8 Bukan Mimpi

Ia membuka matanya perlahan, cahaya dari jendela memberitahunya kalau malam sudah berganti dengan pagi. Seperti biasa, Adyatma berdiam diri di tempat tidur, mengumpulkan niat untuk benar-bangun dan memulai aktifitasnya. Tiba-tiba Adyatma bangkit dari posisi tidurnya dengan mata terbelalak. Ia melihat sekelilingnya dan sadar kalau ia berada di kamarnya dan bukan rumah sakit.

[Aneh… Apa semalem cuma mimpi?]

Iya yakin sekali kalau kejadian semalam adalah nyata dan ia ingat mendengar suara tembakan saat ia berusaha melindungi Sheila. Kalau sekarang ia baik-baik saja, itu artinya….

[Mama!]

Adyatma langsung berlari ke luar kamarnya. Ia bergegas turun ke lantai satu untuk memeriksa kamar yang biasa Sheila gunakan ketika ia menginap. Sebelum ia tiba di kamar Sheila, ia mencium aroma masakan dari arah dapur. Langkah Adyatma terhenti dan ia menoleh ke arah dapur. Ia bisa mendengar ada seseorang di sana.

Perlahan ia menuju ke dapur. Setibanya di sana, ia bisa melihat punggung seorang wanita yang sedang sibuk memasak. Dia merasakan perasaan yang tidak asing terhadap wanita itu, namun ia yakin kalau wanita itu bukan Sheila. Setelah lebih dekat, Adyatma pun mematung karena dia akhirnya sadar siapa wanita itu.

"Rain?"

"Aaaaak!"

Rain yang terkejut berteriak dan membalikkan badannya. Dengan mata yang membulat, ia berhadapan dengan Adyatma yang memiliki wajah tidak kalah terkejut.

[Kan aku yang dikagetin, kenapa dia yang mukanya gitu?]

"Kak Ady?"

Adyatma hanya diam memandang wanita yang sangat ingin ia temui itu. Ia tidak yakin apakah ini nyata karena selama beberapa waktu, wanita di hadapannya sekarang selalu ada di dalam mimpinya, bedanya sekarang Rain terlihat benar-benar nyata.

[Tumben banget Kak Ady ke dapur. Ada apa ya?]

Belum sempat Rain bertanya maksud Adyatma ke dapur, pria itu mendekat ke arahnya sambil mengulurkan tangannya. Adyatma menyentuh pipinya, di lain waktu Rain akan sangat senang tetapi saat ini ia justru ketakutan. Takut karena Adyatma tiba-tiba saja meneteskan air mata di hadapannya. Sikap aneh Adyatma membuat Rain takut sudah terjadi sesuatu pada pria itu. Rain pun mengulurkan tangannya secara refleks untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Adyatma.

"Kakak kenapa?"

Mendengar suara Rain yang begitu khawatir membuat tubuh Adyatma seketika lemas. Ia berlutut di hadapan Rain dan memeluk pinggangnya sambil mengatakan hal yang sangat ingin ia katakana kepada Rain.

"Maaf…. Maafin aku… Maafin aku."

Adyatma terus mengulang-ulang kalimat tersebut sambil terisak. Rain yang tidak tau harus berbuat apa hanya membiarkan Adyatma sambil memeluk pria itu dalam usahanya untuk menenangkannya.

Tidak tau sudah berapa lama mereka ada di posisi itu, tiba-tiba saja Adyatma berhenti dan tubuhnya terjatuh. Rain yang tidak kuat menahan tubuh Adyatma tekejut melihat pria itu pingsan di lantai. Rain pun panik dan segera berlari ke kamarnya untuk mengambil handphone nya. Ia menelpon Bagus yang sekretaris Adyatma.

Setelah mendapat kabar kalau Adyatma pingsan, Bagus pun segera bergegas pergi ke rumah Adyatma. Setibanya di sana ia melihat Rain berjongkok di samping Adyatma dengan minyak kayu putih di tangannya. Rain memanggil-manggil nama Adyatma berusaha untuk menyadarkannya tetapi pria itu sama sekali tidak bergerak. Rain yang melihat Bagus akhirnya datang terlihat sangat legas.

"Gus! Cepet bawa Kak Ady ke mobil, kita bawa aja Kak Ady ke rumah sakit."

