webnovel

DIBALIK KEPOLOSAN INDAH

Menari sudah sekian panasnya. Menyinari bumi dan halaman sebuah sekolah terbesar di negeri ini. Papan nama besar bertuliskan "Tunas Bangsa" bertengger dengan kokohnya dihiasi batu pualam. Di dalamnya, begitu banyak kisah cinta monyet bahkan banyak yang berlabuh pada sebuah pernikahan.

Jam kosong sekolah. Tidak ada tugas atau apapun yang diberikan guru pada saat itu. Entah apa yang disibukkan para guru, sehingga lupa memberikan tugas. Mungkin mereka sedang sibuk mengurusi berkas sebagai persyaratan mendapatkan tunjangan atau apa. Sementara anak-anak sedang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Mungkin, mereka lebih sibuk mengurusi tetek bengek yang tidak terlalu penting daripada urusan yang seharusnya sangat penting dari urusan apapun, yakni belajar. Ada yang sedang ngobrol, makan, belajar, bercanda, bermain musik, membaca majalah atau nge game. Karena memang seperti itulah rutinitas mereka jika jam kosong.

Ada juga yang sedang membaca buku. Lebih tepatnya novel. Memang, novel sudah menjadi favorit anak-anak remaja sekarang. Ia seorang gadis dengan rambut terurai begitu saja. Sebagian malah menutupi wajahnya. Jaket sporty abu-abu yang ia kenakan, membuatnya bak meringkuk dan terbenam di bangku. Ia seolah berada di tempat lain, serius dengan buku yang dibaca.

Penutup kepala dari jaket yang ia kenakan, membuat wajahnya tersembunyi. Entahlah, ia lebih suka bersembunyi dibalik kenyataan, daripada berkacak pinggang melawan dunia yang angkuh.

Gadis itu, Indah namanya. Indah Wulansari. Kali ini, ia benar-benar serius membaca buku. Seolah tak peduli dengan lingkungan sekitar.

Beberapa gadis menghampirinya. Salah satunya berkacak pinggang dan mulai mendekati Indah, "Hei cantik baca buku terus."

"Iya, ngapain sih, baca buku segala. Kayak nggak ada kerjaan lain aja," timpal salah satu gadis berrmbut indah. Rambutnya diikat ekor kuda membuat dirinya terlihat semakin cantik dan seksi.

Indah hanya terdiam, tak peduli. Ia tetap melanjutkan bacaannya.

"Eh, punya mulut kok diem aja diajak ngobrol."

"Eh, bukannya ia setiap hari seperti itu. Nggak bisa ngomong," seru yang lain.

"Iya nih, kamu bisa ya, kok nggak mau ngomong?"

Indah menelan ludah. Setiap hari ia memang selalu menjalani hal bodoh seperti ini.

"Eh lu kalau baca terus sini," sergah Jeny, sambil mengambil buku yang sedang dibaca Indah.

Pelan, Indah menatap Jenny, "Kembalikan buku saya."

"Aduh, buku apaan?"

"Ini," baru saja Indah akan mengambilnya Jeny sudah mengelak.

"Eh, aku belum selesai baca, sini dong," kata Indah.

"Eit, ternyata kamu bisa ngomong juga ya, kamu mau ambil, nih ambil" kata Jenny, sambil membolak-balikkan buku itu. Sepertinya, ia sangat senang mempermainkan Indah.

"Maaf, itu bukuku. Tolong jangan diambil . Aku belum selesai membaca. Kalau mau pinjam bisa bilang baik-baik kan."

Jeny melongo. Hari gini, masih berkutat dengan buku, norak amat. Kenapa dia bisa begitu suka membaca buku. Ia tertawa lepas, "Siapa yang mau pinjem buku lu. Gue cuma heran aja sama lu. Selalu terlihat baca buku seperti ini. Nggak bosen apa?"

Beberapa anak mulai memperhatikan mereka. Sementara Indah hanya bisa menelan ludah. Pelan ia berdiri, ingin beranjak.

"Heh, mau kemana, buku lu gue robek nih, "Jeny membuka salah satu lembar buku, dan bersiap merobeknya.

"Wah, kelihatannya ada yang mau ribut nih," ujar Kevin. Ia bersiap menonton, meletakkan gitarnya.

"Jangan," Indah cemas. Masalahnya novel itu adalah novel baru dan mahal yang ia pinjam dari perpustakaan. Kalau buku itu rusak, tentu saja ia harus mengganti. Dan uang berapapun yang ia punya, tentu sangat tidak cukup untuk menggantinya.

"Eh, nunduk dulu dong. Kalau buku ini nggak mau dirobek."

Beberapa anak mulai berbisik. Sementara Indah, tentu sangat malu. Tapi, tak ada yang bisa dilakukan selain menurutinya. Daripada buku itu rusak. Tapi, sejauh ini, adegan ini adalah yang paling buruk sepanjang ia bersekolah selama satu setengah tahun ini. Mudah-mudahan, ini untuk yang terakhir. Indah sudah tak sanggup selalu seperti ini. Sendiri, tak ada yang mau beteman, dan pada akhirnya seperti ini. Diganggu dan dipermalukan.

Mungkin, bagi sebagian anak mempermalukan seorang teman adalah hiburan tersendiri. Rasa penat dan bosan bisa hilang seketika saat menertawakan teman yang malu. Sementara bagi teman yang dipermalukan mungkin sama sekali tidak merasa terganggu, bahkan juga terhibur dengan candaan teman yang terkesan memalukan. Tapi sebagian yang lain mungkin merasa tersinggung, marah, atau sakit hati dan tersiksa. Terutama bagi anak yang cenderung pendiam. Terutama seperti Indah ini.

