1 I Wanna Go To Real School

"Ariel!"

"Aku datang, Max."

Oke, pertama-tama aku seorang perempuan dan nama lengkapku adalah Ariel  Lais Carol. Sebenarnya, aku cukup tomboi untuk ukuran seorang perempuan. Namun, aku tetap akan memakai gaun dan make up jika aku pergi ke suatu tempat yang mewah, seperti makan malam atau pesta formal, atau jika aku harus melakukannya; tapi, tentu saja, aku tidak terlalu menyukainya.

T-shirt sederhana dengan jeans favorit cukup nyaman untuk kugunakan. Plus, aku tidak perlu khawatir tentang pilihan sepatu atau heels—agar terlihat maching, atau asesorisnya, seperti kebanyakan gadis yang sudah kukenal. And well, mereka terlihat cukup aneh dan merepotkan.

Argh ...! Aku lupa bahwa sahabatku adalah salah satu dari mereka. Namun, kami bergaul dengan sangat baik meski ada selera kami yang berbeda.

Menjadi seseorang yang menginjak usia empat belas dan berada di tengah   tahun kelulusan—aku lulus beberapa bulan yang lalu—tidaklah seburuk seperti yang kukira. Yah ... itu karena aku sebenarnya hanya kursus online saja, tidak benar-benar pergi ke sekolah. Setelah mendengar rumor tentang apa yang terjadi pada semua anak di sekolah nyata, aku menolak tawaran tersebut.

Baik sekolah umum maupun swasta, tetap saja ada pengganggu dan rata-rata perempuan yang jadi incaran; dan meskipun aku mungkin belum pernah merasakan sebelumnya—pem-bully-an, cemoohan, dan lain-lain—aku tahu bahwa jika aku memasuki salah satu sekolah tersebut, aku harus terus menjaga punggungku dan waspada terhadap siapa saja aku berteman nantinya.

Sebenarnya, aku benar-benar ingin memahami seluruh konsep dari apa yang dimaksud dengan sekolah sebenarnya. Duduk di meja bersama teman, makan siang di kafetaria, dan menatap seorang guru dari seberang ruangan. Pasti akan terasa seperti seluruh dunia baru. Tapi aku ragu bahwa kakak laki-lakiku memiliki cukup uang untuk membayar setidaknya satu tahun dari spp sekolah baruku.

Mengapa kakakku akhirnya yang bertanggung jawab? Karena, dia adalah wali sahku. Umur kami terpaut delapan tahun, tapi hubungan kami cukup baik melebihi kebanyakan kakak-adik lainnya. Kami cukup dekat. Kapan pun aku tidak merasa sehat, Max akan selalu tinggal di rumah untuk mengurusku, tidak peduli berapa banyak aku memprotesnya. Di sisi lain, aku akan selalu menyemangatinya kapan pun harinya terasa berat; dalam bekerja.

Jika kalian bertanya bagaimana dia bisa menjadi waliku? Yah ... meski tinggal di rumah yang bagus dam berada di lingkungan pinggiran kota, kehidupan lama kami dengan orang tua kami adalah kebalikannya. Sebenarnya, kami adalah anak konglomerat. Ya ... orang tua kami kaya raya.

Awalnya, Max dan aku tinggal di sana. Namun, dia pindah dari rumah itu 7 tahun lalu. Dia tidak pernah punya kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri ataupun melakukan hal yang disukainya. Semuanya diatur oleh orang tua kami, termasuk perjodohan. Saat Max mendengar tentang perjodohan yang diatur itu, dia merasa sangat kesal dan menghancurkan acaranya dengan tidak hadir dalam acara tersebut. Kemudian, dia meninggalkan semua statusnya —status Tuan Muda dan penerus—dan kabur dari rumah.

Tak jauh berbeda dengannya, aku pun pergi dari rumah itu lima tahun yang lalu. Satu-satunya hal yang kuingat tentang mansion itu adalah, aku sering sekali tersesat karena kamar dan ruangan yang cukup banyak. Meskipun sudah tinggal lama, aku masih tidak terbiasa.