Tanpa mengatakan apa-apa, Bagus langsung mendekati Adyatma dan berusaha membopong pria berbadan besar itu. Bagus yang memiliki tubuh yang kecil terlihat kesulitan sehingga akhirnya Rain membantunya. Berdua mereka membawa Adyatma ke rumah sakit terdekat.

Setibanya di rumah sakit, dokter langsung memeriksa Adyatma dan mengatakan kalau Adyatma hanya kelelahan. Semua orang yang mengenal Adyatma tau kalau pria tersebut seorang penggila kerja sehingga diagnosis dari dokter tidak membuat Bagus heran. Hanya saja setelah mendengar kronologis kejadian dari Rain, ia pun menjadi bingung dengan keanehan bosnya.

[Nangis? Enggak mungkin!]

Rain yang khawatir terus bertanya kepada dokter apakah Adyatma benar-benar baik-baik saja. Bagus yang mendengar kalau Adyatma menangis pun tiba-tiba khawatir dan mengatakan kepada dokter untuk memeriksa sekali lagi kalau-kalau ada syaraf bosnya yang rusak. Rain yang mendengar komentar Bagus memukul lengan pria itu.

"Jangan sembarangan deh Gus! Syaraf rusak apanya."

"Enggak, maksud gue siapa tau ada yang kelewat periksa soalnya Pak Adyatma nangis itu kayak enggak mungkin."

"Apanya yang enggak mungkin. Kak Ady kan juga manusia."

"Gini aja…" Dokter yang memeriksa Adyatma berusaha merelai kedua orang di depannya.

"Kita akan observasi Pak Ady di sini sampai ia sadar. Setelah Pak Ady bangun, baru kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut."

"Yau dah dok, gitu aja, makasih ya dok."

"Sama-sama bu."

Setelah keributan di ruang UGD berlalu, Bagus membantu Rain mempersiapkan pemindahan Adyatma ke ruang VVIP di lantai teratas rumah sakit itu. Ketika Rain masuk ke ruang itu, ia pun terkagum karena kalau ada yg bilang itu adalah ruang hotel, ia pasti percaya. Kamar yang luas dilengkapi dengan kasur queen size, kulkas, televisi, sofa besar dan meja, bahkan kamar mandi yang memiliki bath tub. Rain hanya bisa melongo melihat kemewahan kamar itu.

Selama proses pemindahan, Adyatma sama sekali tidak bangun. Setelah selesai, Bagus pun pamit untuk berangkat ke kantor. Hari ini Adyatma tidak masuk artinya, ia akan memiliki lebih banyak pekerjaan. Rain tidak lupa untuk berterima kasih pada Bagus dan mengantas pria itu sampai ke lift.

Setelah kembali ke kamar, Rain memerhatikan Adyatma yang terbaring di kasur dengan infus di tangan. Tidak pernah terbayang olehnya, Adyatma yang begitu kuat di matanya bisa terbaring lemah seperti itu. Suara handphone nya menyadarkan Rain dari lamunannya. "Mama" muncul di layar handphonenya.

[Ah Bagus pasti udah ngabari mereka.]

Ia mengangkat panggilan dari Sheila dan menuju ke luar kamar.

***

Saat membuka matanya lagi, Adyatma melihat sekelilingnya dan butuh waktu beberapa menit sampai ia sadar kalau sekarang ia ada di rumah sakit. Ia pun tersenyum miris.

[Ah berarti yang tadi cuma mimpi.]

Adyatma kembali menutup matanya. Mungkin kalau ia tidur lebih lama lagi, ia bisa bertemu dengan Rain lagi pikirnya. Meski begitu, ia sadar kalau ia harus bangun untuk memastikan kalau Sheila baik-baik saja. Selain itu, ia harus memastikan bahwa Chelsea tidak akan datang lagi untuk mengganggu dirinya ataupun keluarganya.

[Sebentar saja, sebentar aja gue mau liat dia lagi.]

Belum sempat, Adyatma kembali tidur, pintu kamarnya terbuka. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat Rain berdiri dengan wajah terkejut di sana.

"Kak Ady udah bangun. Aku panggilin dokter."

Adyatma hanay terdiam memandang Rain pergi, tidak lama Rain kembali dengan didampingi dokter dan perawat. Ia tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Pandangannya hanya tertuju pada Rain. Sekarang ia yakin 100% kalau ini bukan mimpi.

avataravatar
Next chapter