"Di robek nggak nih."

Pelan Indah menunduk. Mudah-mudahan, Jeny tidak menyuruhnya mencium kakinya. Pikirnya dalam hati.

Jeny dengan senyum sinisnya mengambil fruit juice bekas yang kebetulan berada di meja yang dekat dengannya. Ia memuntahkan seluruh isinya, tepat di kepala Indah. Membuat cairan ungu itu membasahi jaket sporty kesayangan Indah. Sontak semua terkejut. Tak menyangka Jeny bisa melakukan itu. Sementara Indah, hanya bisa pasrah jaket paling mahal yang ia miliki sekaligus paling jelek di sekolah ini, basah karena cairan itu. Ia menutup mata, seolah ingin pergi dari situasi seperti ini.

Semuapun tertawa, "Heh, Leo, lihat nih. Pacarmu basah kuyup kayak gini, kamu nggak kasihan?" tanya Jeny. Sementara Leo hanya bisa nyengir. Entah kenapa, semua anak menganggap gadis aneh itu adalah pacarnya. Padahal, ia bisa mendapatkan gadis yang paling cantik di sekolah ini. Bukankah, Indah itu cupu. Mana mau aku mempunyai pacar cupu. Pikir Leo.

Semua semakin tertawa, "Heh, kau membuat jaketnya basah Jeny, kan kasihan," ujar Maria, lebih terlihat menyindir daripada mengasihani.

Jeny tersenyum tipis. Semua semakin tertawa terbahak-bahak. Sementara Indah hanya bisa pasrah.

"Eh udah-udah jangan pada ribut. Ngapain ngurusin anak cupu itu," ujar Leo.

"Lu gak belain pacar lu nih?" tanya Maria.

Mereka kembali tertawa. Dan Indah sudah tidak tahan lagi. Bukankah ia sering mendapatkan perlakuan seperti ini sementara ia selalu diam saja. Entah mendapat kekuatan apa, tiba-tiba saja ia bangkit. Segera ia memukul Jeny yang sedang tertawa. Maria kaget. Satu detik kemudian ia juga mendapat pukulan dari Indah. Ia pun jatuh tersungkur.

"Uh," desis Maria.

Tak lupa Indah juga memberikan pukulan pada teman-teman Jeny yang lain. Maria menahan sakit di ulu hati. Nafasnya terengah-engah. Kevin segera mengeluarkan ponselnya untuk merekam kejadian itu.

Dua orang teman Jeny bangkit. Mereka segera memukul Indah sebelum berhasil ditangkisnya. Lalu, ia memberikan pukulan telak di kaki. Cukup dengan titik paha yang lebih terasa sakit. Indah segera mengambil bukunya yang terjatuh di samping Jeny yang menahan nafas. Ia tak menyangka akan dapat perlawanan seperti itu dari gadis pendiam ini. Bukankah selama ini, gadis itu akan diam saja jika diganggu.

Seorang gadis mulai memegangi kaki Indah. Sontak, hanya dengan satu hentakan Indah berhasil melepas pegangan itu. Tentu dengan rasa sakit luar biasa di tangan yang didapat gadis itu, "Uhhhh ...." Semua bersorak, semakin bersemangat melihat perkelahian itu.

Jeny tak tinggal diam. Ia pikir, tak sepantasnya gadis cupu itu berhasil melawannya seperti ini. Ia pun bangkit, bersiap memukul Indah. Dan ia tentu tak bisa diam saja. Maka dengan satu pukulan Indah berhasil melumpuhkan Jeny.

Kevin merekam kejadian itu sambil tertawa-tawa. Indah segera mengambil ponselnya dan memberikan tinjuan di muka. Sontak Kevin mengerang kesakitan. Indah membenarkan letak jaketnya, merapikan rambut dan memakai topinya. Seorang anak lelaki masih juga tertawa. Dengan cepat Indah segera memberikan bogem mentahnya. Lelaki itu jatuh tersungkur, memegangi muka.

Semua terdiam. Sementara Indah masih menyelidik dengan ekor matanya. Nafasnya memburu, menahan emosi yang masih tertahan. Setiap pagi, ia tak lupa melatih bakat karatenya di sebuah gudang lama tak jauh dari gudang yang baru. Gudang itu, jika malam hari sering digunakan anak-anak berpacaran dengan kreatifitas masing-masing. Entahlah, jaman sekarang pergaulan anak-anak remaja semakin brutal saja.

Indah kembali ke tempat duduknya, memastikan semua baik-baik saja. Walaupun suara kesakitan sedikit terdengar. Tapi, terlihat anak-anak sudah lebih terkendali.

Indah melengos, kembali membaca bukunya. Sesaat, ia merasa sangat lega. Selama ini, ia selalu diam saja bukan. Dan sekarang, entah kenapa setelah ia bisa sedikit melampiaskan kekesalannya, ia bisa sedikit lega. Selama ini, mungkin ia terlihat lemah. Tapi tidak untuk saat ini.

Mario, seorang guru muda terkejut saat memasuki ruang makan yang terlihat berantakan serta beberapa anak yang masih tiduran di lantai dan merintih kesakitan.

"Ada apa ini?" tanya Mario heran.

Deg! Indah tak sanggup memutar kepala.

Next chapter