1 Prolog

Di sebuah kamar yang gelap, seorang wanita duduk di kursi sambil memegangi perutnya. Tangan wanita itu berlumuran darah, ia terluka cukup parah. Tapi bukannya segera pergi mencari pertolongan, ia malah duduk dengan tenang sambil menulis di secarik kertas yang sekarang juga memiliki noda darah. Air mata bercucuran di pipinya tapi ia tetap tersenyum. Senyuman yang amat pilu.

"Hi Kak Ady,

Aku enggak tau kakak bakal baca surat ini atau enggak, kalaupun kakak baca ini, itu artinya aku udah enggak ada di samping kakak lagi. Kakak pasti seneng kan karena enggak ada aku yang gangguin kakak terus."

Hiks....hiks...hiks...

Suara tangis wanita itu memenuhi ruangan yang sunyi. Air matanya menetes ke kertas yang sekarang tidak hanya bernoda darah tapi juga basah dengan air matanya. Ia mengusap air matanya dan melanjutkan menulis.

"Aku cuma mau bilang kalau aku sayang banget sama kakak. Aku harap kakak akan bahagia terus dan aku yakin kakak akan cepet bisa lihat lagi. Mata kakak pasti udah sembuh kan karena kakak udah bisa baca surat ini.

Jangan salahin diri kakak ya. Ini bukan salah kakak. Ini keputusan aku.

Maafin aku ya kalo sampai akhir, cinta aku ke kakak cuma bikin susah kakak.

Aku harap kakak bahagia selalu.

Dari istri yang mencintaimu."

Setelah puas dengan apa yang dia tulis, wanita itu beralih ke ponselnya. Ia mencari nama sahabatnya dan menelponnya. Setelah beberapa deringan, ia pun mendengar suara sahabatnya, mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"Halo..."

"Kay jagan ngomong apa-apa dan dengerin aku."

Wanita itu berhenti sejenak, setelah ia tau kalau sahabatnya mendengarkannya, ia pun melanjutkan apa yang ingin ia katakan.

"Luka aku parah, aku enggak akan selamat, aku mau kamu kasih tau mereka kalau aku mau kasih mata aku buat Kak Ady."

"What! Ngomong apa sih lo, ngigo ya malam-malam gini?! Jangan ngaco deh ya!"

"Makasih ya Kay udah selalu ada buat aku. Aku sayang kamu."

Setelah mengucapkan itu, tubuh wanita itu melemas dan iapun jatuh ke lantai.

"Halo! Rain! Jangan bercanda deh ya enggak lucu! Rain!"

Tanpa sadar wanita di ujung telpon pun mulai menangis, ia terus memanggil nama sahabatnya namun ia tidak lagi mendapatkan jawaban. Hanya kesunyian yang tersisa.

***

Di lorong sebuah rumah sakit, seorang pria separuh baya terduduk dengan secarik kertas di tangannya. Tanpa ia sadari, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia tidak sendirian di sana. Ada 3 orang lain yang menemaninya di sana. Seorang wanita paruh baya dengan wajah penuh air mata duduk di sampingnya dengan tangan kiri di bahu pria itu. Sesekali terdengar suaranya menahan air mata. Seorang pria muda berdiri di samping pria itu dengan tangan mengepal dan mata menatap surat itu dengan pilu. Wanita lain dengan pakaian mahal dan wajah tanpa kekurangan duduk di bangku yang berseberangan sambil menatap ke ruang operasi. Wanita itu terlihat tidak peduli dengan surat itu tapi sungguh sebenarnya ia sangat kesal.

Sampai akhir perempuan sial itu tetep jadi pengganggu, pikirnya.

"Kapan pemakamannya?" Akhirnya pria paruh baya itu membuka suara. Semua yang ada di ruangan mengalihkan perhatian mereka kepadanya.

"Sore ini, Pak." Jawab pria muda yang ada di sampingnya.

"Kamu pergi ke sana dan bantu persiapan pemakamannya."

Pria muda yang mendapat perintah tersebut hanya diam sehingga membuat semua beralih memandangnya.

"Ada apa Gus?" Kali ini wanita paruh baya itu yang bertanya.

"Nona Kayla, sahabat Nyonya Rain bilang agar tidak ada pihak Pak Ady yang datang saat pemakaman. Dia kelihatan sangat terpukul dan histeris waktu saya datang tadi, Bu."

