jadi, ada apa guru ingin aku kesini?"

"Aku ingin memperkenalkanmu dengan anggota keluarga baru kita." Flash menepuk pundak Hikaru, "Perkenalkan, namanya adalah Hikaru."

Raven hanya membuat sebuah bulatan dengan mulutnya lalu beranjak pergi. Dia merasa tak peduli, berbeda dengan Flash dan yang lainnya.

"Hikaru, jangan pikirkan sikapnya, ya? Raven memang seperti itu jika belum akrab orang lain."

"Tidak apa-apa, Alvia. Lagipula aku tidak merasa tersinggung."

Alvia tersenyum masam, dia agak kecewa dan malu karena sikap Raven yang dingin seperti itu.

avataravatar
Next chapter