26 Cyclops

Baru saja Leona akan mengintip dari lubang kecil di pintu kayu itu, tapi sebuah mata besar lebih dulu menutupi lubang dan malah menyorot ke dalam dinding.

Sontak saja hal itu membuat Leona terkejut. Ia langsung memundurkan kepala dan secepatnya bersembunyi.

"Huft, hampir saja!" gumamnya pelan sembari mengelus dada.

Cukup lama dirinya bersembunyi dengan posisi kurang mengenakkan karena kakinya tertekuk satu. Tapi dirinya tak begitu memedulikan rasa sakitnya.

Satu hal saja, Leona hanya takut makhluk itu menemukan dirinya.

Dari dalam pintu, Leona bisa mendengar bisikan-bisikan makhluk bernama Cyclops itu. Entah mereka membicarakan apa, karena Leona tidak tahu pasti bahasa apa yang sedang mereka gunakan.

Hampir setengah jam ia menunggu makhluk itu beranjak dari lubang pintu. Kakinya mulai mengalami kesemutan karena peredaran darah yang tak lancar.

Di detik-detik kesemutanya mulai menyebar, makhluk itu akhirnya pergi. Itu membuat Leona seketika bernapas lega dan segera meluruskan kakinya.

Ya, gadis itu ingin secepatnya melihat bagaimana kondisi di luar dinding.

Untuk sesaat Leona menghela napas panjang. Mengepalkan tangannya kuat seraya menyemangati dirinya sendiri. Matanya terpejam erat, dan entah bagaimana, tiba-tiba pikirannya menilik kembali ke belakang. Kembali ke saat dimana dia terpilih menjadi calon kandidat.

Huft, jika dipikir-pikir itu sudah lama sekali. Leona pun tidak tahu pasti bagaimana kondisi tempat tinggal dan sekolahnya di Axteas sekarang. Pasti sudah sangat berantakan sekali, pikirnya.

Gadis itu kemudian membuka matanya, menatap ujung sepatu pantofel yang terkena cipratan lumpur dengan sendu.

Mungkin saja, jika waktu itu dia tidak menolong burung kecil berwarna merah keemasan itu semuanya tidak akan jadi begini. Leona tidak akan pernah terpilih jadi kandidat utama dan memikul tanggungjawab yang begitu besar dengan menemukan Omelas.

Tapi?

"Ah, sudahlah!" ucap Leona menepis semua pikirannya.

Dia menepuk celananya lalu bergegas untuk mengecek pintu keluar. Dalam hati Leona berujar, biarlah semua yang sudah terjadi mengalir seperti air. Ikuti arusnya, tapi tetap  gunakan akal sehat.

Tangannya mencoba membuka pintu kayu itu pelan-pelan agar tak menimbulkan suara yang begitu keras. Awalnya begitu sulit, apalagi karena pintu kayu ini sudah lama sekali tak dibuka jadi seperti ada yang mengganjal di salah satu sisinya membuat Leona berusaha keras sekali untuk menarik knopnya.

Krieet...

Untung saja, tak membutuhkan waktu lama untuk membukanya. Leona jadi tak perlu repot-repot mencari kayu atau batu untuk memukul knopnya yang macet.

Satu hal yang membuat Leona membulatkan mata saat melihat keluar dinding, bukanlah pemandangan alam yang di suguhkan. Tetapi, banyaknya spesies langka yang baru pertama kali Leona lihat.

Dari hewan melata, burung dan serangga lainnya itu sungguh indah. Seperti perpaduan lukisan alam yang kontras dan tak ada di Axteas.

Untuk sesaat Leona tersenyum. Begitu takjub dengan pemandangan menyegarkan ini. Ia bahkan lupa dengan makhluk yang bernama Cyclops itu.

"Kenapa pria itu tidak bilang, jika di balik dinding ada surga yang begitu indah seperti ini?" gumam Leona pelan.

"Apa iya, ini salah satu rahasia yang disembunyikan pangeran Felix?" lanjutnya lagi.

Sejauh matanya memandang ke sekeliling, intensitasnya tertuju pada seekor kupu-kupu berwarna ungu kebiruan yang terbang di dekat air terjun.

Hewan kecil itu begitu indah dan menarik perhatiannya. Apalagi, selama Leona hidup di dunia, dia belum pernah melihat seekor kupu-kupu  dengan dua warna yang berbeda di masing-masing sayapnya.

Kupu-kupu itu tiba-tiba terbang mendekat. Mengelilingi kepala Leona tiga kali sebelum akhirnya hinggap di atas tangannya.

