85 Arc 3 ~ Penyesalan

Dari setiap pecahan tubuh yang beku itu, cahaya biru keluar dan terbang melayang ke udara. Cahaya itu ialah jiwa. Jiwa dari Matheo lebih tepatnya. Jiwanya pun perlahan melayang mendekati Giovanni. Inilah kemampuan alami Light Soul, Soul Absorption. Kemampuan dimana Light Soul akan menyerap semua jiwa dari tubuh yang mati di sekitarnya.

"Apa ini?"

"Kau tidak tahu? Inilah proses penyerapan jiwa. Jika ada seseorang yang mati di sekitarmu, maka jiwa mereka akan diserap oleh Light Soul."

"Apa ini selalu terjadi?"

"Tentu, hal ini pasti akan terjadi setiap ada yang mati di sekitarmu."

Mata Giovanni mengejang. Rautnya kaku terkaget tak menyangka. Seketika itu pula wajahnya pucat pasi. Teringat dia pada beberapa kejadian yang dia lalui selama ini.

"Kalau begitu... berarti... " Menetes peluh dari pelipis Giovanni, "Caroline, Loco dan Bernvaard bisa saja masih hidup. Tapi, jika seperti itu makai kemungkinan—"

Giovanni perlahan mengerti; kenapa duo Kelompok Jubah Hitam itu bisa mengetahui posisi timnya beberapa waktu lalu. Namun, bukan hal tersebut yang dipikirkannya sekarang.

Jiwa dari Matheo melayang ke arah pemuda itu. Masuk ke dalam Light Soul, kilauan terang berpendar indah menyinari tempat di sekitarnya.

Giovanni pun merasakan emosi di dalam hatinya. Emosi yang berasal dari jiwa Matheo yang diserap oleh Light Soul dan dapat dia rasakan. Kesedihan, kemarahan, iri dan putus asa. Giovanni mengerti itu semua.

"Rupanya begitu... " Giovanni melirik Remy sejenak. Lantas, dirinya pun memandang ke angkasa lepas yang berlukiskan awan-awan mendung.

Giovanni lantas mendekati potongan tubuh Matheo yang berserakan. Dia ambil pedang pemuda itu yang tergeletak di tanah. Sayu matanya menatap bilah tersebut.

"Tempat tinggalnya ada di Distrik Maghalo. Tepatnya di rusun tua kumuh bernama Pillowplow, kamar nomer 99," ujar Remy.

"Kenapa kau memberitahukannya padaku?"

"Jika kau benar-benar peduli padanya, maka setidaknya kembalikan apa yang tersisa darinya pada adiknya itu. Juga, anggap saja ini sebagai permintaan maafku padamu, Giovanni. Kau orang yang baik, aku tahu maksudmu tadi. Maafkanlah aku yang egois ini."

Tak ada kata keluar dari mulut Giovanni untuk dibalaskan pada Remy. Dia biarkan pemuda itu berlalu begitu saja dengan senyap.

***

Malam hari di Belteraia. Lampu-lampu remang dinyalakan, bersinar dengan cahaya yang tak mencakup banyak tempat.

Meloncati atap-atap gedung, Giovanni menjelajahi Belteraia seorang diri. Dengan sebuah pedang terselempang di pinggangnya, dia menuju ke Distrik Maghalo dengan harapan menemukan tempat Matheo tinggal.

"Apa maksudnya tadi siang?"

"Maksud apa?"

"Yang kau lakukan saat Remy datang. Apa maksudmu melakukan itu?"

Menjawab Giovanni dalam terpaan angin yang dia terjang kala melompat dari satu atap ke atap lainnya.

"Aku hanya ingin membantunya. Bukan hanya Matheo, tapi juga Remy. Aku hanya merasa kalau Remy tidak perlu membunuh Matheo karena apa yang Matheo lakukan adalah demi dirinya dan orang lain di sekitarnya."

"Jadi, menurutmu yang patut disalahkan disini adalah Antonio?"

"Iya," balas Giovanni lemah.

"Kau tahu, yang Matheo lakukan itu sama saja dengan Antonio. Mereka sama-sama melakukan hal yang merugikan orang lain demi kepentingan mereka dan golongan masing-masing." Hikaru berkata, "Dalam hal ini, orang lain yang dirugikan oleh Matheo adalah pihak kita."