"Ady enggak akan datang dan kami juga belum bisa ke sana sampai operasi selesai. Jadi kamu ke sana sekarang. Kayla pasti butuh bantuan."

Mendengar ucapan bosnya yang sudah final, Bagus menganggukan kepala dan kemudian pamit meninggalkan rumah sakit. Sebenarnya tanpa diperintah pun, ia sangat ingin ke sana karena baginya Rain adalah orang yang paling tepat untuk Ady dan selama mengenalnya, Rain selalu sangat baik kepadanya.

Setelah Bagus pergi, giliran wanita muda itu yang berbicara. Ia berusaha berbicara setenang mungkin dan menyembunyikan kebenciannya.

"Om enggak berniat ngasih tau Ady soal donor mata ini kan?"

"Maksud kamu apa Chels?" Wanita paruh baya itu yang menjawab, sementara pria yang duduk di sampingnya hanya menatap Chelsea dengan tajam.

"Om sama tante kan tau kalau Ady benci sama perempuan itu. Setelah operasi ini, Ady akan masuk masa pemulihan, apa om sama tante mau Ady jadi keganggu pemulihannya kalau tau yang sebenarnya."

Mereka tidak bisa menjawab apa-apa karena yang dikatakan Chelsea benar. Putra mereka membenci perempuan yang justru sangat mencintainya. Untuk sementara, diam akan kebenaran adalah pilihan mereka.

***

Di sebuah pemakaman, seorang wanita muda duduk di hadapan makam yang terlihat masih baru. Kayla menyentuh pusara sahabatnya dengan wajah pilu. Air mata tidak lagi mengalir di pipinya. Sudah habis rasanya air matanya untuk sahabatnya yang malang.

"Maafin gue Rain. Gue enggak bisa apa-apa di saat orang-orang itu bahagia di atas penderitaan lo. Sekarang lo udah tenang kan di sana. Lo enggak akan sakit hati lagi karena cowok bajingan itu. Lo juga udah enggak perlu berurusan lagi sama cewek muka dua itu."

Tanpa Kayla tahu, Bagus berdiri jauh di pagar pemakaman mengamatinya. Ia tidak bisa mendengar apa yang Kayla katakan, tapi hatinya tertusuk melihat wanita itu begitu sedih.

"Suatu saat nanti, mereka pasti nyesel udah nyakitin lo. Saat ini gue emang enggak bisa ngapa-ngapain tapi gue janji gue bakal mastiin karma bakal dateng buat orang-orang itu. Gue sayang sama lo Rain."

Kayla tidak sanggup untuk terus berbicara. Saat ini kenyataan seperti menghantam dirinya. Ia tidak akan bisa lagi mendengar suara ataupun tawa Rain, saat ini ia bahkan rindu suara tangisan Rain. Ia menundukkan kepala di pusara Rain. Setelah beberapa lama, akhirnya ia meninggalkan makam sahabatnya itu.

Setelah memastikan Kayla pergi dan tidak melihatnya. Bagus berjalan menuju makam Rain. Ia meletakkan rangkaian bunga di dekat pusaranya. Tanpa mengatakan apa-apa, dia berdiri di sana selama beberapa menit dan kemudian pergi meninggalkan pemakaman itu.

***

Di sebuah ruangan rumah sakit yang lebih menyerupai ruangan hotel, seorang perawat melepas perban di area mata seorang pria. Terlihat Chelsea terus menggenggam tangan pria itu selama proses pelepasan perban.

"Silahkan matanya dibuka pelan-pelan, Pak Ady." Seorang dokter menganjurkan kepada pria itu.

Pria yang duduk di kasur, Adyatma membuka matanya pelan-pelan seperti anjuran dokter.

Satu... dua... tiga...

Cahaya yang silau membuatnya menutup matanya kembali. Kemudian ia berusaha membuka matanya lagi. Kelihatan! Dia bisa lihat lagi! Ady terlihat sangat terkejut, ia bahkan tidak mendengar apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya. Yang ia tahu, Chelsea menggenggam tangannya, dan mama berlari ke arahnya meninggalkan papa terdiam di ujung kasurnya. Ia tersenyum ke Chelsea dan memeluk wanita itu, kemudian ia memeluk mamanya.

Akhirnya, dia bisa melihat lagi. Sekarang semuanya akan berjalan lancar. Benar. Sekarang semuanya akan akan baik-baik saja.

avataravatar
Next chapter