Pernah suatu ketika, aku tersesat dan berakhir ke dalam kamar orang tuaku. Di sana, terlihat sangat banyak sekali barang yang berkilauan. Ya ... lebih tepatnya itu adalah perhiasan Ibuku yang terbuat dari emas, perak, maupun permata yang disimpan di kotak kecil dalam laci riasnya. Saat masih kecil, anak perempuan pasti suka bermain-main dengan perhiasan maupun make up Ibunya untuk "terlihat seperti mereka".

Akan tetapi, aku tak sengaja menemukan sebuah foto. Di dalam foto tersebut ada kedua orang tuaku dan juga seorang anak laki-laki kecil berambut cokelat yang tidak kukenal. Ketika aku menanyakan tentang siapa yang ada dalam foto tersebut, mereka tidak menjawab. Sebaliknya, mereka malah memarahiku dan mengatakan bahwa itu "tidak sopan" untuk mencampuri bisnis orang lain.

Kemudian, salah seorang pelayan menceritakan keseluruhan ceritanya, dan setelah mengetahuinya, aku memutuskan untuk segera mengemas beberapa pakaian dan makanan ringan, serta foto, di koper kecil yang kumiliki, dan pergi menyusul Kakak laki-lakiku.

Syukurlah hanya butuh beberapa hari saja untuk menemukan Max. Max bekerja part time di sebuah kafe kecil, dan bertugas untuk mengantarkan makanan. Meskipun dia membawa motornya dengan kecepatan gila, aku dengan cepat bisa mengenalinya. Setelah aku berhasil menyusulnya, aku menjelaskan banyak hal. Meskipun awalnya dia terlihat ragu, begitu aku menunjukkan fotonya, satu-satunya bukti, dia dengan cepat mempercayaiku. Dan sejak hari itu, aku tinggal bersama kakak laki-lakiku.

Ngomong-ngomong, sekarang seluruh latar belakang dan hal-hal yang berkaitan telah kuceritakan. Saatnya kita kembali ke cerita, bukan?

Max baru saja pulang kerja dan memanggilku. Dengan cepat, aku meluncur dari tempat tidurku, kemudian keluar dari kamarku dan menuruni lorong di mana aku bertemu dengan kakak laki-lakiku yang sedang duduk di sofa. Di tangannya dia membawa semacam brosur, dan aku sadar bahwa itu pasti apa yang ingin dia bicarakan denganku. Tapi, apakah ini semacam brosur untuk mengikuti aliran sesat atau semacamnya? Entahlah. Hanya ada satu cara untuk mencari tahu.

"Ada apa, Kak?" tanyaku dan duduk di sampingnya.

"Aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu jika pergi ke sekolah," katanya.

Sebelumnya, aku mengatakan kepada kakakku bahwa aku ingin pergi ke sekolah yang nyata setidaknya untuk satu tahun, hanya untuk mengetahui seperti apa rasanya. Tapi ... bagaimana Max akan membayarnya?

Memang tergantung pada jenis sekolahnya, tapi aku pernah mendengar desas-desus tentang apa yang anak-anak lakukan satu sama lain di "sekolah"; i mean about bullying. Jika Max tahu bahwa ada kemungkinan aku bisa menjadi salah satu korbannya, lalu kenapa dia membahasnya? Selain itu, dia juga sedang menabung uangnya untuk membeli cincin pertunangan, jadi tidak akan ada uang untuk pergi ke sekolah tersebut.

Sheila, tunangannya bekerja di restoran yang sama dengan Kakak. Max bekerja di dapur, sedangkan Sheila bekerja sebagai waitress. Meskipun begitu, mereka menjadi teman dengan cepat, dan sekarang mereka sudah berpacaran selama tiga tahun.

Sheila dan aku juga menjadi teman dekat. Meskipun dia kadang menyeretku ke Mall ataupun dress room untuk mencoba puluhan baju yang berbeda, namun kami masih berhubungan baik layaknya saudara. Yang aku tahu, Kakakku ingin melamar Sheila akhir tahun ini, dan aku tahu bahwa dia juga harus menghemat cukup uang untuk membayar tagihan, membeli cincin, dan segala hal yang dibutuhkan untuk membuat sang pacar layaknya princess. Sekarang dia mengusulkanku untuk pergi ke sekolah, tidakkah itu akan mengacaukan seluruh rencananya?

***

avataravatar
Next chapter