"Lantas, apa dengan membunuhnya masalah akan berhenti begitu saja?"

"Tidak. Kau tahu itu, aku pun tahu itu. Orang-orang tidak bisa kau ubah cara pandang mereka begitu saja. Aku tahu ini terdengar pesimistis, tetapi bagiku lebih baik mengurus urusan kita sendiri daripada mencampuri urusan orang lain!"

"Aku hanya ingin membantunya!" Giovanni berhenti di atas sebuah tangki air, "Aku pun tahu, yang dilakukannya itu merugikan orang lain! Karena itulah aku ingin dia berhenti. Selain itu, akan jadi keuntungan bila dia membantu kita dalam upaya kita mengambil Light Soul itu!"

Desiran angin membelai lembut wajah dan rambut Giovanni. Raut sesal melingkupi kompleksinya yang sedih itu. Terukir rengut sayu dalam tatapan matanya.

"Aku pernah merasa dendam. Saat aku kehilangan orang-orang di Bilik Rawat, aku merasakan kesedihan dan amarah pada dalang dibalik kepergian mereka. Namun, pada saat aku melihatnya menggorok lehernya sendiri aku merasa hampa. Kosong. Keinginanku untuk balas dendam sirna begitu saja, tetapi hatiku masih merasakan duka dan kekosongan."

Namun, setelah fakta baru yang diketahuinya hari ini, sepercik harapan timbul di hatinya. Harapannya akan keselamatan para penghuni bilik rawat kembali muncul. Dia ingin bertemu dengan mereka suatu saat nanti. Pastinya, setelah hal yang dia prioritaskan saat ini selesai dikerjakannya.

"Walau aku tidak bisa mengubah bagaimana dunia ataupun masyarakat secara luas, tetapi setidaknya aku ingin mengubah satu orang saja. Aku benci melihat pembunuhan, aku benci melihat kekerasan. Apa aku salah memiliki harapan untuk mengubah hal kecil seperti itu?" Giovanni mendongakkan kepalanya.

"Lalu, kenapa kau membiarkan Remy membunuh Matheo?"

"Aku ragu-ragu. Saat aku mendengar perkataannya aku teringat pada diriku saat kehilangan orang-orang di bilik rawat."

"Bukankah itu berarti kau mengkhianati perkataanmu sendiri?"

Giovanni mengangguk dan mengucapkan "Ya" lemah. Hikaru bertambah bingung. Dia heran dan tidak habis pikir.

"Hei, apa akhir-akhir ini kau merasa ada yang aneh dengan dirimu? Seperti, tidak sadar atau melupakan kata yang baru saja kau katakan?" tanya Hikaru kemudian.

"Huh? Tidak, aku merasa baik-baik saja," jawab Giovanni.

Hikaru bergumam, kebingungannya bertambah lagi.

"Memangnya kenapa, Tuan Hikaru?"

"Ah, tidak. Lupakan itu," elaknya menyudahi pembicaraan tersebut, "Sebaiknya kita kembali mencari kediaman Matheo."

Hikaru sebenarnya selalu merasakan hal aneh pada pemuda itu. Namun, itu dia rahasiakan dari Giovanni. Menurutnya, kepribadiannya, pengambilan keputusan dan inkonsistensi Giovanni dalam berbicara selama ini muncul semenjak Giovanni kehilangan ingatannya.

Malam pun semakin larut. Awan gelap membentengi cakrawala malam yang senantiasa dihiasi bulan serta milyaran bintang. Dari ujung lorong rusun Pillowplow yang kumuh, Giovanni melangkahkan kakinya mencari kamar nomer 99.

"Oh, inikah kamarnya?"

Giovanni memperhatikan pintu kayu tua yang nomor kamarnya telah rusak separuh. Akan tetapi, dari urutan pintu yang ada, pintu di depannya ini bisa dipastikan adalah kamar nomer 99.

"Apa kakak baik-baik saja?"

Terdengar suara seorang gadis kecil dari dalam.

"Itu pasti adik Matheo, Vivian," cakap Giovanni.