Sayangnya, belum sempat Leona mengagumi kecantikan sayapnya. Segerombolan makhluk berwarna biru tua dengan tubuh pendek melemparinya tombak. Sontak, itu membuat Leona kaget dan langsung mencari tempat persembunyian.

Gadis itu memanjat pohon terdekat dan bersembunyi di salah satu ranting pohon yang cukup besar. Matanya awas melihat ke bawah, mengamati siapa pelaku pelemparan tombak tadi.

Rupanya tak jauh dari tempatnya bersembunyi, segerombolan Cyclops yang membawa tombak berlarian turun dari bukit di sebelah barat. Larinya begitu cepat, meskipun kaki mereka pendek.

Ukuran tubuhnya kecil, tapi perutnya sedikit  gendut. Ah, satu lagi yang membuat Leona tak habis pikir, makhluk itu punya satu mata yang begitu besar dan mempunyai kekuatan sihir.

"Cih, apa orang itu sengaja menjebakku ke sini?" kata Leona kesal sendiri.

Gadis itu tak memperhitungkan sebelumnya akan berada di posisi seperti ini. Awalnya dia mengira Cyclops itu hanya seorang monster berukuran sedang dan tinggal sendirian. Tapi kenyataannya Leona salah, bukannya satu makhluk yang ia temui melainkan segerombolan Cyclops yang sepertinya bermukim di wilayah ini.

Detik itu juga otaknya berpikir keras sekali. Meski begitu, pandangan matanya tetap awas mengamati pergerakan makhluk kecil berwarna biru tua itu.

Leona harus berpikir dengan kepala dingin, juga tak tergesa-gesa. Bisa salah langkah nanti kalau gadis itu panik duluan.

"Mungkin, aku bisa melarikan diri lewat air?" ucap Leona tak yakin.

Matanya melihat ke arah air terjun yang arusnya begitu deras. Selain itu, airnya terlihat begitu hijau seperti habitat buaya.

Glek!

Gadis itu menelan ludahnya susah payah. Jika benar di air ada buaya, maka akan sama saja kondisinya. Terbunuh secara brutal.

Ah, pikiran gadis itu kembali kacau. Ia belum juga menemukan titik terang untuk masalah ini. Tapi jika ia memaksakan diri berjalan melewati hutan, harapan hidupnya begitu tipis. Karena tidaklah mungkin, Cyclops itu akan dengan mudah melepaskannya hidup-hidup.

"Ya, aku cukup mengalihkan perhatian mereka saja sebelum menceburkan diri ke air," putusnya final.

Leona tak lagi memedulikan apakah ada buaya di air nanti, atau apakah ada hewan lain yang akan memangsanya. Yang jelas saat ini, cukup menghindari makhluk bernama Cyclops itu.

©©©

Tekad Lucas sudah bulat. Setelah dia mengundurkan diri dari jabatannya secara tidak terhormat kemarin, dia akan pergi meninggalkan North Vale dan mencari Leon. 

Ah, berbicara soal Leon, bagaimana keadaan pria kecil itu sekarang? Lucas jadi kepikiran. Habisnya terakhir kali mereka berpisah saat ada insiden di post jaga perbatasan waktu itu.

Semua barang yang akan dia bawa pergi sudah siap di atas meja. Cukup dengan tas kecil berisi belati, uang, dan bahan makanan secukupnya, Lucas akan pergi mengelana. Atau mungkin saja, dia bisa menyebrang ke negeri sebelah.

Sebelum pergi, Lucas memandangi lukisannya yang terpajang begitu besar di dekat jendela. Di sana terlihat sekali potret dirinya yang begitu gagah dan beribawa. Tersenyum sangat tampan sembari memegang pedang kesayangannya tinggi-tinggi.

Sangat harmonis.

Mata Lucas bahkan sampai berkaca-kaca melihatnya. Dirinya yang dulu begitu di sanjung serta dibanggakan. Kini justru dipandang seperti sampah.

Jujur, ia masih tidak habis pikir, mengapa Felix bersikap seperti ini padanya? Apa pria itu tidak ingat, jika mereka bersahabat?

Lucas memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya berbalik dan menutup pintu kamarnya keras.

Cukup.

Mungkin kini dirinya tak lagi dianggap berarti oleh temannya. Meski begitu, Lucas tidak akan diam saja melihat sikap Felix yang mulai kelewatan.

"Sepertinya aku harus bertemu dengan penguasa Frozen Sea, sebelum rumor tentang perang itu sampai di sana terlebih dahulu."

avataravatar
Next chapter