Dirinyai yang hendak mengetuk pintu pun mengurungkan niatnya. Dia dengarkan dulu apa yang gadis itu katakan.

"Tentu, kakak baik-baik saja."

Suara gadis yang sama terdengar lagi.

"Dia berbicara dengan dirinya sendiri?" Batin Giovanni.

"Bagaimana kalau kakak tidak baik-baik saja? Bagaimana kalau dia mati?"

Mengejutkan apa yang gadis itu katakan. Giovanni pun tersentak mendengarnya.

"Ya, kau akan mati! Kau memiliki masalah pada paru-parumu. Jika kambuh dan tidak ada yang menolong, maka kau akan mati."

Hati Giovanni teriris. Iba terasakan olehnya. Miris benar apa yang gadis itu ucapkan. Dalam kesendirian dan keseliannya, hanya perkataan buruk yang terumbar oleh mulutnya.

"Gadis ini... dia... "

Giovanni ambil pedang milik Matheo. Dia genggam pedang itu erat-erat.

"Hei, jika kau tidak buru-buru akan ada seseorang yang melihatmu. Itu bisa mendatangkan masalah untukmu, Giovanni," tutur Hikaru.

"Aku mengerti."

Menegakkan badannya, Giovanni menghadap pintu kamar itu. Tangannya terangkat perlahan dengan tangan terkepal. Sayup-sayup Vivian yang terdengar berbicara sendiri dapat dia dengar jelas.

Pelan-pelan, tangannya pun mengayun ke arah pintu. Membentur beberapa kali, menyebabkan suara ketukan lirih dengan tempo teratur.

Vivian yang sibuk bercengkrama dengan dirinya sendiri lantas menengok ke arah pintu; mengira-ngira tentang siapa yang datang. Bukan kebiasaan kakaknya mengetuk pintu ketika pulang, kalau pun ada yang bertamu waktu telah terlampau larut.

"Siapa disana?" tanyanya.

Tak ada balasan.

Akhirnya, karena Vivian termakan rasa penasarannya, gadis itu pun mendekat ke arah pintu. Dia buka sekat yang berada setinggi kedua belah matanya.

"Eh, tidak ada orang?" Giovanni telah pergi meninggalkan tempat itu.

Mata gadis itu terus melirik kesana-kemari. Hingga kemudian, sorot matanya menemukan sebuah objek tersandar di dinding pembatas lorong. Vivian segera membuka pintu yang terkunci. Tampak dari luar ruangan yang ditempatinya berantakan. Dinding retak serta bohlam lampu yang kusam memancarkan cahaya kuning keemasan.

Pedang yang disandarkan itu pun dia pegang dan perhatikan. Seketika, rautnya berubah cemas tak karuan.

"Ini... ini pedang kakak," gumamnya.

Vivian membuka sigilnya. Dia panggil Roh yang kakaknya tanamkan ke dalam dirinya.

"Arnocosmica, keluarlah!" ucapnya.

Tak ada yang terjadi.

"Arnocosmica, keluarlah sekarang!"

Hanya ada keheningan. Roh yang biasa keluar jika dipanggilnya itu kini tak keluar seperti biasanya yang terjadi.

"Kakak masih menanamkan Mica ke sigilku, kan? Perjanjiannya mengijinkan Mica ada di sigilku, kan?"

Begitulah yang dikatakan Vivian. Seorang pengguna Roh, bisa menanamkan roh panggilannya pada sigil seseorang dengan syarat roh itu menghendaki sigil orang yang akan menjadi tempatnya bersemayam.

"Mica... kenapa kau tidak keluar? Kakak... "

Mata gadis itu berkaca-kaca. Air mata merembes keluar dari sudut matanya.

Sedang di atas sebuah atap gedung yang menghadap ke arah rusun yang Matheo dan adiknya tinggali, disana berdiri Giovanni. Iba perasaannya. Terenyuh hatinya melihat gadis itu kini harus tinggal seorang diri. Tak tega sebenarnya bila Giovanni meninggalkan gadis itu sendirian. Akan tetapi, pada akhirnya dia meninggalkan perasaan ibanya itu pada Vivian dan pergi dari tempat itu.

avataravatar
Next chapter